Sabtu, 19 Oktober 2013

PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA BUGIS DI SULAWESI SELATAN:

PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA BUGIS DI SULAWESI SELATAN:
 Beberapa Pokok Pikiran
Oleh: Syamsudduha
Universitas Negeri Makassar

I. Pendahuluan
        Bahasa Bugis sampai saat ini masih tetap merupakan alat komunikasi sehari-hari yang penting di Sulawesi Selatan. Bagi masyarakat Bugis, bahasa Bugis merupakan sarana pendukung kebudayaan, lambang kebanggaan daerah, dan lambang identitas daerah. Wilayah pemakaian bahasa Bugis meliputi seluruh Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, bahasa Bugis juga dipakai sebagai bahasa komunikasi di antara para perantau Bugis di beberapa daerah, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Irian Jaya, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Jambi, dan sepanjang pantai  di Provinsi Riau, dan Sumatra bahkan di luar wilayah Indonesia, misalnya di Johor, dan Tawao Malaysia (Abas, 1975).
        Menurut filasafat Sulapak Eppak-É, manusia terjadi dari api, angin, air, dan tanah. Keempat unsur tersebut menggambarkan sifat-sifat mansia. Api meng-gambarkan sifat yang penuh semangat tanpa kenal putus asa, dan pantang mundur. Angin, menggambarkan sifat yang senantiasa mengenakkan, namun jika mengamuk dapat memusnahkan segalanya. Air, menggambarkan sifat yang selalu membungkuk-bungkuk (merendah) tetapi kadang-kadang palsu, dan tanah menggambarkan sifat yang selalu sabar, jujur, menerima, dan menyesuaikan diri.
      Lontarak Sulapak Eppak-É menggambarkan bahwa jika keempat sifat itu bercampur, maka harus diusahakan agar yang menonjol adalah sifat tanahnya. Namun demikian, dalam masyarakat Bugis sangat dominan sifat apinya. Sifat api memang baik karena penuh semangat tanpa kenal putus asa (pantang mundur). Hal ini biasa dilukiskan sebagai semangat pelaut Bugis dengan tekad pantang mundur dalam syair Bugis:
      ” Pura babbara sompekku
         Pura gucciri gulingku
         Ulebbirenngi tellenngé na towalié”


        Artinya:
             “Layarku sudah terkembang
                Kemudiku sudah terpasang
                Kupilih tenggelam daripada kembali”
        Namun, lontarak juga mengendalikan semangat hebat tersebut, dalam ungkapan:
             ”Narekko moloiko roppo-roppo
                Réwekko mappikkirik”
        Artinya:
             ” Jika anda berjalan dan menjumpai semak belukar,
                 Kembalilah berpikir.”                                
       Besarnya nilai-nilai budaya yang diemban oleh bahasa Bugis tersebut sebagaimana yang tersirat dalam huruf-huruf lontarak, maka sangat disayangkan jika gejala kemunduran bahasa daerah berlangsung terus-menerus. Oleh karena itu, perlu adanya upaya nyata dalam  pembinaan dan pengembangan bahasa Bugis di Sulawesi Selatan.

II.   Bahasa Bugis dan Dialek-dialeknya
       Secara geografis, daerah Bugis terletak di daerah semenanjung barat daya Sulawesi yang dalam pengertian menyeluruh meliputi daerah kabupaten Luwu, Wajo, Soppeng, Bone, Sinjai, Bulukumba (Kecuali Kajang dan Bira), sebagian Maros dan Pangkep, Barru, Parepare, Pinrang, dan Pangkajenne Sidenreng. Selain itu, sejak beberapa abad yang lalu, orang  Bugis telah banyak bermukin di berbagai daerah yang tersebar di kepulauan nusantara. Daerah pemukiman orang Bugis di luar Sulawesi, antara lain; pesisir timur Kalimantan yang berpusat di Samarinda, pesisir barat Kalimantan yaitu di sekitar Sungai Kakap, Sambas, dan Pontianak, di kepulauan Batam, Ende Flores, dan pulau-pulau di sebelah timur Pulau Lombok. Sejak permulaan abad kedua puluh orang Bugis telah banyak pula yang bermukim di pesisir timur Sumatra, yakni di Indragiri, Riau, dan Jambi (Sikki, dkk. 1991). Dengan demikian, tidak mengeherankan jika variasi dialek terdapat dalam bahasa Bugis.
      Studi tentang dialek bahasa Bugis telah dilakukan oleh Palenkahu yang menghasilkan Peta Sulawesi Selatan (1974), Timothy dan Barbara Friberg yang menghasilkan Geografi Dialek Bahasa Bugis.
      Berdasarkan peta bahasa Sulawesi Selatan, dialek bahasa Bugis meliputi; dialek Luwu, Waji, Palakka, Ennak, Soppeng, Sidenreng, Parepare, Sawitto, Tellumpanuwa-É (Campalagian), dan Ugi Ri awa. Sedangkan Geografi Dialek Bahasa Bugis (1985), menggambarkan dialek-dialek bahasa Bugis meliputi; dialek Luwu, Wajo, Bone, Sinjai, Soppeng, Sidrap, Sawitto, Pasangkayu, Barru, Pangkep, dan Camba.
       Selain itu, dialek bahasa Bugis juga digambarkan oleh Charles E. Grimes and Grimes and Barbara D. Grimes (1987) yang ditulis dalam buku `Language Of South Sulawesi.´   

III.              Beberapa Pokok Pikiran
A.                  Pemakaian Bahasa Bugis di Sulawesi Selatan
      Suvai tentang pola pemakaian bahasa Bugis di Sulawesi Selatan telah dilakukan oleh Kamaruddin (1992). Hasil survai menunjukkan bahwa 98 persen di antara responden yang mengatakan bahwa anak di desanya mempelajari bahasa daerah sebagai bahasa pertama dan hanya 2 persen yang menyatakan bahasa Indonesia yang pertama dipelajari oleh anak-anak.
      Hasil survai menunjukkan pula bahwa 60,5% di antara responden yang menyatakan bahwa anak muda masih menggunakan bahasa daerahnya dengan baik, hanya 9% di antara responden menyatakan bahwa anak muda menggunakan bahasa daerahnya dengan kurang baik. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa daerah di kalangan penduduk di Sulawesi Selatan masih sangat kuat. Hal ini pun didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Taha (1996) yang menunjukkan bahasa daerah di kalangan penduduk di Sulawesi Selatan masih sangat kuat.
        
B.     Upaya Pembinaan Bahasa Bugis
      
       Pembinaan bahasa adalah suatu upaya untuk meningkatkan mutu pema-kaian bahasa. Upaya-upaya pembinaan dapat dilakukan melalui upaya peningkatan sikap, pengetahuan, dan keterampilan berbahasa yang dapat dilakukan antara lain, melalui pengajaran dan pemasyarakatan (Alwi, 2003: 9)
Pembinaan bahasa daerah Bugis di Sulawesi Selatan dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain: 
1)      Pengajaran Bahasa Bugis sebagai Muatan Lokal
             Pengajaran bahasa Bugis di Sulawesi Selatan telah dilakukan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai pada tingkat Sekolah Menengah. Bahkan, di Perguruan Tinggi khususnya pada Jurusan Bahasa  telah diajarkan sebagai mata kuliah wajib dalam paket-paket pilihan.  Dalam bidang pengajaran, telah dilakukan penyusunan rancangan kurikulum muatan lokal untuk Sekolah Dasar dan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, dan pengadaan bahan ajar.   
2)                                                 Pemasyarakatan Bahasa Bugis
      Dalam upaya pembinaan bahasa Bugis di Sulawesi Selatan, telah dilakukan beberapa  langkah strategis, antara lain; (1) penerbitan berbahasa daerah Bugis,  (2) pembacaan berita dalam bahasa Bugis, baik melalui TVRI maupun RRI, (3) siaran radio swasta dengan menggunakan pengantar bahasa Bugis, dan (4) penulisan nama-nama jalan dengan menggunakan huruf antarak. Namun, yang diharapkan bukan hanya sebatas hal demikian, tetapi kalau perlu setiap lembaga atau instansi, nama-nama hotel, restoran, dan tempat-tempat strategis lainnya, sebaiknya mengganti nama-nama asing dengan nama-nama daerah yang dianggap cocok dan sesuai dengan jati diri masyarakat Sulawesi Selatan sehingga ciri kedaerahan dan jati diri masyarakat Sulawesi Selatan dapat dipertahankan.

C.                  Pengembangan Bahasa Bugis
Pengembangan bahasa Bugis adalah suatu upaya peningkatan mutu bahasa daerah agar dapat digunakan dalam berbagai keperluan  dalam kehidupan masyarakat modern. Upaya pengembangan itu, mencakup, penelitian, pembakuan, dan pemeliharaan.
Dalam kaitannya dengan kegiatan penelitian, dapat dikatakan bahwa  hampir seluruh aspek bahasa Bugis telah diteliti. Penelitian dalam berbagai aspek yang telah dilakukan, antara lain; Matthes (1875), R.A. Kern (1940), Noorduyn (1955), U. Shirk (1975), Timothy Friberg and Barbara Friberg (1985), dan Grimes and Grimes (1987)  Penelitian Sastra Lisan Bugis( oleh Fachruddin, A.E., dkk. (1981), Bahasa Bugis Soppeng: Valensi Morfologi dasar Kata Kerja oleh Kaseng (1982), Sistem Pemajemukan Bahasa Bugis oleh Hawang Hanafie(1988),  Fonologi Bahasa Bugis Bulukumba oleh Kulla Lagousi (1988), Struktur Klausa Bahasa Bugis oleh Jalil Faisal (1990), Klitika Bahasa Bugis oleh A. Mahmuddin (1991), Frase Verba Bahasa Bugis Soppeng oleh Lukman (1991) Kelas Kata Bahasa Bugis oleh Hawang Hanafie (1992), dan Sistem Derivasi dan Infleksi Bahasa Bugis Dialek Sawitto,  oleh Syamsudduha (1999).
  Data tersebut memperlihatkan bahwa penelitian  terhadap bahasa Bugis telah lama dilakukan, dan beberapa tahun terakhir, penelitian bahasa Bugis mengalami kemajuan pesat.
     Di samping kegiatan penelitian, berbagai upaya telah dilkukan untuk pengembangan bahasa  Bugis, antara lain;
a.       Pengembangan  aksara dan ejaan
Sistem aksara lontarak terdiri atas 23 tanda bunyi yang biasa disebut ina surek artinya `induk huruf ΄. Di samping itu, terdapat pula tanda-tanda yang dapat menimbulkan variasi bunyi yang disebut anak surek.
Ke-23 tanda bunyi `ina surek΄ tersebut adalah:

k       g       G       K
      ka             ga              nga            ngka
      p       b       m       P 
pa             ba              ma           mpa 

           t       d       n      R
      ta               da              na            nra

           c       j       N      C
      ca               ja               nya          nca                          
                                         
      y       r        l      w
      ya              ra               la             wa

            s       a       h
           sa                a                ha

    Kelima anak surek ditempatkan pada berbagai posisi berikut:

a.       tanda  ( e---- )  tempatnya di depan  ina surek  menghasilkan bunyi  /É/
b.      tanda  (---- o)  tempatnya di belakang  ina surek menghasilkan  bunyi /o/
c.   tanda  ( ----E )   tempatnya di atas ina surek menghasilkan bunyi /ə/
d.   tanda  ( --•-- )  tempatnya di atas ina surek, mengahasilkan bunyi /i/ dan
e.   tanda  ( --.--)di bawah ina surek,  menghasilkan bunyi /u/
Sistem ejaan telah berkali-kali diupayakan penyempurnaannya. Atas prakarsa Lembaga Bahasa Nasional  Cabang III Ujung Pandang, pada tahun 1975 telah diselenggarakan Seminar Pembakuan Ejaan Bahasa Bugis-Makassar dengan huruf latin di Ujung Pandang. Hasilnya, berupa Pedoman Ejaan Bahasa-bahasa Daerah di  Sulawesi Selatan (1989). Selanjutnya, pada tahun 1990 diadakan Lokakarya Pemantapan Ejaan Latin Bahasa-bahasa Daerah di Sulawesi Selatan yang dibiayai oleh Balai Penelitian Bahasa  di Ujung Pandang. Adapun implikasi dari seminar tersebut adalah timbulnya kesadaran pemerintah daerah untuk melestarikan sistem aksara yang direalisasikan dengan meningkatkan pengajaran bahasa Bugis di sekolah-sekolah termasuk pengajaran aksara lontaraknya.

b.       Pengembangan  Kosakata
         Pengembangan di bidang kosakata telah direalisasikan dengan penyusunan Kamus Bugis-Indonesia oleh M. Ide Said, D.M., dkk. (1976), dan dalam perkem-bangannya, telah disusun pula kamus Indonesia-Makassar-Bugis (2007) oleh Daeng, Kembong dan Syamsudduha.
 C. Pengembangan Struktur   
       Pengembangan  struktur fonologi telah direalisasikan dengan pendeskripsian aspek fonologi bahasa Bugis yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti bahasa, antara lain oleh Samsuri (1965), Husen Abas (1975), dan penelitian tentang pola bunyi bahasa Bugis oleh Kulla Lagousi (1992).
        Bidang morfosintaksis merupakan bidang struktur bahasa Bugis yang paling banyak mendapat perhatian dari para sarjana dan peneliti bahasa daerah di Sulawesi Selatan. Seperti yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti bahasa, antara lain; Samsuri (1965), Husen Abbas (1975), dan penelitian tentang pola bunyi bahasa Bugis oleh Kulla Lagousi (1992).
Kaseng (1976), telah meneliti;  Valensi  Morfologi Dasar Kata Kerja Bahasa Bugis Soppeng, Sistem Perulangan Bahasa Bugis (1983), dan Kata Tugas dalam Bahasa Bugis (1987). Abdul Jalil Faisal telah meneliti tentang struktur klausa bahasa Bugis (1990) Selain itu, penelitian tentang kelas kata dalam bahasa Bugis dilakukan oleh Sitti Hawang Hanafie (1992). Dengan adanya beberapa hasil penelitian tersebut, terlihat bahwa minat para sarjana dan peneliti bahasa untuk mengkaji bahasa-bahasa daerah di Sulawesi  Selatan semakin tinggi. Namun, apabila dicermati penelitian bahasa Bugis yang telah dilakukan, terutama dalam cabang-cabang linguistik, misalnya, psikolinguistik, tipologi bahasa, dan filologi boleh dikatakan masih terbatas.
 Demikian pula, penelitian bahasa Bugis dari segi diakronik dapat dikatakan belum memadai (Said, D.M., 1998:2).

d. Pengembangan di bidang fungsi-fungsi kemasyarakatan   
        Pengembangan di bidang fungsi-fungsi kemasyarakatan yang menjadi sarana pemasyarakatan hasil-hasil pengembangan bahasa daerah yang masih tetap penting sampai saat ini adalah bidang pendidikan dan bidang agama. Sebagaimana telah dikemukakan oleh Taha (1996) bahwa pemakaian bahasa Bugis dalam ranah pendidikan, terutama pendidikan dasar sampai saat ini masih menjadi bahasa pengantar di sekolah Dasar di samping bahasa Indonesia. Bahkan, saat ini bahasa daerah telah menjadi mata pelajaran muatn lokal pada jenjang pendidikan dasar, Sekloah Lanjutan Tingkat Pertama SLTP), dan pada Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin terdapat Jurusan Bahasa Daerah, dan pada FPBS IKIP Ujung Pandang (Sekarang UNM) juga pernah dibuka Program Studi Bahasa Daerah Bugis dan Program Studi Bahasa Makassar, dan sekarang ini pada FBS Universitas Negeri Makassar, jurusan Bahasa Daerah masih tetap eksis, namun disatukan dengan jurusan Bahasa Indonesia yang menjadi jurusan Bahasa Indonesia dan Daerah.
       Pemakaian bahasa daerah Bugis sebagai bahasa pengantar di bidang keagamaan, khususnya agama Islam masih tetap tinggi. Madrasah  dan pesantren di daerah masih menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di samping bahasa Indonesia, bahasa Inggeris dan bahasa Arab. Khotbah dan dakwah keagamaan masih sering disampaikan dengan bahasa Bugis di samping bahasa Indonesia. Bahan pustaka agama berupa terjemahan Kitab Suci Al-Qur`an atau hadis juga kebanyakan ditulis dalam bahasa daerah Bugis.

IV.       PENUTUP
     Pembinaan dan pengembangan bahasa Bugis di Sulawesi Selatan sangat mendesak, melihat pemakaian bahasa Bugis dewasa ini, dalam ranah tertentu masih memperlihatkan intensitas yang cukup tinggi. Meskipun secara umum dapat dikatakan mengalami kemunduran. Untuk mengantisipsi hal ini, berbagai upaya pembinaan  dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain; (1) pengajaran Bahasa Bugis sebagai Muatan Lokal, (2) pemasya-             rakatan Bahasa Bugis.  Adapun langkah-langkah strategis yang dilakukan, antara lain; (1) penerbitan berbahasa daerah Bugis,  (2) pembacaan berita dalam bahasa Bugis, baik melalui TVRI maupun RRI, (3) siaran radio swasta dengan menggunakan pengantar bahasa Bugis, dan (4) penulisan nama-nama jalan dengan menggunakan huruf lontarak. Namun, yang diharapkan bukan hanya sebatas hal demikian, tetapi kalau perlu setiap lembaga atau instansi, nama-nama hotel, restoran, dan tempat-tempat strategis lainnya, sebaiknya mengganti nama-nama asing dengan nama-nama daerah yang dianggap cocok dan sesuai dengan jati diri masyarakat Sulawesi Selatan sehingga ciri kedaerahan dan jati diri masyarakat Sulawesi Selatan dapat dipertahankan.
Dalam upaya pengembangan bahasa Bugis, telah dilakukan berbagai aspek,  termasuk aspek fonologi, morfologi, dan Sintaksis.
     Berdasarkan kenyataan terebut, pada kesempatan ini penulis menya-rankan perlunya penyebarluasan hasil-hasil penelitian dan hasil-hasil seminar melalui berbagai media sehingga bahasa daerah pun bisa mengikuti arus globalisasi. Sedangkan untuk memelihara kelestarian bahasa Bugis, perlu adanya komitmen bersama antara pemerintah dan para pakar bahasa serta seluruh masyarakat daerah Sulawesi Selatan.










KEPUSTAKAAN

 Alwi, Hasan dan Dendy Sugono. 2003. Polotik Bahasa. Rumusan Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Amir, A. Rasdiyanah (Ed.). 1982. Bugis Makassar dalam Peta Islamisasi. Ujung Pandang: IAIN Alauddin.
Friberg, Timothy and Barbara Friberg. 1985. Geografi Dialek Bahasa Bugis. Ujung Pandang.
Grimes, Charles E. And Barbara D. Grimes. 1987. Languages Of South Sulawesi. Cambera Pacific Linguistic Series D-No.78.
Kamaruddin, 1992. Kajian tentang Hubungan antara Kedwibahasaan dan Sikap Bahasa dengan Kesadaran Adaptasi Inovasi pada Masyarakat Desa di Sulawesi Selatan (Disertasi). Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin.
Palenkahu, R.A., dkk. 1974. Peta Bahasa Sulawesi Selatan. Ujung Pandang. Lembaga Bahasa Nasional Cabang III.
Said D.M., M. Ide. 1998. Peningkatan Mutu Penelitian Bahasa Bugis. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa.  
Sikki, dkk. 1991. Tata bahasa Bugis. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Taha Zainuddin, 1996. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Sastra Bugis-Makassar(Makalah). Ujung Pandang: FPBS IKIP Ujung Pandang.
   
    

          


  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar