|
PENDIDIKAN NILAI DAN KARAKTER DALAM PAPPASENG:
Representasi Norma dan
Falsafah Hidup Masyarakat Bugis
Oleh:
Syamsudduha
Universitas Negeri Makassar
A.
PENDAHULUAN
Pendidkan nilai dan karakter pada dasarnya telah
berjalan sejak lama seiring dengan pendidikan pada umumnya yang dikemas dalam
berbagai bentuk, antara lain, pendidikan moral, pendidikan etika, dan
pendidikan akhlak. Meskipun demikian, urgensi pendidikan nilai dan karakter itu
tidak terlepas dari kondisi sosiokultural masyarakat.
Kondisi masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan
bahwa telah terjadi suatu kegoncangan yang cukup mengerikan dalam peradaban
bangsa. Nilai-nilai fundamental seperti penghargaan atas hak hidup seseorang
tidak lagi dijadikan landasan dalam bertindak oleh berbagai kelompok masyarakat
di berbagai wilayah tertentu. Rasa kasih sayang diganti dengan kebencian yang
dilancarkan oleh berbagai kelompok etnis, pemeluk agama, anggota partai
politik, bahkan oleh komunitas yang secara historis memiliki jiwa gotong royong
yang tinggi yakni masyarakat daerah. Kesadaran akan harga diri dan empati
dihancurkan oleh ledakan emosi yang tidak terkendali.
Kondisi yang angat menyedihkan tersebut diperparah
lagi dengan merosot-nya moralitas, norma-norma adat-istiadat dilanggar, dan
nilai kejujuran seolah-olah telah terkubur oleh kebohongan dan tipu daya.
Tidak dapat disangkal pula bahwa situasi sosial,
kultural masyarakat Sula-wesi Selatan pada umumnya dan masyarakat Bugis pada
khususnya pun semakin menghawatirkan, sebagaimana juga dikemukakan oleh
beberapa peng-amat dan pemerhati pendidkan. Ada berbagai macam peristiwa dalam
pendidikan yang semakin merendahkan harkat dan derajat manusia. Hancurnya nilai
moral, merebaknya ketidakadilan, tipisnya rasa solidaritas, dan lain-lain telah
terjadi dalam lembaga pendidikan kita (Koesoema A, 2010: 112). Hal ini tentu
saja mengundang pertanyaan sejauh mana lembaga pendidikan telah mampu men-jawab
dan tanggap atas berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan demikian, perlu adanya pendekatan dan
strategi yang lebih efektif.
Salah satu solusi terbaik menurut hemat penulis
adalah masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya, dan masyarakat Bugia pada
khusunya harus kembali berpegang teguh pada nilai-nilai budayanya
Sejak
dahulu, Sulawesi Selatan dikenal memiliki keanekaragaman budaya yang bernilai
tinggi. Keanekaragaman budaya daerah Sulawesi Selatan, antara lain berupa
peninggalan sejarah, tardisi, dan adat-istiadat, Salah satu peninggalan sejarah
yang menyimpan berbagai aspek kebudayaan suku bangsa yang memiliki aksara
sendiri ialah naskah. Orang Bugis adalah salah satu suku bangsa yang beruntung
memiliki aksara sehingga aspek kebudayaan pada masa lampau masih dapat
tersimpan dalam naskah Lontarak. Salah satu bentuk naskah Lontarak Bugis yang
berhubungan dengan kearifan dan
sarat dengan nilai dan karakter dikenal dengan istilah Pappaseng
‘Pesan-pesan; nasihat; wasiat’
Pappaseng sebagai salah satu
bentuk pernyataan yang mengandung nilai etis dan moral, baik sebagai sistem
sosial, maupun sebagai sistem budaya dalam
kelompok masyarakat Bugis. Dalam pappaseng terkandung ide yang besar buah pikiran yang luhur, pengalaman jiwa
yang berharga, dan pertimbangan-pertim-bangan yang luhur tentang sifat-sifat yang baik dan buruk.
Di kalangan masyarakat Bugis, pappaseng
yang sangat dikenal antara lain: Pappaseng
yang berasal dari Tomaccaé ri Luwu, Kajao Laliddong ri Boné,
dan Arung Bila ri Soppéng. Ketiga tokoh tersebut dikenal sebagai orang
arif dan bijaksana, pada umumnya
ditemukan dalam Lontarak attoriolong di berbagai daerah Sulawesi Selatan
( Mattalitti, dkk., 1986:4).
Pappaseng
sarat dengan makna dan pesan-pesan moral, karena di dalamnya terkandung
nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman hidup, sebagai pengatur tingkah
laku pergaulan dalam masyarakat. Karena itu, perlu adanya upaya pengkajian
secara serius guna mengungkap kembali nilai-nilai luhur yang terkandung di
dalamnya terutama nilai edukatif yang sangat diperlukan untuk pembinaan karakter generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Namun, pertanyaannya adalah bagaimanakah pappaseng itu bisa dijadikan sebagai media penididikan nilai dan karakter baik melalui
jalur formal maupun melalui jalur informal.
Berdasarkan pengamatan penulis, ada
beberapa pendahulu kita yang telah berupaya untuk
melestarikan pappaseng ini, baik berupa penulisan kembali naskah pappaseng
maupun berupa penelitian dan berbagai bentuk tulisan lainnya, seperti yang
telah dilakukan oleh Mangemba(1956), Mattulada(1975); Amir, dkk.(1982), Rahim(1985),. Haddade (1986),
Mattalitti, dkk.(1986), Punagi(1989), Ambo Enre(1992), dan Said D.M. (1997).
Beberapa tulisan itulah yang mem-berikan
inspirasi kepada penulis menyajikan makalah ini untuk mengungkap nilai-nilai
luhur yang terdapat dalam pappaseng yang dianggap masih relevan dengan
kehidupan masyarakat Bugis hingga saat ini. Meskipun demikian, pappaseng
bukan hanya perlu dilestarikan dalam bentuk tulisan dan berbagai dokumen
melainkan pappaseng itu perlu disosialisasikan, diajarkan, dan diimplemen-tasikan
dalam berbagai aspek kehidupan.
Masalah
yang dibahas dalam tulisan ini difokuskan pada; (1) pembahasan
tentang nilai dan karakter yang
direpresentasikan dalam bahasa pappaseng
(2) bagaimana pengorganisasian pesan yang akan disampaikan kepada khalayak, (3)
pembahasan tentang beberapa
alternatif strategi pendidikan nilai dan karakter melalui pappaseng.
B. PENDIDIKAN NILAI DAN KARAKTER DALAM PAPPASENG
Kata nilai dan karakter secara harfiah sering
disebutkan dan dipahami oleh orang banyak. Meskipun demikian, masih pula banyak
orang yang meng-abaikannya. Karakter
perlu dibangun, dibentuk, dibina dan dikembangkan. Sudah diketahui bersama
bahwa membangun karakter sangat
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan baik lingkungan keluarga, lingkungan
masyarakat, maupun ling-kungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
1.
Nilai
Nilai adalah segala sesuatu yang dapat memuaskan
kebutuhan dan keinginan manusia. Nilai dapat pula berupa kualitas diri sesuatu
yang dapat menimbulkan respon penghargaan yang dapat dirasakan oleh setipa
manusi tanpa melalui pengalaman indrawi terlebih dahulu.
Nilai secara leksikal, diartikan sebagai (1) harga (taksiran harga), (2) harga uang,
(3) angka kepandaian, (4) kadar, (5) hal-hal yang penting yang berguna bagi
kemanusiaan(KBBI, 1997: 690). Dalam tulisan ini
nilai diartikan sebagai
sifat-siat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.Beberapa
batasan lain tentang nilai yang telah dirangkum oleh Mustafa (Depdiknas, 2010:
212) dapat dikemukakan berikut ini.
- Nilai adalah keyakinan yang membuat
seseorang bertindak atas dasar pilihannya
- Nilai adalah patokan alternatif yang
mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara
tindakan alternatif
- Nilai adalah konsepsi tetersurat atau tersirat yang sifatnya
membedakan individu atau ciri kelompoknya yang dapat mempengaruhi pilihan
terhadap cara dan tujuan dari setiap tindakannya.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat
disimpulkan bahwa nilai tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Nilai
selalu menjadi patokan yang mengarahkan setiap tindakan atau perbuatan manusia.
Ada beberapa jenis nilai yang dirangkum dari
berbagai tulisan, antara lain: (1) nilai etika/moral, (2) nilai religius, (3)
nilai budaya, (4) pendidikan, dan (5) nilai filosofis. Selanjutnya, dalam
tulisan ini penulis akan memberikan batasan pembahasan pada nilai-nilai budaya
yang terkandung di dalam pappaseng yang
dianggap dapat memberikan sumbangan yang besar di dalam pendidikan nilai dan
karakter bagi generasi penerus khususnya dalam kehidupan mastarakat Bugis.
2.
Karakter
Apa yang disebut karakter dapat dipahami secara
berbeda-beda oleh para pemikir sesuai dengan penekanan dan pendekatan mereka
masing-masing. Oleh karena itu, memang tidaklah mudah menentukan secara
definitif apa yang dimaksud dengan karakter itu. Meskipun demikian, dalam
tulisan ini penulis akan membahas beberapa persoalan yang muncul seputar
pemahaman tentang karakter.
Secara umum, karakter sering diasosiasikan dengan tempramen yang mem-berinya sebuah
definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan
konteks lingkungan. Dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur
somatopsikis yang dimiliki individu sejak lahir, karakter dianggap sama dengan kepribadian. Dalam hal ini kepribadian dianggap sebagai ciri atau
sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang
diterima dari lingkungan, termasuk kehidupan di lingkungan keluarga pada masa
kecil dan bawaan seseorang sejak lahir(Koesoema A, 2010: 80).
Yang menjadi pertanyaan adalah, “Apakah yang
ditampilkan oleh seseorang dalam perangai, perilaku, ataukah kepribadian
seseorang itu boleh dikata sudah cap mati
dari sononya sehingga setiap orang mengalami determinisme natural atas apa
yang ditampilkan dalam segala sikap dan perilakunya itu? Andaikan determinisme
itu memang demikian adanya, sejauh mana seseorang itu dapat memiliki kebebasan
untuk mengatasinya?
Berbicara
tentang pendidikan karakter, mau tidak mau kita harus memper-tanyakan secara
kritis gambaran manusia seperti apa yang ada dalam kepala kita. Apa yang
dipaparkan oleh Koesoema dengan mengutip kata Freire bahwa praksis pendidikan
mengandalkan sebuah konsep manusia
dan dunia dan untuk menjawab
pertanyaaan=pertanyaan yang muncul dalam pendidikan, kita perlu mengenal struktur antropologiis yang ada
dalam diri manusia itu sendiri dan setiap usaha untuk memahami pendidikan
karakter pertama-tama yang harus dilakukan adalah menjawab pertanyaan
fundamental tentang struktur dasar antropologis kodrat sebagai manusia.
Pada dasarnya, secara
inderawi kita dapat membedakan orang-orang baik dan orang-orang yang tidak baik. Pertanyaannya adalah apakah
orang-orang yang baik dan tidak baik itu dapat dikatakan orang-orang yang
memiliki keutamaan dan orang-orang yang tidak memiliki keutamaan. Apakah
sifat-sifat baik dan keu-tamaam itu boleh dikatakan keistimewaan bagi
orang-orang tertentu saja yang memang dilahirkan dengan bawaan sejak lahi? Jika
itu benar, maka pendidikan karakter tentu saja tidak diperlukan lagi. Tidak ada
gunanya pendidikan karakter karena pada dasarnya setiap manusia yang baik akan selalu manjadi baik dan
sebaliknya, setiap manusia yang tidak baik akan selalu menjadi tidak baik.
Pendapat ini tentu saja menimbulkan kontroversi, sebab dalam kenyataannya kita
melihat ada saja orang-orang yang sejak dahulu dikenal sebagai orang-orang
jahat, tetapi kini menjadi orang-orang baik, dan juga sebaliknya. Apa yang
terjadi dalam proses perubahan itu, menunjukkan bahwa manusia itu memiliki
daya-daya dinamis yang bisa berubah, dan jika manusia memiliki daya-daya
dinamis itu, maka pendidikan karakter tentu saja merupakan kesempatan yang
memberi peluang bagi penyempurnaan diri manusia.
3. Pendidikan Nilai
Gearakan utama yang pertama dalam bidang
pendidikan nilai dengan istilah realisasi
nilai yang diperkenalkan oleh Sidney Simon pada tahun 1980 (Zuchdi, 2009:
38). Gerakan tersebut selanjutnya
disebut pendekatan realisasi nilai. Pendekatan
ini mencakup semua pendekatan untuk menolong seseorang menen-tukan, menyadari,
mengimplementasikan, bertindak dan mencapai nilai-nilai yang mereka yakini
dalam kehidupan termasuk pendekatan
realisasi nilai. Hal ini selanjutnya berkembang sebagai pendidikan
keterampilan hidup yang mengajar-kan pengetahuan dan keterampilan yang dapat
menolong generasi muda mengarahkan diri mereka sendiri dalam kehidupan yang
serba kompleks. Telah banyak kurikulum dan metode pendidikan yang telah
dikembangkan untuk menolong generasi muda mengembangkan keterampilan
merealisasikan nilai-nilai, menjadi orang-orang efektif dalam semua situasi,
dan menentukan makna hidup. Yang paling utama adalah pendidikan untuk mengenal
diri sendiri, kesadaran akan harga diri, kecakapan mwerumuskan tujuan,
berpikir, keteram-pilan membuat keputusan, ketera,m[pilan berkomunikasi,
keterampilan sosial, pengetahuan akademik dan pengetahuan transendental. Bagaimana
pendidikan nilai bagi masayarakat Sulawesi Selatan? Sudahkan ada pendekatan
yang paling efektif untuk pendidikan nilai? Solusinya ada di tangan orang-orang
yang berkopeten untuk mendidik.
Pencarian alternatif terbaik untuk meningkatkan
kualitas pendidikan nilai perlu diupayakan. Pendidikan nilai yang bagaimanakah
yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas akhlak subjek didik. Bagaimanakah
penerapan pendidikan nilai di sekolah dan di luar sekolah?
Pendidikan nilai dapat dilakukan dengan membangun
kemitraan yang berdaya guna antara lembaga pendidikan, keluarga, dan lembaga
kemasyarakatan. Pernyataan ini sering terbaca di dalam buku-buku teks, namun
hanya sebatas teori.
4. Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter
bertujuan untuk mengajarkan nilai-nilai
tradisional tertentu yang diterima secara luas sebagai landasan perilaku yang
baik dan bertanggung jawab. Nilai-nilai ini juga digambarkan sebagai perilaku
moral. Sering kita dengar orang mengatakan bahwa kita perlu mengajarkan
nilai-nilai kepada anak, biasanya yang dimaksudkan adalah nilai-nilai
tradisional atau perilaku moral. Karena
istilah pendididkan karakter,
nilai-nilai tradisional dan perilaku moral mengandung makna yang kurang
jelas bahakan kadang-kadang kontroversial. Para pendidik sebgaian pula lebih
setuju dengan istilah pendidikan watak(Zuchdi, 2009: 39). Di pihak lain,
penulis menemukan referensi yang berjudul Kuliah
Etika. Hal ini membuat penulis berpikir bahawa ada juga istilah pendidikan etika. Watak
adalah konsep lama yang berarti seperangkat sifat-sifat yang selalu
dikagumi sebagai tanda-tanda kebaikan, kebijakan, dan kematangan moral.
Meskipun ada berbagai perbedaan, pada umumnya ciri-ciri watak yang baik yang
menjadi tujuan pendidikan. Watak adalah rasa hormat, tanggung jawab, rasa
kasihan, disiplin, loyalitas, keberanian, toleransi, keterbukaan, etos kerja, dan kepercayaan, serta kecintaan kepada Tuhan.
Yang terakhir ini sangat penting karena kualitas keimanan sangat menentukan
kualitas watak atau kepri-badian seseorang.
Berdasarkan uraian
tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pengertian
pendidikan karakter sulit
untuk diberikan batasan yang tegas, karena tidak adanya indikaror-indikator
yang jelas sehingga selama ini pendidikan karakter selalu dititikberatkan pada
pengimplementasian nilai-nilai etika dan moral yang selalu dikaitkan dengan
kemampuan seseorang untuk menerapkan nilai-nilai yang baik dan bermanfaat bagi
kehidupan.
5.
Konsep Pappaseng
Pappaseng
berasal dari kata paseng yang dapat berarti pesan(an)
(Said,1977:151); berisi nasihat bahkan merupakan wasiat yang harus diketahui
dan dikenal.
Pappaseng berisikan nilai-nilai, petunjuk dan nasihat
nenek moyang orang Bugis pada zaman dahulu untuk anak cucunya agar menjalani
hidup dengan baik (Mattalitti, 1986:6). Dengan demikian, pappaseng perlu dilestarikan untuk dilakukan sebagai wujud
kepatuhan orang-rang Bugis kepada leluhurnya.
Sikki,
dkk.(1998: 6) menjelaskan bahwa pappaseng dalam bahasa Bugis sama
maknanya dengan wasiat dalam bahasa Indonesia dan bersinonim dengan kata pangaja ‘nasihat,’ namun kedua kata ini
masing-masing memunyai nuansa makna yang berbeda.
Penjelasan
lain dapat dibaca dalam (Punagi, 1983: 5) bahwa pappaseng adalah wasiat orang tua kepada anak cucunya (orang
banyak) yang harus selalu diingat sebagai amanah yang perlu dipatuhi dan
dilaksanakan atas dasar percaya pada diri sendiri disertai rasa tanggung jawab.
Berdarkan beberapa penjelasan terdahulu tentang
konsep pappaseng, maka dapat dismpulkan bahwa pappaseng
berisi petuah-petuah yang harus selalu diingat sebagai suatu amanah dari
para leluhur yang perlu dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Dengan
demikian tidak heran jika pappaseng dijadi-kan
sebagai falasafah hidup masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Pappaseng
merupakan suatu bentuk ungkapan yang mencerminkan nilai budaya yang
bermanfaat bagi kehidupan. Dari
berbagai tulisn sering dijelaskan bahwa di dalam sebuah pappaseng terkandung suatu ide yang besar, buah pikiran yang luhur,
pengalaman jiwa yang berharga, dan pertimbangan-pertimbangan yang luhur tentang
sifat-sifat yang baik dan buruk.
Pappaseng
seperti halnya dengan setiap kearifan atau kebijakan, sedikit atau banyak
selalu mengalami pergeseran nilai sepanjang sejarah yang dilaluinya. Namun, di
balik itu niscaya akan tetap juga ada yang tidak berubah nilainya dan tidak
bertentangan dengan falsafah negara sebagai nilai nasional yang dianut bersama.
Karena itu, dianggap perlu untuk mengkaji dan menampilkan kembali naskah-naskah
daerah khususnya yang ada dalam bentuk pappaseng. Dengan demikian, maka
nilai-nilai budaya daerah khususnya budaya masyarakat Bugis dapat dipertahankan
terutama nilai-nilai budaya yang dianggap masih relevan dengan keadaan dan
pertumbuhan masyarakat sekarang ini maupun masyarakat pada generasi yang akan
datang.
Pappaseng merupakan suatu
bentuk pernyataan dengan bahasa yang mengandung nilai etis dan moral, baik
sebagai suatu sistem sosial maupun sebagai sistem budaya dari suatu kelompok
masyarakat Bugis.
6. Norma
a. Pengertian Norma
Pada mulanya, norma diartikan alat
tukang batu atau tukang kayu yang berbentuk segitiga. Pada perkembangannya,
norma diartikan sebagai ukuran, garis pengaruh, atau aturan, kaidah bagi
pertimbangan atau penilaian. Nilai yang menjadi milik berasama di dalam suatu
masyarakat dan telah tertanam dengan emosi yang mendalam akan menjadi norma
yang disepakati bersama(Zubair, 1995: 20).
Segala sesuatu yang diberi nilai baik,
cantik, atau berguna akan diusahan untuk diwujudkan dalam perbuatan. Sebagai
hasil usaha itu, timbullah ukuran perbuatan atau norma tindakan. Setiap norma
yang telah diterima oleh masyarakat selalu mengandung sanksi dan pahala. Segala
sesuatu yang dilakukan tanpa sejalan dengan norma, akan mendapatkan hukuman,
celaan, dan sebagainya. Sebaliknya, segala sesuatu yang dilakukan sejalan
dengan norma akan mendapatkan pujian dan balas jasa.
Peraturan sopan santun dibedakan dari norma
moral, oleh karena hanya berlaku berdasarkan suatu kebiasaan dan menurut
pendapat kebanyakan orang sehingga sewaktu-waktu dapat saja berubah.
Norma hukum. Tidak semua norma hukum
mengikat secara moral dan tidak semua norma moral diwujudkan sebagai suatu
norma hukum. Norma hukum adalah norma yang pelaksanannya dapat dituntut dan
dipaksakan, pelanggarnya ditindak dengan pasti oleh penguasaa sah dalam
masyarakat.
Norma
moral, pelanggarnya belum tentu dapat ditindak dan dituntut. Norma ini biasanya
menjadi dasar yang menentukan dalam menilai seseorang. Meskipun demikian, norma
mewajibkan manusia secara mutlak, tetapi dalam pelaksana-annya tidak memaksa.
Berdasarkan
beberapa pengertian dan macam-macam norma yang telah dijelaskan tersebut,
dapat disimpulakan bahwa norma adalah
suatu aturan atau kaidah dalam menilai baik dan buruk yang menghasilkan suatu
kesepakatan bersama untuk menilai sesuatu dalam menjalani kehidupan. Norma
dapat bersifat mewajibkan, namun dapat pula bersifat tidak memaksa.
7. Falsafah
Kata falsafah Bahasa Arab dari
kata falsafat yang berasal dari Bahasa Yunani philosupia yang berarti cinta
kepada pengetahuan (Hanafi,1991:3).
Filsafat dapat pula diartikan sebagai
suatu kebijaksanaan hidup, usaha kebatinan, angan-angan, sikap, metode, dan
teknik (Ali, dkk., 1997). Dengan demikian falsafah hidup dapat diartikan
sebagai suatu pengajaran atau pedoman yang sarat denagn berbagai macam
kebijaksanaan yang penuh kearifan dalam mengatur berbagai aspek kehidupan
masyarakat Bugis.
Berdasarkan uraian
tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan mengung-kap dan mengajarkan nilai-nilai
yang terdapat di dalam pappaseng
merupakan suatu usaha untuk
mereprenstasiakan norma-norma dan falsafah hidup masyarakat Bugis di sulawesi
Selatan. Pembelajaran nilai-nilai yang terdapat di dalam pappaseng dapat dilakukan baik melalui pendidikan formal maupun
nonformal. Dengan demikian, perlu pemahaman secara mendalam tentang isi pesan
yang disampaikan di dalam naskah pappaseng
. Untuk itu, perlu upaya untuk mengetahui dan memahami bagaimana
bentuk-bentuk pesan, pengorganiasasian pesan yang tersirat di dalam bahasa pappaseng itu.
B.
BAGAIMANA
PENGORGANISASIAN PESAN YANG AKAN DISAMPAIKAN DALAM PAPPASENG
Pappaseng
dapat dikatakan
bersinonim dengan pangaja yang
bermakna nasihat, namun pappaseng tidak
cukup dimaknai sama dengan kata pangaja.
Pappaseng lebih menekankan pada ajaran moral yang patut dituruti, sedangkan
pangaja menekankan pada suatu
tindakan yang harus dilakukan atau dihindarkan (Depdiknas, 2010: 215).
Sebagai bentuk ekspresi pikiran, pappaseng sering disampaikan dalam ber-bagai
peristiwa, pertemuan, hajatan, pidato dan sebagainya. Dalam berpidato,
pembicara biasanya menyampaikan pappaseng
untuk menghidupkan suasana. Biasanya penyampaian pidato yang dibumbui
dengan pappaseng tidak akan
membosankan dan lebih menarik bagi
pendengar. Pendengar biasanya akan lebih serius karena pappaseng yang disampaikan itu berisi pesan-pesan moral yang
dirasakan sangat bermanfaat dalam menjalani kehidupan. Meskipun demikian, kita
mengharapkan pappaseng itu tidak
hanya sebatas didengarkan, akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana pappaseng itu dapat diamalkan, diimple-mentasikan
dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam kaitannya dengan upaya pewarisan nilai pappaseng dan representasi norma dan
falsafah hidup masyarakat Bugis Sulawesi selatan, beberapa pendahulu kita telah
menulis dengan berbagai cara, metode dan starategi yang berbeda-beda.
Pengorganisasian pesan yang disampaikan dalam pappaseng pun disampaikan dengan cara yang berbeda. Penulis akan
mengemukakan sebagai berikut:
1. Penyampaian Pappaseng dengan cara
dialog.
Penyampaian pesan dalam pappaseng dengan cara dialog dapat dilihat pada
Contoh kutipan di bawah ini.
Makkedai
Arumponé: “Kega riaseng macca pinru ada Kajao?
Makkedai Kajao Laliddong: Iyanaritu Arumponé
riaseng macca pinru ada tau tettassalaé ri panngaderenngé.
Makkedai Aruponé: Kegana riaseng macca duppai ada, Kajao?
Makkedai Kajao Laliddo: Ianaritu
Arumponé riasaeng macca duppai ada, tau
tettassalaé ri rapanngé
Makkedai
Arumponé: Kégana riaseng tau tenngallupang surona ri ada tongenngé, Kajao?
Makkedai Kajao Laliddo: Iana ritu Arumponé
riaseng tau tenngallupang surona ri ada tongenngé, tau tettakkalupaé ri
bicaraé.
Dari
cuplikan dialog tersebut, dapat diperoleh gambaran bagamana cara Arumponé bertutur kata dalam
menyampaikan pertanyaan-pertanyaan, demikian pula Kajao Laliddo dalam menjawab
pertanyaan. Tutur kata yang sangat apik, santun, jelas, dan memberikan jawaban-jawaban
bijaksana namun tegas. Karakter seperti ini diharapkan dapat diturunkan kepada
generasi yang ada sekarang dan generasi mendatang.
Contoh lain yang dikutip dari Pappasenna To Maccaé ri
Luwuq sibawa Kajao Laliddong ri Boné yang telah diteliti oleh Ambo Enre (1985/1986), menunjukkan
beberapa hal penting untuk memperlihatkan bagaimana para leluhur kita
menyampaikan pesan-pesan moral secara arif, bijaksana, dan tegas. Hal ini dapat dilihat pada penyajian dialog
antara Tomaccaé ri Luwuq dengan Kajao Laliddo.
Makkedai La Baso: Aga lampéri sungeq nénéq?
Makkedai Tomaccaé ri Luwu: Naia lampérié
sungeq, lempuqé. Eppaq gauqna tomalempuqé. Seuwani, riasalaié naqdampeng.
Maduanna, riparennuangié tennapaqjekkoi, bettuwanna risanrési teppabelléang.
Matellunna, temmangoaénngi taniaé anunna. Tessesseq décéng koalénami
podécénngi.
Kutipan naskah pappaseng tersebut
menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu, masyarakat Bugis hidup dengan nilai-nilai
budaya yang sangat kuat, beretika, dan bermartabat. Nilai-nilai budaya yang
terkandung dalam pappaseng tersebut
sangat penting dalam upaya membentuk karakter dan membangun jati diri
masyarakat Bugis.
2.
Penyampaian
pesan dalam Pappaseng dalam bentuk élong
Penyampaian pesan dalam pappaseng dalam bentuk élong dapat
dilihat pada contoh kutipan di bawah ini.
Tudanngaq
ri pésonaku
Sanréqkaq
ri totoku
Kutajeng
pammasé
Terjemahan:
Kududuk bertawakkal
Bersandar pada nasib
Kunantikan berkah
Mahmud (1989: 43)
- Penyampaian pesan dalam
bentuk kalimat imperatif
Penyampaian pesan dalam pappaseng dalam kalimat imperatif dapat dilihat pada contoh kutipan
di bawah ini.
Mattuo ri teppeqmu
Ajak muwélimpéling
Ri kasiwiammu
Terjemahan:
Pelihara imanmu
Janganlah engkau lengah
Terhadap amal ibadahmu
Mahmud (1989: 45)
- Penyampaian pesan dalam
bentuk kalimat-kaliamat pernyataan
Penyampaian pesan dalam pappaseng dalam kalimat pernyataan dapat dilihat pada contoh
kutipan di bawah ini.
Tinuluq kuala tonra
Pata kuala guling
Pésona sompekku
Terjemahan:
Rajin kujadikan pegangan
Teliti kujadikan kemudi
Tawakkal
layarku
Mahmud
(1989: 44)
- Penyampaian pesan dalam
bentuk ungkapan
Penyampaian pesan dalam pappaseng dalam bentuk ungkapan dapat dilihat pada contoh kutipan
di bawah ini.
Ajak
mumaéloq natunai sekkeq patunai enrenngé labo paqburuq
“Janganlah hendaknya mau dihina oleh pelit yang menghinakan dan boros
yang menghancurkan.” Haddade (1986: 27)
Dari beberapa contoh pappaseng yang dikemukakan pada pembahasan bagian ini, menunjukkan
cara pengorganisasian pesan yang berbeda-beda. Ada yang disampaikan dalam
bentuk dialog, élong, kalimat imperatif, kalimat dek-laratif, dan ungkapan.
Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa bentuk-bentuk penyampaian pesan dalam
pappaseng terbatas pada cara-cara
tersebut melainkan mungkin saja masih ada cara lain yang belum diungkap dalam
tulisan ini.
[
C.
BEBERAPA
ALTERNATIF STRATEGI PENDIDIKAN NILAI DAN KARAKTER BERBASIS PAPPASENG
Studi tentang nilai dan karakter telah lama
menjadi pokok perhatian para psikolog, pedagog dan para pendidik. Apa yang
disebut nilai dan karakter bisa dipahami secara berbeda-beda oleh para pemikir
sesuai penekana dan pendekatan mereka masing-masing. Karena itu, tidaklah mudah
untuk menentukan secara definitif apa karakter itu.
Dalam tulisan ini, karakter dipahami sebagai
kumpulan tata nilai yang mewujud dalam suatu sistem daya juang yang melandasi
pemikiran, sikap, dan perilaku manusia. Karakter harus diwujudkan melalui
nilai-nilai moral yang dipatrikan semacam nilai intrinsik dalam diri manusia.
Namun demikian, karakter harus dibentuk, ditumbuhkembangkan, dan dibangun
secara sadar dan sengaja melalui proses
pendidikan.
Seperti halnya dengan bidang-bidang yang lain, ada
berbagai cara untuk mencapai seperangkat tujuan pendidikan. Untuk pendidikan
nilai, berbagai metode, program, dan kurikulkum telah dikembangkan untuk
menolong generasi muda agar dapat mencapai kehidupan yang secara pribadi lebih
memuaskan, dan secara sosial lebih konstruktif. Dilihat dari substansinya, ada
empat pendekatan yang dianggap sebagai gerakan
utama dalam bidang pendidikan nilai yang konstruktif, yaitu: (1)
relaisasai nialai, (2) pendidikan watak, (3) pendidikan kewarganegaraan, dan
(4) pendidikan moral (Zuchdi, 2009: 38),
Pendidikan nilai maupun pendidikan
karakter di dalam masayarakat Bugis
Sulawesi Selatan perlu dilakukan melalui pendekatan budaya lokal. Pappaseng sebagai falasafah hidup masyarakat
Bugis di Sulawesi Selatan, perlu
disegarkan terutama di dalam penentuan metode dan strategi pedidikan nilai dan
karaakter.yang tepat.
Seperti dijelaskan pada uraian terdahu
bahwa di dalam seebuah papaseng terkandung suatu ide yang besar, buah pikiran yang luhur,
pengal;aman jiwa yang berharga, dan pertimbangan-pertimbangan yang luhur
tentang sifat-sifat yang baik dan buruk. Nilai-nilai luhur dalam sebuah
pappaseng dikemas dengan baik dalam sebuah konsep dengan makna yang bersifat
abstrak sehingga untuk memahami makna itu memerlukan pendekatan-pendekatan
tertentu, karena tidak menutup kemungkinan
pula bahwa makna di balik pap-paseng
itu bersifat situasional.
Pappaseng
seperti halnya dengan setiap kearifan atau kebijakan, sedikit atau banyak
selalu mengalami pergeseran nilai sepanjang sejarah yang dilaluinya. Namun, di
balik itu niscaya akan tetap juga ada yang tidak berubah nilainya dan tidak
bertentangan dengan falsafah negara sebagai nilai nasional yang dianut bersama.
D.
E.
Beberapa contoh pappaseng
dan nilai-nilai utama yang terkandung di dalamnya, dan dijadikan sebagai
tatanan hidup masyarakat akan dikemukakan sebagai berikut:
1.
Nilai berkaitan
dengan kejujuran
Kejujuran merupakan landasan pokok dalam
menjalin hubungan dengan sesama manusia dan merupakan salah satu faktor yang
sangat mendasar di dalam kehidupan manusia.
Dalam pappaseng diungkapkan
sebagai berikut:
Makkedai To
rioloé: “Nakko engka muéloreng napogauk taué, rapanngi lopi. Maéloqpo tonangiwi
mupatonangianngi taué. Ianaro riaseng malempuq makkuwaé.” (Ambo Enre, 1985: 10)
Terjemahan:
‘Orang tua-tua (leluhur) berkata:
“Sekiranya ada sesuatu yang engkau kehendaki dilakukan oleh orang lain,
andaikanlah hal itu sebagai perahu. Jika engkau sendiri bersedia menumpanginya,
barulah engkau menyuruh orang lain menumpanginya. Yang demikian itulah yang
disebut jujur.’
Dalam pappaseng tersebut
dijelaskan seperti apa
kejujuran itu yang seha-rusnya
dikakukan oleh setiap orang.
Terdapat pula ada pappaseng yang
memberikan nasihat untuk senantiasa berlaku jujur, yang dikutip dari percakapan
antara Kajao Laliddong dengan Arumpone.
Ajak muala waramparang narekko taniya waramparammu;
Ajak muala aju ripasanré narekko tania iko pasanréi;
Ajak muala aju riwetta wali narekko taniya iko
mpettai.
Haddade(1986:15)
Terjemahan:
Jangan
mengambil barang-barang yang bukan milikmu;
Jangan
mengambil kayu yang disandarkan jika bukan engkau menyandarkannya;
Jangan
mengambil kayu yang ditetak ujung pangkalnya jika bukan engkau yang
menetaknya.
Pappaseng tersebut,
mengungkapkan kebiasaan orang kampung menyan-darkan atau menetak kedua ujung
kayu yang diambilnya di hutan sebagai tanda sudah berpemilik.
Ada tiga konsep dasar untuk meraih
kejujuran yang terdapat dalam pap-paseng. Ketiga konsep dasar itu
adalah; siri (rasa malu); kewaspadaan (sikap hati-hati), dan rasa takut
yang disertai ketelitian. Ketiga konsep tersebut tergambar dalam pappaseng berikut
ini:
Naiya appongenna lempuk-é
tellunrupai:
Seuwana, iyapa nqapoadai kadopi molai;
Maduwanna,
iyapa napogauk-i kadopi lewuriwi ri munripi tau-e Matellunna, tennaenrekie
waramparang ri palolok, tennassakkarenngi ada -
ada maddiolona
Terjemahan:
Yang
menjadi pengkal kejujuran, ada tiga hal;
Pertama,
dikatakannya bila sanggup, melaksanakan
Kedua,
dilaksanakannya bila sanggup menanggung resiko
Ketiga,
tidak menerima barang sogokan, dan tidak menyangkal kata-kata yang pernah
diucapkan.
Pesan yang disampaikan dalam Pappaseng
tersebut, seorang yang jujur tidak dengan mudah memutuskan sesuatu hal,
tetapi terlebih dahulu dicermati kemudian dilakukan. Demikian pula, orang yang
jujur, tidak menerima barang sogokan, dan tidak mengingkari kata yang pernah
diucapkan.
Selanjutnya dalam Pappaenna To Maccaé
ri Luwu juga diungkapkan konsep kejujuran sebagai berikut:
Aruwai sabbinna lempu- é, iyanaritu:
Napariwawoi ri wawo-é
Napariyawai ri yawa-é
Napariatauwi atawu-é
Naparilaenngi ri lalenng-é
Napari abeoi abeo-é
Naparisaliwenngi ri saliwenng-é
Naparimunriwi ri munri-é
Napariyoloi ri yolo-é
Ambo Enre, (1985: 26)
Terjemahan:
Ciri-ciri
kejujuran ada delapan hal:
Menempatkan di atas yang pantas di atas
Menempatkan di bawah yang pantas di bawah
Menempatkan di kanan yang pantasa di kanan
Menempatkan
di kiri yang pantas di kiri
Menempatkan di dalam yang pantas di dalam
Menempatkan di luar yang pantas di luar
Menempatkan di belakang yang pantas di belakang
Menempatkan di depan yang pantas di depan
Pappaseng
tersebut menyampaikan pesan bahwa kejujuran itu berarti menilai sesuatu secara
objektif, menempatkan sesuatu menurut posisinya, dan menyelesaikan masalah
dengan adil dan bijaksana.
2.
Nilai-nilai yang Berkaitan dengan Etos Kerja
Dalam kaitannya dengan etos kerja, sejak
dahulu orang Bugis dikenal sebagai pelaut ulung. Karena akrabnya dengan air dan
laut, maka sifat-sifat dinamis dari gelombang yang selalu bergerak dan tidak
mau tenang itulah yang mempengaruhi jiwa dan pikirannya (Said, 1997:4).
Haltersebut dilukiskan sebagai sifat dinamis, penuh semangat tanpa kenal putus
asa, dan pantang mundur yang dapat dilihat dalam pappaseng berikut ini:
‘Pura babbara sompekku
Pura gucciri gulingku
Ulebbirenngi tellenngé natowalié
Amir, dkk.,
(1982:56)
Terjemahan:
Layarku sudah berkembang,
Kemudiku sudah terpasang,
Kupilih tenggelam daripada kembali”
Demikianlah sifat yang hebat, pantang mundur
bila ingin mencapai sesuatu.
Namun, sifat hebat
itu dikendalikan pula dalam pappaseng berikut ini:
Narékko moloiko roppo-roppo,
Rewekko mappikkirik
Terjemahan:
Jika anda berjalan dan menjumpai semak belukar,
Kembalilah berpikir.
Terdapat pula sebuah élompugi yang sudah
sangat populer di kalangan masyarakat Bugis, sebagai berikut:
Résopa temmanginngi
Namalomo nalétéi
Pammasé déwata
Terjemahan:
Hanya bekerja yang tekun
Sering
menjai titian
rahmat Ilahi
3.
Nilai-nilai yang Berkaitan dengan
Kegotongroyongan
Ada pernyataan menarik dari orang Belanda bahwa orang
Bugis-Makassar tidak bolleh menjadi tentara karena tidak disiplin, semuanya mau
jadi komandan. Dan sifat ini terlihat ketika berlayar tidak mau kalah dan harus
selalu menjadi ponggawa (Amir,dkk.1982:54). Namun, di balik watak yang
keras itu, terdapat pula sikap positif bahwa masyarakat Sulawesi Selatan,
meskipun tradisional tetapi paling dinamis dan memiliki solidaritas dan sifat kegotongroyongan. Hal ini terungkap
dalam pappaseng berikut ini:
“Rebba
sipatokkong,
maliq siparappé,
malilu
sipakaingeq.” Mattalitti (1986: 13)
Terjemahan:
’Rebah,
saling menegakkan;
hanyut-terbawa
arus, saling mendamparkan;
hilap,
saling memperingati.’
4 . Nilai-nilai yang
berkaitan dengan keteguhan hati
Dalam bahasa Bugis, keteguhan dapat
disebut getteng, yang dapat pula diartikan tegas, tangguh, dan teguh
pada keyakinan dan taat asas. Dalam kaitannya dengan keteguhan ini,
terdapat pappaseng Arung Bila, yang dikutip berikut ini:
”Tellu riyala toddok:
Getteng,
Lempu,
Ada tongeng (Mahmud,1986:
23)
Terjemahan:
Ada tiga hal yang dapat dijadikan patokan, yaitu:
Keteguhan,
Kejujuran
Ucapan benar
5.
Nilai-nilai yang berkaiutan dengan keberanian
Nilai-nilai yang berkaitan
dewngan keberanian digambarkan dalam pap-paseng Arung Bila sebagai berikut:
“Akguruiiwi gaukna
to warani-é, enrenng-é ampéna, apak iya gaukna to warani-é, seppuloi wawangenna
seuwana jana. Jajini asera decenna. Iyanaro nariyaseng maja seddi-é nasabak
matei. Naé topellorenng-é maté muto.
Naiya decenna to
warani é;
Seuwani, tettakkini
napolei ada maja
Maduawanna,
tennajampangiwi kareba-é
Matellunna,
temmatau-i ripalao ri yolo
Maeppana, temmatau-i
ri paonro ri munri
Malimanna, temmatau-i
mita bali
Maennenna, ri
asirik-i
Mapitunna, riala-i
passappo ri wanuwa-é
Maruwana, Matinuluk-i
pajaji passurong
Maserana, rialai
pakdekbak tomawatang
Mattaliti (1986:24).
Dalam pappaseng tersebut
diungkapkan bagaimana sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang pemberani, dan itu
sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan. Keberanian harus dimiliki oleh
seorang pemimpin.
6.
Nialai-nilai
yang berkaitan dengan Kecendekiaan
Kecendekiaan
dapat diuraikan asal katanya, yakni dari kata cendekia yang berarti: tajam pikiran; lekas mengerti, cerdas,
pandai. Dalam hal ini kecendekiaan dapat
diartikan sebagai kepandaian menggunakan kesempatan, kecepatan mengeryi
situasui dan mencari jalan keluar (Depdikbud, 1997). Nilai-nilai yang berkaitan
dengan kecendekiaan dapat digambarkan dalam pappaseng berikut ini:
IV. SEKILAS TENTANG
MASYARAKAT BUGIS DI SULAWESI SELATAN
Masyarakat
di Sulawesi Selatan didiami oleh suku bangsa yang terdiri dari etnis Bugis,
Makassar, Mandar, dan Toraja. Namun, etnis Mandar terpisah setelah terbentuknya
Propinsi Sulawesi Barat.
Dengan
demikian, di wilayah Sulawesi Selatan tinggallah tiga etnis, masing-masing;
Bugis, Makassar, dan Toraja. Ketiga etnis ini, mempunyai ciri-ciri persamaan
dalam srtuktur sosial. Namun, sistim sosial dan budaya dari setiap etnis
menampakkan perbedaan, bahkan perbedaan prinsipil disebabkan oleh adanya
perbedaan sejarah perkembangan, perbedaan lingkungan hidup, dan perbedaan
geografis.(Amir, 1982: 72). Namun, perbedaan itu lebih merupakan hikmah dan
kekayaan budaya yang akan memotivasi kita untuk lebih giat lagi mengkaji
tentang budaya masing-masing etnis tersebut.
V. PENUTUP
Pencarian alternatif terbaik untuk meningkatkan
kualitas pendidikan nilai perlu diupayakan. Pendidikan nilai yang bagaimanakah
yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas akhlak subjek didik. Bagaimanakah
penerapan pendidikan nilai di sekolah dan di luar sekolah?
Pendidikan nilai dapat dilakukan dengan membangun
kemitraan yang berdaya guna antara lembaga pendidikan, keluarga, dan lembaga
kemasyarakatan. Namun pernyataan ini hanya sebatas teori.
Pendidikan karakter sulit untuk diberikan batasan
yang tegas, karena tidak adanya indikaror-indikator yang jelas sehingga selama
ini pendidikan karakter selalu dititikberatkan pada pengimplementasian
nilai-nilai etika dan moral yang selalu dikaitkan dengan kemampuan seseorang
untuk menerapkan nilai-nilai yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan.
Pendidikan nilai dan pendidikan
karakter di dalam masayarakat Bugis
Sulawesi Selatan perlu dilakukan melalui pendekatan budaya lokal. Pappaseng sebagai falasafah hidup
masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, perlu disegarkan terutama di dalam penentuan metode dan strategi
pedidikan nilai dan karaakter.yang tepat.
Pengorganisasian pesan dalam pappaseng berbeda-beda. Ada yang disampaikan dalam bentuk dialog,
élong, kalimat imperatif, kalimat deklaratif, dan ungkapan. Meskipun demikian,
tidaklah berarti bahwa bentuk-bentuk penyampaian pesan dalam pappaseng terbatas pada cara-cara
tersebut melainkan mungkin saja masih ada cara lain yang belum diungkap dalam
tulisan ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Lukman, dkk., 1997. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ambo Enre, Fachruddin, dkk. 1985/1986. Pappasenna To Maccaé ri Luwuq sibawa Kajao
Laliddong ri Boné. Ujung Pandang: Depdikbud, Proyek Penelitian dan
Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan La Galigo.
Amir, Andi Rasdiana, dkk. 1982. Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi.
Ujung Pandang: IAIN Alauddin.
Depdikbud, 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas, 2000. “Nilai Edukatif Pappaseng dalam Sastra Bugis.” Bunga Rampai Hasil Penelitian Bahasa dan
Satra I. Makassar: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdiknas.
Depdiknas, 2010. “Nilai
Budaya dalam Pappaseng Tomato:
“Petuah Leluhur” Bunga Rampai Hasil
Penelitian Bahasa dan Sastra. Balai Bahasa Ujung Pandang, Pusat Bahasa.
Departemen Pendidikan Nasional.
Haddade, Muh.Naim. 1986. Ungkapan, Pribahasa, dan Paseng: Sastra Bugis.
Jakarta : Depdikbud, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Hakim, Zainuddin, 1990. Pasang dan Paruntukkana dalam Sastra Klasik Makssar. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa.
Koesoema A, Doni,
2010. Pendidikan Karakter, Strategi
Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.
Mattalitti, M. Arif, dkk. 1986. Pappaseng To Riolotak. Ujung
Pandang: Balai Penelitian Bahasa.
Mattulada, 1995, Latoa: Suatu
Lukisan Analitis
Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Ujung
Pandang: Hasanuddin University Press.
Punagi, Andi Abu Bakar, 1989. Pappaseng (Wasiat Orang
Dahulu). Ujung Pandang: Yayasan
Kebudayaan Sulsel.
Said DM, M.Ide, 1977. Kamus Bahasa Bugis-Indonesia. Jakarta:
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Said, D.M., 1997. Konsep Etos Kerja Menurut Sumber Bahasa,
Sastra, dan Budaya Bugis. Makassar. Ujung Pandang IKIP.
Zuchdi, Darmiyati,
2009. Humanisasi Pendidiikan. Jakarta:
PT Bumi Aksara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar