Sabtu, 19 Oktober 2013

KONSTRUKSI MORFOLOGIS BAHASA BUGIS: Suatu Tinjauan Pencirian Kata Majemuk

KONSTRUKSI MORFOLOGIS BAHASA BUGIS:
Suatu Tinjauan Pencirian Kata Majemuk

Syamsudduha
Universitas Negeri Makassar

Abstrak 


           Konstruksi morfologis suatu bahasa dapat menjadi kajian yang menarik jika dipandang sebagai suatu fenomena linguistik yang beragam sesuai dengan karakteristik bahasa yang dideskripsikan. Makalah ini mendeskripsikan konstruksi morfologis bahasa Bugis yang difokuskan pada tinjauan pencirian kata majemuk yang telah dikemukakan oleh para ahli linguistik, dan kesesuaiannya untuk diterapkan dalam penentuan kata majemuk bahasa Bugis. Pencirian kata majemuk telah dikemukakan oleh beberapa ahli linguistik, katakanlah beberapa nama, antara lain; Keraf (1984), Ramlan(1985),  Muslich ( 1990), dan Samsuri (1994).
           Karya liguistik yang berkaitan dengan kata majemuk  bahasa Bugis telah ditemukan dalam beberapa tulisan, antara lain; Said, dkk.(1979), Sannang (1979/1980), Sirk (1983), Kaseng, dkk.( 1983), Sikki, dkk.(1985)dan Hanafie(2007). Makalah ini akan mendeskripsikan contoh-contoh pemajemukan dalam bahasa Bugis yang merupakan hasil analisis penulis dengan merujuk pada tulisan sebelumnya.
            Suatu hal yang menarik dalam deskripsi kata majemuk bahasa Bugis adalah bahwa tidak semua ciri-ciri kata majemuk yang dikemukakan oleh para ahli linguistik terdahulu, dapat diterapkan secara konsisten di dalam bahasa Bugis. Hal ini disebabkan  karena perbedaan karakteristik bahasa Bugis dengan bahasa Melayu-Indonesia. Dengan demikian, hal ini dapat pula dikaji dengan menganalisis bahasa-bahasa Melayu serumpun.


.












1. Pendahuluan

            Bahasa Bugis (selanjutnya ditulis BB) adalah salah satu bahasa daerah yang ada di  Propinsi Sulawesi Selatan-Indonesia yang jumlah penuturnya terbesar, kurang lebih 4.000.000. jiwa (http: // Wapedia, Mobil/ id./Bahasa Bugis). Wilayah pengguna-annya meliputi daerah Kabupaten; sebagian Kabupaten Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng Rappang, Pinrang, Parepare, Barru, Maros, Pangkajenne Kepulauan, Sinjai, Bulukumba, sebagian Kabupaten Polewali-Mandar, sebaigian Kota Palopo, dan sebagian Kota Makassar. Luas wilayah penyebarannya selain Sulawesi Selatan sendiri juga sampai Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan, Sumatra, Jawa Pesisir Utara, Ambon, Ternate,  Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Boleh dikatakan hampir seluruh bagian pesisir Indonesia merupakan wilayah persebaran BB. Bahkan, di Malaysia, dan Brunei Darussalam juga merupakan wilayah persebaran BB (Hanafie, 2007: 1).
            Suatu hal yang patut dibanggakan bahwa penutur BB masih tetap memperlakukan  bahasanya sebagai lambang kebanggaan daerah, lambang identitas daerah, alat komunikasi antarwarga masyarakat daerah bahkan masih digunakan sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan Sekolah Dasar.
            Dalam menjalankan fungsinya sebagai alat pengembang dan pendukung kebudayaan daerah, BB dikenal memiliki sejarah dan tradisi yang cukup tua dan sampai saat ini tetap dipelihara oleh masyarakat penuturnya. Oleh  karena itu, BB perlu dikaji dari berbagai aspek guna pengembangannya ke depan,  termasuk kajian tentang konstruksi morfologisnya, khususnya dalam konstruksi kata-kata majemuk. Dalam kaitannya dengan pemajemukan, telah banyak dibicarakan oleh beberapa pakar linguistik terdahulu dalam bahasa Melayu-Indonesia. Namun, sampai saat ini belum ada kajian yang tuntas tentang hal ini. Terbukti,  beberapa tulisan sebelumnnya masih menyisakan persoalan dalam hal ini. Beberapa nama yang sejak lama telah membahas tentang kata majemuk dalam bahasa Melayu-Indonesia,  dapat penulis sebutkani di sini adalah Sutan Takdir Alisyahbana (1953), Slametmuljana (1957), Fokker (1960), Ramlan, (1967; 1985), Mees (1969), Parera (1977;1988), Badudu (1978), Verhaar (1977; 1996); Samsuri(1983; 1994); Soedaryanto (1983),  Kridalaksana (1987), Wiyanto (1987), dan Muslich (1990). Dari  deretan  nama-nama tersebut, ada di antaranya yang berpedapat bahwa ada kata majemuk dalam bahasa Melayu-Indonesia dan ada pula yang tidak sependapat dan menyatakan tidak ada kata majemuk dalam bahasa BMI. Sedangkan yang lainnya belum memihak kepada keduanya. Namun, para ahli yang sependapat tentang adanya KM dalam BMI, telah menyatakan beberapa hal yang dapat dijadikan dasar pencirian KM. Pertanyaan yang timbul adalah apakah ciri-ciri yang dikemukakan oleh para ahli tersebut, dapat diterapkan dalam  penentuan kata Majemuk bahasa serumpun, salah satu di antaranya adalah BB.              
            Mmakalah ini akan mendeskripsikan tentang konstruksi morfologis BB dalam kaitannya dengan pencirian kata majemuk yang telah dikemukakan oleh para ahli linguistik, dan kesesuaiannya untuk diterapkan dalam penentuan kata majemuk BB.
           
            Hal ini dimaksudkan agar dapat lebih meningkatkan fungsinya dan memberikan sumbangan yang berarti bagi pengembangan bahasa dan budaya Indonesia khususnya dan budaya Melayu pada umumnya, serta dapat menjadi perbandingan dalam pengembangan bahasa Melayu Serumpun.

2. Ruang Lingkup dan Masalah

            Berbicara tentang konstruksi morfologis BB, dapat dideskripsikan ke dalam empat kategori: (1) konstruksi sederhana yang mungkin merupakan morfem-morfem tunggal atau gabungan, antara morfem yang satu dengan morfem yang lain, (2) konstruksi rumit yang merupakan hasil penggabungan dua morfem atau lebih, (3) konstruksi pelapisan, (4) derivasi dan infleksi, dan (5) pemajemukan.
            Dalam makalah ini tinjauan difokuskan pada masalah yang terkait dengan konstruksi morfologis  pemajemukan, yakni bagaimana kesesuaian antara pencirian kata majemuk yang dikemukakan oleh para ahli linguistik, dan  bagaimana jika ciri-ciri itu diterapkan ke dalam BB.

3. Konstruksi Morfologis Bahasa Bugis

            Konstruksi morfologis adalah bentukan kata yang mungkin merupakan morfem tunggal atau gabungan antara morfem yang satu dengan morfem yang lain.Bentukan yang merupakan morfem tunggal biasa disebut konstruksi sederhana dan yang merupakan gabungan antara morfem yang satu dengan morfem yang lain biasa disebut konstruksi rumit. (Samsuri, 1994: 195). Selain konstruksi yang disebutkan tadi, dalam BB juga terdapat konstruksi pemajemukan yang menghasilkan kata- kata majemuk..
            Secara umum konstruksi morfologis, termasuk pemajemukan dalam BB sudah pernah dikaji oleh beberapa peneliti bahasa, baik dari kalangan liguis yang ada di Sulawesi Selatan–Indonesia sendiri maupun para linguis asing, seperti yang pernah dilakukan oleh Matthes(1875), R.A. Kern (1940), Noorduyn (1955), U. Sirk (1975), dan Grimes and Grames (1987) .
           
4. Kata Majemuk 

            Beberapa pengertian kata majemuk telah dikemukakan oleh para penulis terdahulu, dapat dikemukakan di sini seperti:Badudu (1978),  Keraf (1984); Ramlan, (1985), Wiyanto (1987), Samsuri (1994), dan Parera (1994).. Dalam BB ditemukan tulisan Said (1979), Sikki (1991),  Yunus (2004), dan Hanafie (2007) semuanya memberikan penjelasan yang senada bahwa kata majemuk adalah gabungan antara dua unsur atau lebih apakah itu gabunagan antara dua morfem atau antara dua kata yang mempunyai suatu kesatuan arti. Dalam kaitan ini, Muslich  mengemukakan beberapa contoh problema akibat perlakuan bentuk majemuk  antara lain,  yang berhasil dicatat di sini ada­lah problema akibat perlakuan bentuk majemuk. Problema itu terlihat pada persaingan pemakaian bentuk pertanggungja­wab­an dan pertanggungan jawab, kewarganegaraan dan kewargaan ne­gara, menyebarluaskan dan menyebarkan luas. Dari contoh itu ter­­­­lihat dua perlakuan bentuk majemuk, yaitu bentuk majemuk yang unsur-unsurnya dianggap sebagai satu kesatuan, dan ben­­­­tuk majemuk yang unsur‑unsurnya dianggap renggang. Pen­­­dapat pertama menganggap unsur‑unsur bentuk tanggung jawab, warga negara, dan sebar luas padu sehingga tidak mung­k­in disisipi bentuk lain, apabila diberikan awalan atau akhiran, misalnya, itu harus diletakkan di awal unsur per­ta­ma atau di akhir unsur kedua. Sebaliknya, pendapat ke­dua meng­anggap unsur‑unsur bentuk tanggung jawab, warga ne­gara, dan sebar luas renggang sehingga memungkinkan di­si­si­pi bentuk lain di antaranya. Dengan demikian, ketiga bentuk itu dapat dibentuk menjadi konstruksi pertanggungan jawab, kewargaan ne­gara, dan menyebarkan luas. Jika demikian, pendapat manakah yang tepat dari dua pendapat itu?
           
5. Pencirian Kata Majemuk

            Dalam pencirian kata majemuk terdapat berbagai pendapat yang sangat beragam. sebutlah nama Keraf, Ramlan, Muslich, Samsuri, Parera, dan Verhaar.
            Verhaar (1998:154) mengemukakan bahwa yang paling menarik perhatian pada pemajemukan adalah bahwa ada banyak perbedaan antarbahasa dalam hal ini. Dalam bahasa Melayu-Indonesia, misalnya boleh dikatakan sangat terbatas kata-kata yang memungkinkan pemajemukan. Selanjutnya, pencirian kata majemuk dapat dilihat pada bagan berikut ini:




                                             CIRI-CIRI KATA MAJEMUK


Badudu (1978); Hanafie (2007)
1.      komponen-komponen terdiri atas beberapa unsur langsung baik yang bebas maupun yang terikat (seperti satwa, biak, juang, dan sebagainya)
2.      di atara kedua komponennya tiadak disisipkan unsur lain, baik morfem bebas maupun morfem terikat
3.      gabungan komponennya mem-bentuk salah satu pusat; tiap komponennya tidak dapat diperluas dengan atribut apa pun. Jika ada, atribut untuk kedua komponen KM itu sekaligus, karena keduanya termasuk satu kesatuan yang tidak terpisahkan..

 Keraf  (1984)

1. gabungan itu membentuk suatu arti yang baru
2 gabungan itu dalam hubungannya keluar membentuk suatu pusat yang menarik keterangan-keterangan atas kesatuan itu, bukan atas satuan-satuannya,
3.  biasanya terdiri dari kata-kata dasar
4.  frekuensi pemakaiannya tinggi, dan
5. terbentuk menurut hukum DM, ter-utama kata-kata majemuk endosentris.
Ramlan (1985)
1.   Salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata.
2.   Unsur-unsurnya tidak mungkin dipi-sahkan, atau tidak mungkin diubah strukturnya
Muslich ( 1990)
1.   bermakna satu, misal makan hati di-maknai susah
2.   bila diberi keterangan, maka keterang-an itu berlaku untuk semua unsur
3.   komponen kata majemuk tidak dapat diperluas lagi
4.   komponen kata majemuk tidak dapat dipisahkan
Samsuri (1994)
    Unsur-unsurnya tidak dapat dipisahkan

Parera (1994)

 . pasangan antarunsur terikat.;  tidak mempunyai kemungkinan untuk berpasangan dengan bentuk kata lain 

Verhaar (1996)
1.   bersifat derivasional
2.   atribut tidak predikatif

            Untuk menjelaskan lebih lanjut tentang kata majemuk, penulis akan mengutip apa yang telah dirangkum oleh Parera(1994:82), sebagai berikut
(1)   Prinsip yang harus dipegang di dalam mengidentifikasikan apakah suatu konstruksi majemuk atau tidak ialah bahwa konstruksi itu memperlihatkan derajat keeratan yang tinggi sehingga merupakan kesatuan yang tak terpisahkan.
(2)   Sebagai kesatuan yang tak terpisahkan konstruksi majemuk berperilaku sebagai kata, artinya masing-masing konstituen dari konstruksi itu hilang otonominya, dan hilangnya otonomi itu berarti bahwa  masing-masing konstituen tidak dapat dimodifikasi secara terpisah maupun di antaranya tidak dapat disispi dengan morfem lain tanpa  perubahan atas nama aslinya.Selanjutnya dikatakan bahwa jika hendak dibicarakan mengenai bentuk majemuk, maka pembicaraan itu hendaklah pada tingkat dasar dan pada tingkat perluasan  
(3)   Keeratan konstruksi majemuk itu ditentukan oleh ciri sekurang-kurangnya satu konstituen yang memperlihatkan assosiasi (afinitas) yang konstan dengan konstituen lainnya  dalam konstruksi itu.  
(4)   Sebagai pangkal tolak penelitian lebih lanjut terhadap ciri-ciri konstruksi majemuk, terutama menurut derajat kepukalannya dapatlah dibuat daftar semua konstruksi menurut kontinun kepukalan. Dalam hal ini, Parera berpendirian bahwa frase-frase yang hingga kini oleh tata bahasa tradisional ditetapkan sebagai kata majemuk tidak lain daripada pembentukan frase berdasarkan analogi.
(5)   Oleh karena batas-batas konstiuen tidak jelas, maka terdapatlah konstruksi-konstruksi peralihan (intermediary form) antara yang jelas bersifat majemuk dan yang jelas bersifat frase.Parera berkesimpulan bahwa frase dalam BI dapat berpolisemi secara leksikal berdasarkan konteks situasi dan konvensi. Pendirian ini didasrkan pada ketiadaan batas yang jelas dalam kontinun yang bersifat majemuk dan yang bersifat frase.




6. Pemajemukan dalam Bahasa Bugis

     Penelitian tentang pemajemukan dalam BB, telah dilakukan oleh peneliti terdahulu, antara lain; Said, dkk.(1979), Sannang (1979/1980), Sirk (1983), Kaseng, dkk.(1983), Sikki, dkk.(1985)dan Hanafie(2007). Namun, tentu saja kajian yang mutakhir dapat melengkapi dan menyempurnakan teori-teori sebelumnya. Seperti yang dikemukakan oleh Langecker (1973: 24; Hanafie, 2007:2)  bahwa dalam tingkat perkembangan linguistik sekarang ini, para linguis tidak menghadapi teori-teori bahasa yang mutlak benar dan atau mutlah salah, tetapi teori-teori itu merupakan rangkaian yang saling berhubungan, dan mungkin saja satu teori lebih memenuhi syarat daripada yang lain. Sebaliknya, teori yang ketinggalan sekalipun, tetap berguna karena teori yang mutakhir tidak ada tanpa teori pendahulunya.
      Makalah ini  mendeskripsikan bagaimana konstruksi kata majemuk dalam BB dengan memperhatikan ciri-ciri kata majemuk yang dikemukakan oleh para linguis terdahulu. Tentu saja dengan harapan agar deskripsi ini dapat memperkuat, meninjau kembali, atau menyanggah teori-teori yang ada sebelumnya.
     
      Konsep kata majemuk pada berbagai tulisan terdahulu selalu menyatakan bahwa kata majemuk adalah gabungan dua buah kata atau lebih yang dapat melahirkan satu pengertian baru. Pengertian kata pada konsep tersebut kadang-kadang kabur, tidak jelas karena kadang-kadang ditemukan dalam bentuk morfem pokok bebas atau terikat, leksem atau berupa kata dalam pengertian umum  (Hanafie, 2007). Dalam makalah ini, penulis akan menggunakan istilah akar  untuk bentuk-bentuk prakategorial dalam pengertian bahwa setiap komponen kata majemuk dalam BB dapat berupa akar bebas atau calon kata, dasar sederhana atau kompleks. Selanjutnya, diuraikan deskripsi kata-kata majemuk dalam BB dapat dilihat pada uraian berikut ini: 
      Secara umum, pencirian kata majemuk pada berbagai tulisan sebelumnya, dapat dirangkum  dalam tulisan berikut ini:

a.       Kata majemuk adalah gabungan dua buah kata (unit-unit monomorfemik atau polimorfemik) atau lebih yang dapat menimbulkan satu pengertian baru.    
          Dalam BB terdapat kata kikkirik gellang  ’pelit’. Bentuk ini terdiri atas bentuk kikkirik yang berarti ’kikir’ dan gellang yang berarti sejenis tembaga,dan setelah penggabungan kedua kata tersebut menimbulkan suatu pengertian baru ’pelit’. Contoh lain, dapat dilihat pada kata-kata taro ada ’perjanjian,’ polo mata ’ilmu yang dapat menimbulkan rasa benci terhadap orang yang dicintai,’ jambang tedong ’besar pengeluaran,’ luppek tuppang ’lamban perkembangannya.’
            Beberapa contoh tersebut, memperlihatkan penggabungan dua buah kata yang memiliki makna tersendiri, yakni kata taro’simpan’ sedangkan kata ada’ kata’; kata polo’patah’, kata mata’mata’; kata jambang ’buang hajat,’ tedong ’kerbau,’ luppek’lompat’; tuppang ’katak,’ namun setelah pengga-bungan  masing-masing pasangan kata tersebut, menimbulkan pengertian baru 
.          Dengan demikian, ciri tersebut dapat diterapkan ke dalam BB.
b.      Biasanya terdiri dari kata dasar dan  frekuensi penggunaannya tinggi
            Dalam BB, selain bentukan kata majemuk yang terdiri dari kata dasar, juga ditemukan dalam bentuk kompleks, misalnya: tudang sipulung ’musyawarah’ matammeng kedo ’lamban; anggun,’ malintak jonga ’lincah,’              macinnong marikitik-kitik ’jernih sekali,’ malampek pakbekkeng  ’lamban,’                                         esso marapo ’hari naas.,’ terri marennik ’sangat sedih’
                        Pada umumnya, KM dalam BB terdiri atas dua komponen morfologik, namun ditemukan pula beberapa contoh penggabungan kata yang terdiri dari tiga komponen morfologik, misalnya:  matuna teppa timu ’gaya bicara selalu kurang sopan,’ cappuk sapu ri palek ’habis; ludes,’maraja essé babuwa ’cepat terharu,’ mappuji balo lipak ’cepat bosan,’ macinnong marikitik-kitik ’sangat jernih,’  maraja nawa-nawa ’banyak pertimbangan,’ makbéluwak sampo géno ’berambut sampai bahu.’
                                        
                        Bentuk-bentuk semacam ini mempunyai frekuensi penggunaan yang tinggi dalam bahasa BB. Beberapa contoh tersebut memperlihatkan bahwa konstruksi kata majemuk dalam BB, tidak hanya terdiri atas gabungan antarkata dasar, tetapi juga ditemukan gabungan antarkata dasar dengan kata berimbuhan, bahkan terdapat penggabungan anatarkata dasar dengan bentuk-bentuk berulang.      
                       Dari contoh konstruksi KM BB yang dikemukakan di atas, terlihat bahwa pencirian KM pada (b) tidak sepenuhnya sesuai dengan konstruksi kata majemuk BB.
        c. Karena merupakan satu makna, maka jika diberikan keterangan, itu berlaku untuk semua unsur.
                                    Melihat konstruksi morfologis BB, khususnya kata-kata majemuk nampaknya sejalan dengan pencirian tersebut, misalnya:

                       1)    mapanre ada  ’banyak bicara’  
                        2)    matanre sirik ‘sangat pemalu’
                        3)    matareng ati ’cerdas; cepat tanggap’      
            
                        Jika kata-kata tersebut diberikan keterangan dalam kalimat yang lebih luas, maka seharusnya konstruksi itu menjadi:

                       1)  mapanre ada lakdek ’terlalu banyak bicara,’
                       2)  matanre sirik lakdek ’sangat pemalu.’
                        3)  matanek urik lakdek ’sangat lamban bergerak’    

                        Pada contoh (1)  tersebut, kata lakdek menerangkan kata mapanre ada bukan menerangkan kata mapanre dan kata  ada. Kata lakdek pada KM (2) tidak menerangkan kata matanre atau kata sirik tetapi menerangkan kata mapanre ada. Demikian pula pada contoh KM (3) kata lakdek tidak meneragkan kata matanek atau kata urik  tetapi menerangakan keduanya. Hal ini sejalan dengan pecirian KM yang dikemukakan oleh Muslich (1990)..
            
  1. Salah satu atau semua unsurnya berupa pokok kata dan unsur-unsurnya tidak mungkin dipisahkan, atau tidak mungkin diubah strukturnya.
           Ciri tersebut dikemukakan oleh Ramlan. Yang dimaksudkan dengan pokok kata  dan kata dalam hal ini,  adalah sama dengan istilah akar dan dasar  oleh penulis.    
                        Dalam BB ditemukan beberapa macam kata majemuk dilihat dari segi konstruksi morfologisnya: Berdasarkan kuantitas unsur pemadu langsung KM dalam BB selalu terdiri atas dua bahagian, yaitu unsur pemadu langsung I dan unsur pemadu langsung II, meskipun nampaknya ada beberapa kata majemuk dalam BB yang terdiri atas lebih dari dua unsur morfologik.
             
             1)  Konstruksi yang terdiiri dari unsur pemadu bentuk dasar:
      dasar + dasar, misalnya; sao raja ’istana,’ polo mata     ’ilmu yang menye-  babkan timbulnya   rasa benci terhadap orang yang dicintai

                  dasar + akar, misalnya;   padang lowang ’nama desa di kabupaten Sidrap
                                           anak lolo ’bayi,”   aju bolong ‘kayu besi’                                           
            akar + dasar, misalnya;  tuna biritta ’buruk kabar,’ sempo dallék ’banyak rezeki,’ taro dewata ’takdir,’tareng ati ’cerdas’
                 
                  akar + akar, misalnya;    rio rennu ’riang gembira,’ bolong cenning ’hitam    manis,’ terruk teppek ’sangat yakin,’                                                       
                                    akar  + unik, misalnya;   pute sassa ’putih bersih,’pettang kapek ’gelap gulita,’cellak raka ’merah padam.’

                                                                       
                2) Konstruksi yang terdiri atas elemen pemadu bentuk kompleks
Konstruksi kata majemuk dalam kategori ini, ditemukan dengan pola:

Akar  +    kompleks

Kata majemuk dengan pola tersebut menghasilkan beberapa subpola sebagai berikut:

a)                                                                                                                  akar + kata berimbuhan, misalnya; tareng pakkita ’cermat,’                                                              cellak makbara ’merah

b)   akar + kata berulang, misalnya;  lampek nawa-nawa ’banyak berpikir’ 
                                                     sakkek tagi-tagi ’lengkap.’                                                                                                
c)      akar + kata majemuk,misalnya;  peddik tenrigangka ’menderita sekali’
    gauk matuna biritta’perbuatan buruk’

                      Berdasarkan hasil analisis tersebut, terlihat bahwa BB mempunyai berbagai variasi dalam konstruksi morfologisnya, termasuk konstruksi kata majemuk, tidak hanya terbatas pada penggabungan pokok kata dengan kata atau antara pokok kata dengan pokok kata tetapi terdapat berbagai pola penggabungan kata yang bervariasi. Karena itu, ciri tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan konstruksi kata majemuk dalam BB.Adapun pencirian yang mengatakan bahwa unsur-unsurnya tidak mungkin dipisahkan, atau tidak mungkin diubah strukturnya, sejalan dengan konstruksi kata dalam  BB, misalnya; taro ada; padang lowang, tuna biritta, rio rennu, pute sassa tidak mungkin dibalik strukturnya menjadi ada taro. lowang padang, biritta tuna, rennu rio, dan sassa puté.
                       
  1. Pasangan antarunsur terikat., dan tidak mempunyai kemungkinan untuk
      berpasangan dengan bentuk kata lain 

                Bentukan-bentukan seperti kata taro dewata ’takdir; nasib’ Kata taro ’dapat berdistribusi dengan kata lain, misalnya taro ada ’perjanjian’ taro gauk ’perlakuan; perbuatan.’ Demikian pula kata lampek pakbekkeng, kata lampek dapat berdistribusi dengan kata lain, misalnya; lampek lima. Kata-kata yang telah dikemukakan  tersebut di atas telah disepakati sebagai kata majemuk dalam BB, namun pasangan antarunsur tersebut jika dilihat dari pencirian kata majemuk yang dikemukakan  oleh para ahli tidak sepenuhnya sesuai dengan struktur BB.
     
  1. Bersifat derivasional dan atribut tidak predikatif  

        Jika dilihat dari segi proses morfologisnya, kata-kata dalam BB, seperti  arung matasak ’raja berdarah biru,’ sompung lolo ’famili’ dapat ditelusuri unsur-unsur pemadu antarkeduanya. Kata arung dikategorikan ke dalam  kelas kata Nomina, sedangkan kata matasak dikategorikan ke dalam kelas kata Adjektiva. Namun, setelah penggabungan kedua kata itu,  keduanya digolongkan ke dalam kelas kata Nomina, sehingga nampak bahwa penggabungan kedua kata tersebut bersifat derivasional karena telah mengubah kelas kata Adjektiva lolo menjadi nomina.. Selanjutnya, kata sompung lolo terdiri atas unsur pemadu langsung sompung yang termasuk dalam kategori Verba dan unsur lolo termasuk kategori Nomina.. Setelah penggabungan kedua unsur tersebut, maka terbentuk kata sompung lolo ’famili.’. Gabungan antara keduanya termasuk kategori kata Nomina.’    Karena itu, ciri tersebut sejalan dengan konstruksi KM dalam BB.  Sedangkan  ciri yang lain bahwa atribut tidak predikatif,  nampaknya tidak sesuai dengan karakteristik BB karena melihat salah satu dari contoh yang ditampilkan tadi memperlihatkan konstruksi kata yang predikatif yakni kata arung matasak.  Karena itu, ciri-ciri ini tidak dapat diterapkan secara konsisten dalam BB.         

 7.  Penutup

            Pencirian kata majemuk yang telah dikemukakan oleh para ahli bahasa terdahulu; antara lain; Keraf (1984), Ramlan(1985), Muslich (1990), Samsuri (1994), Parera (1994), dan Verhaar (1996), dan lainnya memberikan gambaran bahwa untuk menentukan kata majemuk atau tidak dalam suatu bahasa, diperlukan analisis secara struktural maupun semantik.  
            Deskripsi kata majemuk dalam BB, dapat saja berpatokan pada ciri-ciri KM yang dikemukakan oleh para ahli linguitik terdahulu, namun tidak semuanya dapat diterapkan secara konsisten.  
            Demikianlah beberapa hasil analisis singkat tentang pencirian kata majemuk yang dilakukan oleh para linguis terdahulu, yang telah dicoba untuk diterapkan ke dalam konstruksi pemajemukan BB. Ternyata, diperoleh suatu kesimpulan bahwa tidak semua ciri-ciri kata majemuk yang dikemukakan oleh para ahli terdahulu,  dapat dijadikan acuan untuk pendeskripsian kata majemuk BB. 


Referensi


Chairan, T. Dan Usmar, A. (ed.) 1984. ”Pedoman Ejaan Bahasa-bahasa Daerah di Sulawesi Selatan yang Disempurnakan. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa.
Hanafie, Sitti Hawang. 2007. Sistem Pemajemukan Bahasa Bugis. Makassar:    Badan Penerbit UNM.
http: // Wapedia, Mobil/ id./Bahasa Bugis. Diakses 27 April 2009.
Kaseng, S. 1982. Bahasa Bugis Soppeng, Valensi Morfologi Dasar Kata Kerja . Disertasi, Universitas Indonesia , 1976. Seri ILDEP. Jakarta: Djambatan.    
Keraf, Gorys, 1984. Tata Bahasa Indonesia. Ende, Flores: Nusa Indah.
Kridalaksana, Harimurti, 1993.  Kamus Linguistik. Jakarta: PT  Gramedia Pustaka Utama.
Langacker, Ronald W., 1973. Language And Its Structure, Some Fundamental Linguistic Concepts. New York: Harcourt Brace Jovanovich, inc.
Muslich, Masnur. 1990. Garis-garis Besar Tata Bahasa Baku Indonesia. Malang:  Yayasan Asah, Asih, Asuh.
Muslich, Masnur, Universitas Negeri Malang (Diakses tanngal , 27 April 2009)
Parera, Jos Daniel, 1994. Morfologi Bahasa Edisi Kedua. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
           Ramlan, M., 1985. Morfologi, Suatu Tinjauan Deskriptif . Yogyakarta: CV Karyono
Samsuri, 1994. Analisis Bahasa. Jakrta: Erlangga.
Sannang, R. dkk., 1979/1980. Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Bugis. Ujung Pandang: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Sulawesi Selatan, Depdikbud.
Verhaar, J. W. M., 1996  Asas-asass Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada   Univsersity
Wiyanto, Asul. 1987. Tata Bahasa Pedagogis. Bandung: Angkasa.
Said D.M., H. M. Ide, dkk.  1979. Morfologi dan Sintaksis Bahasa Bugis. Jakarta: Depdikbud.
Sikki, dkk., 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Bugis.Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.  

BIO DATA PENULIS


N a m a                            :     Dra. Syamsudduha, M. Hum.

Tempat/Tagl Lahir          :     Garessi, Kabupaten Pinrang, 18 Mei 1965

Pendidikan                     :     1. Lulusan Fakultas Bahasa dan Seni IKIP Ujung   Pandang (1989), Program Strata Satu (S1), Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
                                                 2.  Lulusan Pascasarjana Universitas Hasanuddin (1999), Program Studi Linguistik

Pekejaan Tetap/              :    Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan  Daerah FBS Universitas Negeri Makassar

Tambahan                        :  Anggota Tim Asesor Sertfikasi Guru Rayon 24    Universitas  Negeri Makassar.

Pengalaman Seminar     :   Sering mengikuti seminar, lokal, nasional, maupun internasional, baik sebagai peserta maupun sebagai pemakalah.

Pengalaman Menulis    :   1. Anggota Tim Penyusun Draf Standar Isi Kurikulum Bahasa Daerah-Muatan Lokal  di Sulawesi Selatan.
                                                2.   Anggota Tim Penulis Buku Teks, Perencanaan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Berbasis KTSP, Teori dan Penerapannya (Pemenang dalam Penulisan Hibah Buku Teks Tahun 2008).
3.   Menulis Buku Pelajaran Bahasa Daerah Bugis untuk Sekolah Dasar,  Jilid 1-6 (Sementara Proses Cetak)  
                                                4.  Menulis Buku Pelajaran Bahasa Daerah Bugis untuk SMP, Jilid 1-3 (Sementara Proses Cetak).     

                                   
                                   
                                    :

                                    

1 komentar:

  1. assalamualaikum. pak saya ingi bertanya. apakah bapak punya file dalam bentuk pdf . tentang morfologi bahasa bugis?

    BalasHapus