Sabtu, 19 Oktober 2013

PENDIDIKAN NILAI DAN KARAKTER DALAM PAPPASENG: Representasi Norma dan Falsafah Hidup Masyarakat Bugis


 
PENDIDIKAN NILAI  DAN KARAKTER DALAM PAPPASENG: Representasi Norma  dan Falsafah  Hidup Masyarakat  Bugis

 Oleh:
Syamsudduha
Universitas Negeri Makassar

A.           PENDAHULUAN
Pendidkan nilai dan karakter pada dasarnya telah berjalan sejak lama seiring dengan pendidikan pada umumnya yang dikemas dalam berbagai bentuk, antara lain, pendidikan moral, pendidikan etika, dan pendidikan akhlak. Meskipun demikian, urgensi pendidikan nilai dan karakter itu tidak terlepas dari kondisi sosiokultural masyarakat.
Kondisi masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan bahwa telah terjadi suatu kegoncangan yang cukup mengerikan dalam peradaban bangsa. Nilai-nilai fundamental seperti penghargaan atas hak hidup seseorang tidak lagi dijadikan landasan dalam bertindak oleh berbagai kelompok masyarakat di berbagai wilayah tertentu. Rasa kasih sayang diganti dengan kebencian yang dilancarkan oleh berbagai kelompok etnis, pemeluk agama, anggota partai politik, bahkan oleh komunitas yang secara historis memiliki jiwa gotong royong yang tinggi yakni masyarakat daerah. Kesadaran akan harga diri dan empati dihancurkan oleh ledakan emosi yang tidak terkendali.
Kondisi yang angat menyedihkan tersebut diperparah lagi dengan merosot-nya moralitas, norma-norma adat-istiadat dilanggar, dan nilai kejujuran seolah-olah telah terkubur oleh kebohongan dan tipu daya.  
Tidak dapat disangkal pula bahwa situasi sosial, kultural masyarakat Sula-wesi Selatan pada umumnya dan masyarakat Bugis pada khususnya pun semakin menghawatirkan, sebagaimana juga dikemukakan oleh beberapa peng-amat dan pemerhati pendidkan. Ada berbagai macam peristiwa dalam pendidikan yang semakin merendahkan harkat dan derajat manusia. Hancurnya nilai moral, merebaknya ketidakadilan, tipisnya rasa solidaritas, dan lain-lain telah terjadi dalam lembaga pendidikan kita (Koesoema A, 2010: 112). Hal ini tentu saja mengundang pertanyaan sejauh mana lembaga pendidikan telah mampu men-jawab dan tanggap atas berbagai persoalan yang terjadi dalam masyarakat.  Dengan demikian, perlu adanya pendekatan dan strategi yang lebih efektif.          
Salah satu solusi terbaik menurut hemat penulis adalah masyarakat Sulawesi Selatan pada umumnya, dan masyarakat Bugia pada khusunya harus kembali berpegang teguh pada nilai-nilai budayanya

       Sejak dahulu, Sulawesi Selatan dikenal memiliki keanekaragaman budaya yang bernilai tinggi. Keanekaragaman budaya daerah Sulawesi Selatan, antara lain berupa peninggalan sejarah, tardisi, dan adat-istiadat, Salah satu peninggalan sejarah yang menyimpan berbagai aspek kebudayaan suku bangsa yang memiliki aksara sendiri ialah naskah. Orang Bugis adalah salah satu suku bangsa yang beruntung memiliki aksara sehingga aspek kebudayaan pada masa lampau masih dapat tersimpan dalam naskah Lontarak. Salah satu bentuk naskah Lontarak Bugis yang berhubungan dengan kearifan dan sarat dengan nilai dan karakter dikenal dengan istilah Pappaseng ‘Pesan-pesan; nasihat; wasiat’
         Pappaseng sebagai salah satu bentuk pernyataan yang mengandung nilai etis dan moral, baik sebagai sistem sosial, maupun sebagai sistem budaya dalam  kelompok masyarakat Bugis. Dalam pappaseng  terkandung ide yang besar buah pikiran yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, dan pertimbangan-pertim-bangan yang luhur tentang sifat-sifat yang baik dan buruk. 
        Di kalangan masyarakat Bugis, pappaseng yang sangat dikenal antara lain: Pappaseng yang  berasal dari Tomaccaé  ri Luwu, Kajao Laliddong ri Boné, dan Arung Bila ri Soppéng. Ketiga tokoh tersebut dikenal sebagai orang arif  dan bijaksana, pada umumnya ditemukan dalam Lontarak attoriolong di berbagai daerah Sulawesi Selatan ( Mattalitti, dkk., 1986:4).
         Pappaseng sarat dengan makna dan pesan-pesan moral, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman hidup, sebagai pengatur tingkah laku pergaulan dalam masyarakat. Karena itu, perlu adanya upaya pengkajian secara serius guna mengungkap kembali nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya terutama nilai edukatif yang sangat diperlukan untuk pembinaan karakter generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Namun, pertanyaannya adalah bagaimanakah pappaseng itu bisa dijadikan sebagai media  penididikan nilai dan karakter baik melalui jalur formal maupun melalui jalur informal.    
        Berdasarkan pengamatan penulis, ada beberapa pendahulu kita yang telah berupaya untuk melestarikan pappaseng ini, baik berupa penulisan kembali naskah pappaseng maupun berupa penelitian dan berbagai bentuk tulisan lainnya, seperti yang telah dilakukan oleh Mangemba(1956), Mattulada(1975); Amir, dkk.(1982), Rahim(1985),. Haddade (1986), Mattalitti, dkk.(1986), Punagi(1989), Ambo Enre(1992), dan Said D.M. (1997). Beberapa tulisan itulah yang mem-berikan inspirasi kepada penulis menyajikan makalah ini untuk mengungkap nilai-nilai luhur yang terdapat dalam pappaseng yang dianggap masih relevan dengan kehidupan masyarakat Bugis hingga saat ini. Meskipun demikian, pappaseng bukan hanya perlu dilestarikan dalam bentuk tulisan dan berbagai dokumen melainkan pappaseng itu perlu disosialisasikan, diajarkan, dan diimplemen-tasikan dalam berbagai aspek kehidupan.       
          Masalah yang dibahas dalam tulisan ini difokuskan pada; (1) pembahasan tentang nilai dan karakter yang direpresentasikan dalam bahasa pappaseng (2) bagaimana pengorganisasian pesan yang akan disampaikan kepada khalayak, (3) pembahasan tentang beberapa alternatif strategi pendidikan nilai dan karakter melalui pappaseng.
  
B.   PENDIDIKAN NILAI DAN KARAKTER DALAM PAPPASENG

Kata nilai dan karakter secara harfiah sering disebutkan dan dipahami oleh orang banyak. Meskipun demikian, masih pula banyak orang yang meng-abaikannya.  Karakter perlu dibangun, dibentuk, dibina dan dikembangkan. Sudah diketahui bersama bahwa membangun karakter  sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan baik lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, maupun ling-kungan kehidupan berbangsa  dan bernegara.
1.    Nilai
Nilai adalah segala sesuatu yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia. Nilai dapat pula berupa kualitas diri sesuatu yang dapat menimbulkan respon penghargaan yang dapat dirasakan oleh setipa manusi tanpa melalui pengalaman indrawi terlebih dahulu.
Nilai secara leksikal, diartikan sebagai (1) harga (taksiran harga), (2) harga uang, (3) angka kepandaian, (4) kadar, (5) hal-hal yang penting yang berguna bagi kemanusiaan(KBBI, 1997: 690). Dalam tulisan ini  nilai diartikan sebagai sifat-siat atau hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan.Beberapa batasan lain tentang nilai yang telah dirangkum oleh Mustafa (Depdiknas, 2010: 212) dapat dikemukakan berikut ini.
  1. Nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya
  2. Nilai adalah patokan alternatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya di antara cara-cara tindakan alternatif
  3. Nilai adalah konsepsi  tetersurat atau tersirat yang sifatnya membedakan individu atau ciri kelompoknya yang dapat mempengaruhi pilihan terhadap cara dan tujuan dari setiap tindakannya.
Dari beberapa pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa nilai tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Nilai selalu menjadi patokan yang mengarahkan setiap tindakan atau perbuatan manusia.
Ada beberapa jenis nilai yang dirangkum dari berbagai tulisan, antara lain: (1) nilai etika/moral, (2) nilai religius, (3) nilai budaya, (4) pendidikan, dan (5) nilai filosofis. Selanjutnya, dalam tulisan ini penulis akan memberikan batasan pembahasan pada nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam pappaseng yang dianggap dapat memberikan sumbangan yang besar di dalam pendidikan nilai dan karakter bagi generasi penerus khususnya dalam kehidupan mastarakat Bugis.   

2.        Karakter
Apa yang disebut karakter dapat dipahami secara berbeda-beda oleh para pemikir sesuai dengan penekanan dan pendekatan mereka masing-masing. Oleh karena itu, memang tidaklah mudah menentukan secara definitif apa yang dimaksud dengan karakter itu. Meskipun demikian, dalam tulisan ini penulis akan membahas beberapa persoalan yang muncul seputar pemahaman tentang karakter.
Secara umum, karakter sering diasosiasikan dengan tempramen yang mem-berinya sebuah definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki individu sejak lahir, karakter dianggap sama dengan kepribadian. Dalam hal ini kepribadian dianggap sebagai ciri atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, termasuk kehidupan di lingkungan keluarga pada masa kecil dan bawaan seseorang sejak lahir(Koesoema A, 2010: 80).
Yang menjadi pertanyaan adalah, “Apakah yang ditampilkan oleh seseorang dalam perangai, perilaku, ataukah kepribadian seseorang itu boleh dikata sudah cap mati dari sononya sehingga setiap orang mengalami determinisme natural atas apa yang ditampilkan dalam segala sikap dan perilakunya itu? Andaikan determinisme itu memang demikian adanya, sejauh mana seseorang itu dapat memiliki kebebasan untuk mengatasinya?
     Berbicara tentang pendidikan karakter, mau tidak mau kita harus memper-tanyakan secara kritis gambaran manusia seperti apa yang ada dalam kepala kita. Apa yang dipaparkan oleh Koesoema dengan mengutip kata Freire bahwa praksis pendidikan mengandalkan sebuah konsep manusia dan dunia dan untuk menjawab pertanyaaan=pertanyaan yang muncul dalam pendidikan, kita perlu  mengenal struktur antropologiis yang ada dalam diri manusia itu sendiri dan setiap usaha untuk memahami pendidikan karakter pertama-tama yang harus dilakukan adalah menjawab pertanyaan fundamental tentang struktur dasar antropologis kodrat sebagai manusia.      
            Pada dasarnya, secara inderawi kita dapat membedakan orang-orang baik dan orang-orang  yang tidak baik. Pertanyaannya adalah apakah orang-orang yang baik dan tidak baik itu dapat dikatakan orang-orang yang memiliki keutamaan dan orang-orang yang tidak memiliki keutamaan. Apakah sifat-sifat baik dan keu-tamaam itu boleh dikatakan keistimewaan bagi orang-orang tertentu saja yang memang dilahirkan dengan bawaan sejak lahi? Jika itu benar, maka pendidikan karakter tentu saja tidak diperlukan lagi. Tidak ada gunanya pendidikan karakter karena pada dasarnya setiap  manusia yang baik akan selalu manjadi baik dan sebaliknya, setiap manusia yang tidak baik akan selalu menjadi tidak baik. Pendapat ini tentu saja menimbulkan kontroversi, sebab dalam kenyataannya kita melihat ada saja orang-orang yang sejak dahulu dikenal sebagai orang-orang jahat, tetapi kini menjadi orang-orang baik, dan juga sebaliknya. Apa yang terjadi dalam proses perubahan itu, menunjukkan bahwa manusia itu memiliki daya-daya dinamis yang bisa berubah, dan jika manusia memiliki daya-daya dinamis itu, maka pendidikan karakter tentu saja merupakan kesempatan yang memberi peluang bagi penyempurnaan diri manusia.

3.    Pendidikan Nilai
Gearakan utama yang pertama dalam bidang pendidikan nilai dengan istilah realisasi nilai yang diperkenalkan oleh Sidney Simon pada tahun 1980 (Zuchdi, 2009: 38). Gerakan tersebut selanjutnya disebut pendekatan realisasi nilai. Pendekatan ini mencakup semua pendekatan untuk menolong seseorang menen-tukan, menyadari, mengimplementasikan, bertindak dan mencapai nilai-nilai yang mereka yakini dalam kehidupan termasuk pendekatan realisasi nilai. Hal ini selanjutnya berkembang sebagai pendidikan keterampilan hidup yang mengajar-kan pengetahuan dan keterampilan yang dapat menolong generasi muda mengarahkan diri mereka sendiri dalam kehidupan yang serba kompleks. Telah banyak kurikulum dan metode pendidikan yang telah dikembangkan untuk menolong generasi muda mengembangkan keterampilan merealisasikan nilai-nilai, menjadi orang-orang efektif dalam semua situasi, dan menentukan makna hidup. Yang paling utama adalah pendidikan untuk mengenal diri sendiri, kesadaran akan harga diri, kecakapan mwerumuskan tujuan, berpikir, keteram-pilan membuat keputusan, ketera,m[pilan berkomunikasi, keterampilan sosial, pengetahuan akademik dan pengetahuan transendental. Bagaimana pendidikan nilai bagi masayarakat Sulawesi Selatan? Sudahkan ada pendekatan yang paling efektif untuk pendidikan nilai? Solusinya ada di tangan orang-orang yang berkopeten untuk mendidik.     
Pencarian alternatif terbaik untuk meningkatkan kualitas pendidikan nilai perlu diupayakan. Pendidikan nilai yang bagaimanakah yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas akhlak subjek didik. Bagaimanakah penerapan pendidikan nilai di sekolah dan di luar sekolah?
Pendidikan nilai dapat dilakukan dengan membangun kemitraan yang berdaya guna antara lembaga pendidikan, keluarga, dan lembaga kemasyarakatan. Pernyataan ini sering terbaca di dalam buku-buku teks, namun hanya sebatas teori.     
           
4. Pendidikan Karakter
            Pendidikan karakter bertujuan untuk  mengajarkan nilai-nilai tradisional tertentu yang diterima secara luas sebagai landasan perilaku yang baik dan bertanggung jawab. Nilai-nilai ini juga digambarkan sebagai perilaku moral. Sering kita dengar orang mengatakan bahwa kita perlu mengajarkan nilai-nilai kepada anak, biasanya yang dimaksudkan adalah nilai-nilai tradisional atau perilaku moral. Karena  istilah pendididkan karakter,  nilai-nilai tradisional dan perilaku moral mengandung makna yang kurang jelas bahakan kadang-kadang kontroversial. Para pendidik sebgaian pula lebih setuju dengan istilah pendidikan watak(Zuchdi, 2009: 39). Di pihak lain, penulis menemukan referensi yang berjudul Kuliah Etika. Hal ini membuat penulis berpikir bahawa ada juga istilah pendidikan etika.  Watak  adalah konsep lama yang berarti seperangkat sifat-sifat yang selalu dikagumi sebagai tanda-tanda kebaikan, kebijakan, dan kematangan moral. Meskipun ada berbagai perbedaan, pada umumnya ciri-ciri watak yang baik yang menjadi tujuan pendidikan. Watak adalah rasa hormat, tanggung jawab, rasa kasihan, disiplin, loyalitas, keberanian, toleransi, keterbukaan, etos kerja,  dan kepercayaan, serta kecintaan kepada Tuhan. Yang terakhir ini sangat penting karena kualitas keimanan sangat menentukan kualitas watak atau kepri-badian seseorang.
            Berdasarkan uraian tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pengertian  pendidikan karakter sulit untuk diberikan batasan yang tegas, karena tidak adanya indikaror-indikator yang jelas sehingga selama ini pendidikan karakter selalu dititikberatkan pada pengimplementasian nilai-nilai etika dan moral yang selalu dikaitkan dengan kemampuan seseorang untuk menerapkan nilai-nilai yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan. 

5.             Konsep Pappaseng
             Pappaseng berasal dari kata paseng yang dapat berarti pesan(an) (Said,1977:151); berisi nasihat bahkan merupakan wasiat yang harus diketahui dan dikenal.
Pappaseng berisikan nilai-nilai, petunjuk dan nasihat nenek moyang orang Bugis pada zaman dahulu untuk anak cucunya agar menjalani hidup dengan baik (Mattalitti, 1986:6). Dengan demikian, pappaseng perlu dilestarikan untuk dilakukan sebagai wujud kepatuhan orang-rang Bugis kepada leluhurnya.
Sikki, dkk.(1998: 6)  menjelaskan bahwa pappaseng dalam bahasa Bugis sama maknanya dengan wasiat dalam bahasa Indonesia dan bersinonim dengan kata pangaja ‘nasihat,’ namun kedua kata ini masing-masing memunyai nuansa makna yang berbeda.
Penjelasan lain dapat dibaca dalam (Punagi, 1983: 5) bahwa pappaseng adalah wasiat orang tua kepada anak cucunya (orang banyak) yang harus selalu diingat sebagai amanah yang perlu dipatuhi dan dilaksanakan atas dasar percaya pada diri sendiri disertai rasa tanggung jawab.
 Berdarkan beberapa penjelasan terdahulu tentang konsep pappaseng, maka dapat dismpulkan bahwa pappaseng berisi petuah-petuah yang harus selalu diingat sebagai suatu amanah dari para leluhur yang perlu dilaksanakan dengan penuh rasa tanggung jawab. Dengan demikian tidak heran jika pappaseng dijadi-kan sebagai falasafah hidup masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Pappaseng merupakan suatu bentuk ungkapan yang mencerminkan nilai budaya yang bermanfaat bagi kehidupan. Dari berbagai tulisn sering dijelaskan bahwa di dalam sebuah pappaseng terkandung suatu ide yang besar, buah pikiran yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, dan pertimbangan-pertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat yang baik dan buruk.
            Pappaseng seperti halnya dengan setiap kearifan atau kebijakan, sedikit atau banyak selalu mengalami pergeseran nilai sepanjang sejarah yang dilaluinya. Namun, di balik itu niscaya akan tetap juga ada yang tidak berubah nilainya dan tidak bertentangan dengan falsafah negara sebagai nilai nasional yang dianut bersama. Karena itu, dianggap perlu untuk mengkaji dan menampilkan kembali naskah-naskah daerah khususnya yang ada dalam bentuk pappaseng. Dengan demikian, maka nilai-nilai budaya daerah khususnya budaya masyarakat Bugis dapat dipertahankan terutama nilai-nilai budaya yang dianggap masih relevan dengan keadaan dan pertumbuhan masyarakat sekarang ini maupun masyarakat pada generasi yang akan datang.
         Pappaseng merupakan suatu bentuk pernyataan dengan bahasa yang mengandung nilai etis dan moral, baik sebagai suatu sistem sosial maupun sebagai sistem budaya dari suatu kelompok masyarakat Bugis. 
                                                 
     
6.    Norma
a. Pengertian Norma
         Pada mulanya, norma diartikan alat tukang batu atau tukang kayu yang berbentuk segitiga. Pada perkembangannya, norma diartikan sebagai ukuran, garis pengaruh, atau aturan, kaidah bagi pertimbangan atau penilaian. Nilai yang menjadi milik berasama di dalam suatu masyarakat dan telah tertanam dengan emosi yang mendalam akan menjadi norma yang disepakati bersama(Zubair, 1995: 20). 
         Segala sesuatu yang diberi nilai baik, cantik, atau berguna akan diusahan untuk diwujudkan dalam perbuatan. Sebagai hasil usaha itu, timbullah ukuran perbuatan atau norma tindakan. Setiap norma yang telah diterima oleh masyarakat selalu mengandung sanksi dan pahala. Segala sesuatu yang dilakukan tanpa sejalan dengan norma, akan mendapatkan hukuman, celaan, dan sebagainya. Sebaliknya, segala sesuatu yang dilakukan sejalan dengan norma akan mendapatkan pujian dan balas jasa.

         Peraturan sopan santun dibedakan dari norma moral, oleh karena hanya berlaku berdasarkan suatu kebiasaan dan menurut pendapat kebanyakan orang sehingga sewaktu-waktu dapat saja berubah.
         Norma hukum. Tidak semua norma hukum mengikat secara moral dan tidak semua norma moral diwujudkan sebagai suatu norma hukum. Norma hukum adalah norma yang pelaksanannya dapat dituntut dan dipaksakan, pelanggarnya ditindak dengan pasti oleh penguasaa sah dalam masyarakat.
          Norma moral, pelanggarnya belum tentu dapat ditindak dan dituntut. Norma ini biasanya menjadi dasar yang menentukan dalam menilai seseorang. Meskipun demikian, norma mewajibkan manusia secara mutlak, tetapi dalam pelaksana-annya tidak memaksa.
          Berdasarkan beberapa pengertian dan macam-macam norma yang telah dijelaskan tersebut, dapat  disimpulakan bahwa norma adalah suatu aturan atau kaidah dalam menilai baik dan buruk yang menghasilkan suatu kesepakatan bersama untuk menilai sesuatu dalam menjalani kehidupan. Norma dapat bersifat mewajibkan, namun dapat pula bersifat tidak memaksa.

         
7. Falsafah
         Kata falsafah Bahasa Arab dari kata falsafat yang berasal dari Bahasa Yunani philosupia yang berarti cinta kepada pengetahuan (Hanafi,1991:3).
          Filsafat dapat pula diartikan sebagai suatu kebijaksanaan hidup, usaha kebatinan, angan-angan, sikap, metode, dan teknik (Ali, dkk., 1997). Dengan demikian falsafah hidup dapat diartikan sebagai suatu pengajaran atau pedoman yang sarat denagn berbagai macam kebijaksanaan yang penuh kearifan dalam mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat Bugis.
            Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa dengan mengung-kap dan mengajarkan nilai-nilai yang terdapat di dalam pappaseng merupakan suatu usaha untuk mereprenstasiakan norma-norma dan falsafah hidup masyarakat Bugis di sulawesi Selatan. Pembelajaran nilai-nilai yang terdapat di dalam pappaseng dapat dilakukan baik melalui pendidikan formal maupun nonformal. Dengan demikian, perlu pemahaman secara mendalam tentang isi pesan yang disampaikan di dalam naskah pappaseng . Untuk itu, perlu upaya untuk mengetahui dan memahami bagaimana bentuk-bentuk pesan, pengorganiasasian pesan yang tersirat di dalam bahasa pappaseng itu.    


B.            BAGAIMANA PENGORGANISASIAN PESAN YANG AKAN DISAMPAIKAN  DALAM PAPPASENG

Pappaseng dapat dikatakan bersinonim dengan pangaja yang bermakna nasihat, namun pappaseng tidak cukup dimaknai sama dengan kata pangaja. Pappaseng lebih menekankan pada ajaran moral yang patut dituruti, sedangkan pangaja menekankan pada suatu tindakan yang harus dilakukan atau dihindarkan (Depdiknas, 2010: 215). 
Sebagai bentuk ekspresi pikiran, pappaseng sering disampaikan dalam ber-bagai peristiwa, pertemuan, hajatan, pidato dan sebagainya. Dalam berpidato, pembicara biasanya menyampaikan pappaseng untuk menghidupkan suasana.  Biasanya penyampaian pidato yang dibumbui dengan pappaseng tidak akan membosankan dan  lebih menarik bagi pendengar. Pendengar biasanya akan lebih serius karena pappaseng yang disampaikan itu berisi pesan-pesan moral yang dirasakan sangat bermanfaat dalam menjalani kehidupan. Meskipun demikian, kita mengharapkan pappaseng itu tidak hanya sebatas didengarkan, akan tetapi yang terpenting adalah bagaimana pappaseng itu dapat diamalkan, diimple-mentasikan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dalam kaitannya dengan upaya pewarisan nilai pappaseng dan representasi norma dan falsafah hidup masyarakat Bugis Sulawesi selatan, beberapa pendahulu kita telah menulis dengan berbagai cara, metode dan starategi yang berbeda-beda. Pengorganisasian pesan yang disampaikan dalam pappaseng pun disampaikan dengan cara yang berbeda. Penulis akan mengemukakan sebagai berikut:

1.    Penyampaian Pappaseng dengan cara dialog.

Penyampaian pesan dalam pappaseng dengan cara dialog dapat dilihat pada

Contoh kutipan di bawah ini.

 

           Makkedai Arumponé: “Kega riaseng macca pinru ada Kajao?
               Makkedai Kajao Laliddong: Iyanaritu Arumponé riaseng macca pinru ada tau tettassalaé ri panngaderenngé.
          
               Makkedai Aruponé: Kegana riaseng macca duppai ada, Kajao?
              Makkedai Kajao Laliddo: Ianaritu Arumponé riasaeng macca duppai  ada, tau tettassalaé ri rapanngé

  Makkedai Arumponé: Kégana riaseng tau tenngallupang surona ri ada tongenngé,  Kajao?
              Makkedai Kajao Laliddo: Iana ritu Arumponé riaseng tau tenngallupang surona ri ada tongenngé, tau tettakkalupaé ri bicaraé.
                                                          

          Dari cuplikan dialog tersebut, dapat diperoleh gambaran bagamana cara Arumponé bertutur kata dalam menyampaikan pertanyaan-pertanyaan, demikian pula Kajao Laliddo dalam menjawab pertanyaan. Tutur kata yang sangat apik, santun,  jelas, dan memberikan jawaban-jawaban bijaksana namun tegas. Karakter seperti ini diharapkan dapat diturunkan kepada generasi yang ada sekarang dan generasi mendatang.

 

          Contoh lain yang dikutip dari Pappasenna To Maccaé ri Luwuq sibawa  Kajao Laliddong ri Boné yang telah diteliti oleh Ambo Enre (1985/1986), menunjukkan beberapa hal penting untuk memperlihatkan bagaimana para leluhur kita menyampaikan pesan-pesan moral secara arif, bijaksana, dan tegas.  Hal ini dapat dilihat pada penyajian dialog antara Tomaccaé ri Luwuq dengan Kajao Laliddo.

 

   

          Makkedai La Baso: Aga lampéri sungeq nénéq?
          Makkedai Tomaccaé ri Luwu: Naia lampérié sungeq, lempuqé. Eppaq gauqna tomalempuqé. Seuwani, riasalaié naqdampeng. Maduanna, riparennuangié tennapaqjekkoi, bettuwanna risanrési teppabelléang. Matellunna, temmangoaénngi taniaé anunna. Tessesseq décéng koalénami podécénngi.
                
             
Kutipan naskah pappaseng tersebut menunjukkan bahwa sejak zaman dahulu, masyarakat Bugis hidup dengan nilai-nilai budaya yang sangat kuat, beretika, dan bermartabat. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam pappaseng tersebut sangat penting dalam upaya membentuk karakter dan membangun jati diri masyarakat Bugis.

            

2.             Penyampaian pesan dalam Pappaseng dalam bentuk élong

Penyampaian pesan dalam pappaseng dalam bentuk élong dapat dilihat pada contoh kutipan di bawah ini.

Tudanngaq ri pésonaku
Sanréqkaq ri totoku
Kutajeng pammasé

Terjemahan:

Kududuk bertawakkal
Bersandar pada nasib
Kunantikan berkah
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                 Mahmud (1989: 43)

  1. Penyampaian pesan dalam bentuk kalimat imperatif
Penyampaian pesan dalam pappaseng dalam kalimat imperatif dapat dilihat pada contoh kutipan di bawah ini.

Mattuo ri teppeqmu
            Ajak muwélimpéling
            Ri kasiwiammu

            Terjemahan:

            Pelihara imanmu
            Janganlah engkau lengah
            Terhadap amal ibadahmu       

                                                Mahmud (1989: 45)

  1. Penyampaian pesan dalam bentuk kalimat-kaliamat pernyataan
Penyampaian pesan dalam pappaseng dalam kalimat pernyataan dapat dilihat pada contoh kutipan di bawah ini.

Tinuluq kuala tonra
Pata kuala guling
Pésona sompekku
Terjemahan:

Rajin kujadikan pegangan
Teliti kujadikan kemudi
Tawakkal  layarku
                                                Mahmud (1989: 44)
  1. Penyampaian pesan dalam bentuk ungkapan
Penyampaian pesan dalam pappaseng dalam bentuk ungkapan dapat dilihat pada contoh kutipan di bawah ini.

            Ajak mumaéloq natunai sekkeq patunai enrenngé labo paqburuq

            “Janganlah hendaknya mau dihina oleh pelit yang menghinakan dan boros yang menghancurkan.” Haddade (1986: 27)                      
Dari beberapa contoh pappaseng yang dikemukakan pada pembahasan bagian ini, menunjukkan cara pengorganisasian pesan yang berbeda-beda. Ada yang disampaikan dalam bentuk dialog, élong, kalimat imperatif, kalimat dek-laratif, dan ungkapan. Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa bentuk-bentuk penyampaian pesan dalam pappaseng terbatas pada cara-cara tersebut melainkan mungkin saja masih ada cara lain yang belum diungkap dalam tulisan ini.

[                                                           
C.           BEBERAPA ALTERNATIF STRATEGI PENDIDIKAN NILAI DAN KARAKTER  BERBASIS PAPPASENG

Studi tentang nilai dan karakter telah lama menjadi pokok perhatian para psikolog, pedagog dan para pendidik. Apa yang disebut nilai dan karakter bisa dipahami secara berbeda-beda oleh para pemikir sesuai penekana dan pendekatan mereka masing-masing. Karena itu, tidaklah mudah untuk menentukan secara definitif apa karakter itu.
Dalam tulisan ini, karakter dipahami sebagai kumpulan tata nilai yang mewujud dalam suatu sistem daya juang yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku manusia. Karakter harus diwujudkan melalui nilai-nilai moral yang dipatrikan semacam nilai intrinsik dalam diri manusia. Namun demikian, karakter harus dibentuk, ditumbuhkembangkan, dan dibangun secara sadar  dan sengaja melalui proses pendidikan.
Seperti halnya dengan bidang-bidang yang lain, ada berbagai cara untuk mencapai seperangkat tujuan pendidikan. Untuk pendidikan nilai, berbagai metode, program, dan kurikulkum telah dikembangkan untuk menolong generasi muda agar dapat mencapai kehidupan yang secara pribadi lebih memuaskan, dan secara sosial lebih konstruktif. Dilihat dari substansinya, ada empat pendekatan yang dianggap sebagai gerakan  utama dalam bidang pendidikan nilai yang konstruktif, yaitu: (1) relaisasai nialai, (2) pendidikan watak, (3) pendidikan kewarganegaraan, dan (4) pendidikan moral (Zuchdi, 2009: 38),
Pendidikan nilai maupun pendidikan karakter  di dalam masayarakat Bugis Sulawesi Selatan perlu dilakukan melalui pendekatan budaya lokal. Pappaseng sebagai falasafah hidup masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, perlu disegarkan terutama di dalam penentuan metode dan strategi pedidikan nilai dan karaakter.yang tepat.
Seperti dijelaskan pada uraian terdahu bahwa  di dalam seebuah papaseng terkandung suatu ide yang besar, buah pikiran yang luhur, pengal;aman jiwa yang berharga, dan pertimbangan-pertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat yang baik dan buruk. Nilai-nilai luhur dalam sebuah pappaseng dikemas dengan baik dalam sebuah konsep dengan makna yang bersifat abstrak sehingga untuk memahami makna itu memerlukan pendekatan-pendekatan tertentu, karena tidak menutup kemungkinan  pula bahwa makna di balik pap-paseng itu bersifat situasional.  
Pappaseng seperti halnya dengan setiap kearifan atau kebijakan, sedikit atau banyak selalu mengalami pergeseran nilai sepanjang sejarah yang dilaluinya. Namun, di balik itu niscaya akan tetap juga ada yang tidak berubah nilainya dan tidak bertentangan dengan falsafah negara sebagai nilai nasional yang dianut bersama.
D.                
E.                
             Beberapa contoh pappaseng dan nilai-nilai utama yang terkandung di dalamnya, dan dijadikan sebagai tatanan hidup masyarakat akan dikemukakan sebagai berikut:

1.        Nilai berkaitan dengan kejujuran
       Kejujuran merupakan landasan pokok dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia dan merupakan salah satu faktor yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia.
       Dalam pappaseng diungkapkan sebagai berikut:
             Makkedai To rioloé: “Nakko engka muéloreng napogauk taué, rapanngi lopi. Maéloqpo tonangiwi mupatonangianngi taué. Ianaro riaseng malempuq makkuwaé.” (Ambo Enre, 1985: 10)


      
       Terjemahan:
       ‘Orang tua-tua (leluhur) berkata: “Sekiranya ada sesuatu yang engkau kehendaki dilakukan oleh orang lain, andaikanlah hal itu sebagai perahu. Jika engkau sendiri bersedia menumpanginya, barulah engkau menyuruh orang lain menumpanginya. Yang demikian itulah yang disebut jujur.’

            
       Dalam pappaseng tersebut dijelaskan seperti apa kejujuran itu yang seha-rusnya dikakukan oleh setiap orang.
       Terdapat pula ada pappaseng yang memberikan nasihat untuk senantiasa berlaku jujur, yang dikutip dari percakapan antara Kajao Laliddong  dengan Arumpone.
        
             Ajak muala waramparang  narekko taniya waramparammu;
             Ajak muala aju ripasanré narekko tania iko pasanréi;
             Ajak muala aju riwetta wali narekko taniya iko mpettai.   
               
                                                                                       Haddade(1986:15)
               
Terjemahan:
                Jangan mengambil barang-barang yang bukan milikmu;
                Jangan mengambil kayu yang disandarkan jika bukan engkau menyandarkannya;
                Jangan mengambil kayu yang ditetak ujung pangkalnya jika bukan engkau yang menetaknya.               
       
         Pappaseng tersebut, mengungkapkan kebiasaan orang kampung menyan-darkan atau menetak kedua ujung kayu yang diambilnya di hutan sebagai tanda sudah berpemilik.    
         Ada tiga konsep dasar untuk meraih kejujuran yang terdapat dalam pap-paseng. Ketiga konsep dasar itu adalah; siri (rasa malu); kewaspadaan (sikap hati-hati), dan rasa takut yang disertai ketelitian. Ketiga konsep tersebut tergambar dalam pappaseng berikut ini:
        Naiya appongenna lempuk-é tellunrupai:
        Seuwana, iyapa nqapoadai kadopi molai;
     Maduwanna, iyapa napogauk-i kadopi lewuriwi ri munripi tau-e           Matellunna, tennaenrekie waramparang ri palolok, tennassakkarenngi ada -
     ada maddiolona

Terjemahan:
         Yang menjadi pengkal kejujuran, ada tiga hal;
         Pertama, dikatakannya bila sanggup, melaksanakan
         Kedua, dilaksanakannya bila sanggup menanggung resiko
         Ketiga, tidak menerima barang sogokan, dan tidak menyangkal kata-kata yang pernah diucapkan.
   
        Pesan yang disampaikan dalam Pappaseng tersebut, seorang yang jujur tidak dengan mudah memutuskan sesuatu hal, tetapi terlebih dahulu dicermati kemudian dilakukan. Demikian pula, orang yang jujur, tidak menerima barang sogokan, dan tidak mengingkari kata yang pernah diucapkan.
       Selanjutnya dalam Pappaenna To Maccaé ri Luwu juga diungkapkan konsep kejujuran sebagai berikut:
Aruwai sabbinna lempu- é, iyanaritu:
          Napariwawoi ri wawo-é
         Napariyawai ri yawa-é
         Napariatauwi atawu-é
         Naparilaenngi ri lalenng-é   
         Napari abeoi abeo-é
         Naparisaliwenngi ri saliwenng-é
         Naparimunriwi ri munri-é
         Napariyoloi ri yolo-é
                                                                           Ambo Enre, (1985: 26)
 Terjemahan:
            Ciri-ciri kejujuran ada delapan hal:
             Menempatkan di atas yang pantas di atas
             Menempatkan di bawah yang pantas di bawah
             Menempatkan di kanan yang pantasa di kanan
             Menempatkan di kiri yang pantas di kiri
             Menempatkan di dalam yang pantas di dalam
             Menempatkan di luar yang pantas di luar
             Menempatkan di belakang yang pantas di belakang
             Menempatkan di depan yang pantas di depan
         Pappaseng tersebut menyampaikan pesan bahwa kejujuran itu berarti menilai sesuatu secara objektif, menempatkan sesuatu menurut posisinya, dan menyelesaikan masalah dengan adil dan bijaksana.

2.       Nilai-nilai yang  Berkaitan dengan Etos Kerja
       Dalam kaitannya dengan etos kerja, sejak dahulu orang Bugis dikenal sebagai pelaut ulung. Karena akrabnya dengan air dan laut, maka sifat-sifat dinamis dari gelombang yang selalu bergerak dan tidak mau tenang itulah yang mempengaruhi jiwa dan pikirannya (Said, 1997:4). Haltersebut dilukiskan sebagai sifat dinamis, penuh semangat tanpa kenal putus asa, dan pantang mundur yang dapat dilihat dalam pappaseng  berikut ini:
      ‘Pura babbara sompekku
      Pura gucciri gulingku
Ulebbirenngi tellenngé natowalié                                                                                                     Amir, dkk., (1982:56)
Terjemahan:
         Layarku sudah berkembang,
         Kemudiku sudah terpasang,
         Kupilih tenggelam daripada kembali”
          Demikianlah sifat yang hebat, pantang mundur bila ingin mencapai sesuatu.
Namun, sifat hebat itu dikendalikan pula dalam pappaseng berikut ini:
         Narékko moloiko roppo-roppo,
          Rewekko mappikkirik   
Terjemahan:
             Jika anda berjalan dan menjumpai semak belukar,
             Kembalilah berpikir.
      Terdapat pula sebuah élompugi yang sudah sangat populer di kalangan masyarakat Bugis, sebagai berikut:
             Résopa temmanginngi
             Namalomo nalétéi
             Pammasé déwata
                                                                                              
Terjemahan:
                    Hanya bekerja yang tekun
                     Sering menjai titian
                     rahmat Ilahi

3.       Nilai-nilai yang Berkaitan dengan Kegotongroyongan
      Ada pernyataan menarik dari orang Belanda bahwa orang Bugis-Makassar tidak bolleh menjadi tentara karena tidak disiplin, semuanya mau jadi komandan. Dan sifat ini terlihat ketika berlayar tidak mau kalah dan harus selalu menjadi ponggawa (Amir,dkk.1982:54). Namun, di balik watak yang keras itu, terdapat pula sikap positif bahwa masyarakat Sulawesi Selatan, meskipun tradisional tetapi paling dinamis dan memiliki solidaritas dan sifat kegotongroyongan. Hal ini terungkap dalam pappaseng berikut ini:

        “Rebba sipatokkong,
         maliq siparappé,
         malilu sipakaingeq.” Mattalitti (1986: 13)



Terjemahan:
         ’Rebah, saling menegakkan;
   hanyut-terbawa arus, saling mendamparkan;
   hilap, saling memperingati.’
                                                                       


4 . Nilai-nilai yang berkaitan dengan keteguhan hati
      Dalam bahasa Bugis, keteguhan dapat disebut getteng, yang dapat pula diartikan tegas, tangguh, dan teguh pada keyakinan dan taat asas. Dalam kaitannya dengan keteguhan ini, terdapat pappaseng Arung Bila, yang dikutip berikut ini:
            ”Tellu riyala toddok:
            Getteng,
            Lempu,
            Ada tongeng  (Mahmud,1986: 23)
Terjemahan:
            Ada tiga hal yang dapat dijadikan patokan, yaitu:
            Keteguhan,
                  Kejujuran
      Ucapan benar

5.       Nilai-nilai yang berkaiutan dengan keberanian
       Nilai-nilai yang berkaitan dewngan keberanian digambarkan dalam pap-paseng Arung Bila sebagai berikut:
             “Akguruiiwi gaukna to warani-é, enrenng-é ampéna, apak iya gaukna to warani-é, seppuloi wawangenna seuwana jana. Jajini asera decenna. Iyanaro nariyaseng maja seddi-é nasabak matei. Naé topellorenng-é maté muto.
             Naiya decenna to warani é;
             Seuwani, tettakkini napolei ada maja
             Maduawanna, tennajampangiwi kareba-é
             Matellunna, temmatau-i ripalao ri yolo
             Maeppana, temmatau-i ri paonro ri munri
             Malimanna, temmatau-i mita bali
             Maennenna, ri asirik-i
             Mapitunna, riala-i passappo ri wanuwa-é
             Maruwana, Matinuluk-i pajaji passurong
             Maserana, rialai pakdekbak tomawatang
                                                                                    Mattaliti (1986:24).    
   
           Dalam pappaseng tersebut diungkapkan bagaimana sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang pemberani, dan itu sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan. Keberanian harus dimiliki oleh seorang pemimpin.

6.        Nialai-nilai yang berkaitan dengan Kecendekiaan
          Kecendekiaan dapat diuraikan asal katanya, yakni dari kata cendekia yang berarti: tajam pikiran; lekas mengerti, cerdas, pandai. Dalam hal ini kecendekiaan dapat diartikan sebagai kepandaian menggunakan kesempatan, kecepatan mengeryi situasui dan mencari jalan keluar (Depdikbud, 1997). Nilai-nilai yang berkaitan dengan kecendekiaan dapat digambarkan dalam pappaseng berikut ini:



IV.    SEKILAS TENTANG MASYARAKAT BUGIS DI SULAWESI SELATAN
                                                  
             Masyarakat di Sulawesi Selatan didiami oleh suku bangsa yang terdiri dari etnis Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Namun, etnis Mandar terpisah setelah terbentuknya Propinsi Sulawesi Barat.

             Dengan demikian, di wilayah Sulawesi Selatan tinggallah tiga etnis, masing-masing; Bugis, Makassar, dan Toraja. Ketiga etnis ini, mempunyai ciri-ciri persamaan dalam srtuktur sosial. Namun, sistim sosial dan budaya dari setiap etnis menampakkan perbedaan, bahkan perbedaan prinsipil disebabkan oleh adanya perbedaan sejarah perkembangan, perbedaan lingkungan hidup, dan perbedaan geografis.(Amir, 1982: 72). Namun, perbedaan itu lebih merupakan hikmah dan kekayaan budaya yang akan memotivasi kita untuk lebih giat lagi mengkaji tentang budaya masing-masing etnis tersebut.

V.     PENUTUP
Pencarian alternatif terbaik untuk meningkatkan kualitas pendidikan nilai perlu diupayakan. Pendidikan nilai yang bagaimanakah yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas akhlak subjek didik. Bagaimanakah penerapan pendidikan nilai di sekolah dan di luar sekolah?
Pendidikan nilai dapat dilakukan dengan membangun kemitraan yang berdaya guna antara lembaga pendidikan, keluarga, dan lembaga kemasyarakatan. Namun pernyataan ini hanya sebatas teori.    
Pendidikan karakter sulit untuk diberikan batasan yang tegas, karena tidak adanya indikaror-indikator yang jelas sehingga selama ini pendidikan karakter selalu dititikberatkan pada pengimplementasian nilai-nilai etika dan moral yang selalu dikaitkan dengan kemampuan seseorang untuk menerapkan nilai-nilai yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan. 
Pendidikan nilai dan pendidikan karakter  di dalam masayarakat Bugis Sulawesi Selatan perlu dilakukan melalui pendekatan budaya lokal. Pappaseng sebagai falasafah hidup masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan, perlu disegarkan terutama di dalam penentuan metode dan strategi pedidikan nilai dan karaakter.yang tepat.
Pengorganisasian pesan dalam pappaseng berbeda-beda. Ada yang disampaikan dalam bentuk dialog, élong, kalimat imperatif, kalimat deklaratif, dan ungkapan. Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa bentuk-bentuk penyampaian pesan dalam pappaseng terbatas pada cara-cara tersebut melainkan mungkin saja masih ada cara lain yang belum diungkap dalam tulisan ini.

      
 DAFTAR PUSTAKA

Ali, Lukman, dkk., 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ambo Enre, Fachruddin, dkk. 1985/1986. Pappasenna To Maccaé ri Luwuq sibawa Kajao Laliddong ri Boné. Ujung Pandang: Depdikbud, Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan La Galigo.
Amir, Andi Rasdiana, dkk. 1982. Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi. Ujung Pandang: IAIN Alauddin.
Depdikbud, 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Depdiknas, 2000. “Nilai Edukatif Pappaseng dalam Sastra Bugis.” Bunga Rampai Hasil Penelitian Bahasa dan Satra I. Makassar: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdiknas.
Depdiknas, 2010. “Nilai Budaya dalam Pappaseng Tomato: “Petuah Leluhur” Bunga Rampai Hasil Penelitian Bahasa dan Sastra. Balai Bahasa Ujung Pandang, Pusat Bahasa. Departemen Pendidikan Nasional. 
Haddade, Muh.Naim. 1986. Ungkapan, Pribahasa, dan Paseng: Sastra Bugis. Jakarta : Depdikbud, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Hakim, Zainuddin, 1990. Pasang dan Paruntukkana dalam Sastra Klasik Makssar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Koesoema A, Doni, 2010. Pendidikan Karakter, Strategi Mendidik Anak di Zaman Global. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.
Mattalitti, M. Arif, dkk. 1986. Pappaseng To Riolotak. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa.
Mattulada, 1995, Latoa: Suatu Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Ujung Pandang: Hasanuddin University Press.

Punagi, Andi Abu Bakar, 1989. Pappaseng (Wasiat Orang Dahulu). Ujung  Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulsel.
Said DM, M.Ide, 1977. Kamus Bahasa Bugis-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Said, D.M., 1997. Konsep Etos Kerja Menurut Sumber Bahasa, Sastra, dan Budaya Bugis. Makassar. Ujung Pandang IKIP.
Zuchdi, Darmiyati, 2009. Humanisasi Pendidiikan. Jakarta: PT Bumi Aksara.                
 
          











                                      












Tidak ada komentar:

Posting Komentar