KONSTRUKSI
MORFOLOGIS BAHASA BUGIS:
Suatu
Tinjauan Pencirian Kata Majemuk
Syamsudduha
Universitas
Negeri Makassar
Abstrak
Konstruksi morfologis suatu bahasa dapat menjadi kajian yang menarik
jika dipandang sebagai suatu fenomena linguistik yang beragam sesuai dengan
karakteristik bahasa yang dideskripsikan. Makalah ini mendeskripsikan konstruksi
morfologis bahasa Bugis yang difokuskan pada tinjauan pencirian kata majemuk
yang telah dikemukakan oleh para ahli linguistik, dan kesesuaiannya untuk
diterapkan dalam penentuan kata majemuk bahasa Bugis. Pencirian kata majemuk
telah dikemukakan oleh beberapa ahli linguistik, katakanlah beberapa nama,
antara lain; Keraf (1984), Ramlan(1985), Muslich ( 1990), dan Samsuri (1994).
Karya
liguistik yang berkaitan dengan kata majemuk
bahasa Bugis telah ditemukan dalam beberapa tulisan, antara lain; Said,
dkk.(1979), Sannang (1979/1980), Sirk (1983), Kaseng, dkk.( 1983), Sikki,
dkk.(1985)dan Hanafie(2007). Makalah ini akan mendeskripsikan contoh-contoh
pemajemukan dalam bahasa Bugis yang merupakan hasil analisis penulis dengan
merujuk pada tulisan sebelumnya.
Suatu
hal yang menarik dalam deskripsi kata majemuk bahasa Bugis adalah bahwa tidak
semua ciri-ciri kata majemuk yang dikemukakan oleh para ahli linguistik
terdahulu, dapat diterapkan secara konsisten di dalam bahasa Bugis. Hal ini
disebabkan karena perbedaan
karakteristik bahasa Bugis dengan bahasa Melayu-Indonesia. Dengan demikian, hal
ini dapat pula dikaji dengan menganalisis bahasa-bahasa Melayu serumpun.
.
1. Pendahuluan
Bahasa
Bugis (selanjutnya ditulis BB) adalah salah satu bahasa daerah yang ada di Propinsi Sulawesi Selatan-Indonesia yang
jumlah penuturnya terbesar, kurang lebih 4.000.000. jiwa (http: // Wapedia,
Mobil/ id./Bahasa Bugis). Wilayah pengguna-annya meliputi daerah Kabupaten;
sebagian Kabupaten Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng Rappang, Pinrang,
Parepare, Barru, Maros, Pangkajenne Kepulauan, Sinjai, Bulukumba, sebagian
Kabupaten Polewali-Mandar, sebaigian Kota Palopo, dan sebagian Kota Makassar.
Luas wilayah penyebarannya selain Sulawesi Selatan sendiri juga sampai Sulawesi
Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan, Sumatra, Jawa Pesisir
Utara, Ambon, Ternate, Bali, Nusa
Tenggara Barat, dan Papua. Boleh dikatakan hampir seluruh bagian pesisir
Indonesia merupakan wilayah persebaran BB. Bahkan, di Malaysia, dan Brunei
Darussalam juga merupakan wilayah persebaran BB (Hanafie, 2007: 1).
Suatu
hal yang patut dibanggakan bahwa penutur BB masih tetap memperlakukan bahasanya sebagai lambang kebanggaan daerah,
lambang identitas daerah, alat komunikasi antarwarga masyarakat daerah bahkan
masih digunakan sebagai bahasa pengantar pada tingkat permulaan Sekolah Dasar.
Dalam
menjalankan fungsinya sebagai alat pengembang dan pendukung kebudayaan daerah,
BB dikenal memiliki sejarah dan tradisi yang cukup tua dan sampai saat ini
tetap dipelihara oleh masyarakat penuturnya. Oleh karena itu, BB perlu dikaji dari berbagai
aspek guna pengembangannya ke depan,
termasuk kajian tentang konstruksi morfologisnya, khususnya dalam
konstruksi kata-kata majemuk. Dalam kaitannya dengan pemajemukan, telah banyak
dibicarakan oleh beberapa pakar linguistik terdahulu dalam bahasa Melayu-Indonesia.
Namun, sampai saat ini belum ada kajian yang tuntas tentang hal ini.
Terbukti, beberapa tulisan sebelumnnya
masih menyisakan persoalan dalam hal ini. Beberapa nama yang sejak lama telah
membahas tentang kata majemuk dalam bahasa Melayu-Indonesia, dapat penulis sebutkani di sini adalah Sutan
Takdir Alisyahbana (1953), Slametmuljana (1957), Fokker (1960), Ramlan, (1967;
1985), Mees (1969), Parera (1977;1988), Badudu (1978), Verhaar (1977; 1996);
Samsuri(1983; 1994); Soedaryanto (1983),
Kridalaksana (1987), Wiyanto (1987), dan Muslich (1990). Dari deretan
nama-nama tersebut, ada di antaranya yang berpedapat bahwa ada kata
majemuk dalam bahasa Melayu-Indonesia dan ada pula yang tidak sependapat dan menyatakan
tidak ada kata majemuk dalam bahasa BMI. Sedangkan yang lainnya belum memihak
kepada keduanya. Namun, para ahli yang sependapat tentang adanya KM dalam BMI,
telah menyatakan beberapa hal yang dapat dijadikan dasar pencirian KM. Pertanyaan
yang timbul adalah apakah ciri-ciri yang dikemukakan oleh para ahli tersebut,
dapat diterapkan dalam penentuan kata
Majemuk bahasa serumpun, salah satu di antaranya adalah BB.
Mmakalah
ini akan mendeskripsikan tentang konstruksi morfologis BB dalam kaitannya
dengan pencirian kata majemuk yang telah dikemukakan oleh para ahli linguistik,
dan kesesuaiannya untuk diterapkan dalam penentuan kata majemuk BB.
Hal
ini dimaksudkan agar dapat lebih meningkatkan fungsinya dan memberikan
sumbangan yang berarti bagi pengembangan bahasa dan budaya Indonesia khususnya dan
budaya Melayu pada umumnya, serta dapat menjadi perbandingan dalam pengembangan
bahasa Melayu Serumpun.
2. Ruang Lingkup dan Masalah
Berbicara
tentang konstruksi morfologis BB, dapat dideskripsikan ke dalam empat kategori:
(1) konstruksi sederhana yang mungkin merupakan morfem-morfem tunggal atau
gabungan, antara morfem yang satu dengan morfem yang lain, (2) konstruksi rumit
yang merupakan hasil penggabungan dua morfem atau lebih, (3) konstruksi
pelapisan, (4) derivasi dan infleksi, dan (5) pemajemukan.
Dalam
makalah ini tinjauan difokuskan pada masalah yang terkait dengan konstruksi
morfologis pemajemukan, yakni bagaimana
kesesuaian antara pencirian kata majemuk yang dikemukakan oleh para ahli linguistik,
dan bagaimana jika ciri-ciri itu
diterapkan ke dalam BB.
3. Konstruksi Morfologis Bahasa Bugis
Konstruksi
morfologis adalah bentukan kata yang mungkin merupakan morfem tunggal atau
gabungan antara morfem yang satu dengan morfem yang lain.Bentukan yang
merupakan morfem tunggal biasa disebut konstruksi sederhana dan yang
merupakan gabungan antara morfem yang satu dengan morfem yang lain biasa
disebut konstruksi rumit. (Samsuri, 1994: 195). Selain konstruksi yang
disebutkan tadi, dalam BB juga terdapat konstruksi pemajemukan yang
menghasilkan kata- kata majemuk..
Secara
umum konstruksi morfologis, termasuk pemajemukan dalam BB sudah pernah dikaji
oleh beberapa peneliti bahasa, baik dari kalangan liguis yang ada di Sulawesi
Selatan–Indonesia sendiri maupun para linguis asing, seperti yang pernah
dilakukan oleh Matthes(1875), R.A. Kern (1940), Noorduyn (1955), U. Sirk
(1975), dan Grimes and Grames (1987) .
4. Kata Majemuk
Beberapa
pengertian kata majemuk telah dikemukakan oleh para penulis terdahulu, dapat
dikemukakan di sini seperti:Badudu (1978), Keraf (1984); Ramlan, (1985), Wiyanto (1987),
Samsuri (1994), dan Parera (1994).. Dalam BB ditemukan tulisan Said (1979),
Sikki (1991), Yunus (2004), dan Hanafie
(2007) semuanya memberikan penjelasan yang senada bahwa kata majemuk adalah
gabungan antara dua unsur atau lebih apakah itu gabunagan antara dua morfem
atau antara dua kata yang mempunyai suatu kesatuan arti. Dalam kaitan ini,
Muslich mengemukakan beberapa contoh problema akibat perlakuan bentuk majemuk antara lain, yang berhasil dicatat di sini adalah problema
akibat perlakuan bentuk majemuk. Problema itu terlihat pada persaingan
pemakaian bentuk pertanggungjawaban dan pertanggungan jawab, kewarganegaraan
dan kewargaan negara, menyebarluaskan dan menyebarkan
luas. Dari contoh itu terlihat dua perlakuan bentuk majemuk, yaitu
bentuk majemuk yang unsur-unsurnya dianggap sebagai satu kesatuan, dan bentuk
majemuk yang unsur‑unsurnya dianggap renggang. Pendapat pertama menganggap
unsur‑unsur bentuk tanggung jawab, warga negara, dan sebar
luas padu sehingga tidak mungkin disisipi bentuk lain, apabila diberikan awalan
atau akhiran, misalnya, itu harus diletakkan di awal unsur pertama atau di
akhir unsur kedua. Sebaliknya, pendapat kedua menganggap unsur‑unsur bentuk tanggung
jawab, warga negara, dan sebar luas renggang sehingga
memungkinkan disisipi bentuk lain di antaranya. Dengan demikian, ketiga
bentuk itu dapat dibentuk menjadi konstruksi pertanggungan jawab, kewargaan negara,
dan menyebarkan luas. Jika demikian, pendapat manakah yang tepat dari dua
pendapat itu?
5. Pencirian Kata Majemuk
Dalam pencirian kata majemuk terdapat
berbagai pendapat yang sangat beragam. sebutlah nama Keraf, Ramlan, Muslich, Samsuri,
Parera, dan Verhaar.
Verhaar (1998:154) mengemukakan bahwa yang
paling menarik perhatian pada pemajemukan adalah bahwa ada banyak perbedaan
antarbahasa dalam hal ini. Dalam bahasa Melayu-Indonesia, misalnya boleh
dikatakan sangat terbatas kata-kata yang memungkinkan pemajemukan. Selanjutnya,
pencirian kata majemuk dapat dilihat pada bagan berikut ini:
CIRI-CIRI KATA MAJEMUK
|
|
Badudu (1978); Hanafie (2007)
|
1.
komponen-komponen terdiri atas beberapa unsur langsung
baik yang bebas maupun yang terikat (seperti satwa, biak, juang, dan
sebagainya)
2.
di atara kedua komponennya tiadak disisipkan unsur
lain, baik morfem bebas maupun morfem terikat
3.
gabungan komponennya mem-bentuk salah satu pusat; tiap
komponennya tidak dapat diperluas dengan atribut apa pun. Jika ada, atribut
untuk kedua komponen KM itu sekaligus, karena keduanya termasuk satu kesatuan
yang tidak terpisahkan..
|
Keraf
(1984)
|
1. gabungan itu membentuk suatu arti yang baru
2 gabungan itu dalam hubungannya keluar membentuk suatu pusat yang
menarik keterangan-keterangan atas kesatuan itu, bukan atas satuan-satuannya,
3. biasanya terdiri dari kata-kata dasar
4. frekuensi pemakaiannya tinggi, dan
5. terbentuk menurut hukum DM, ter-utama kata-kata majemuk endosentris.
|
Ramlan (1985)
|
1. Salah satu atau semua
unsurnya berupa pokok kata.
2. Unsur-unsurnya tidak
mungkin dipi-sahkan, atau tidak mungkin diubah strukturnya
|
Muslich ( 1990)
|
1. bermakna satu, misal makan
hati di-maknai susah
2. bila diberi keterangan,
maka keterang-an itu berlaku untuk semua unsur
3. komponen kata majemuk
tidak dapat diperluas lagi
4. komponen kata majemuk
tidak dapat dipisahkan
|
Samsuri (1994)
|
Unsur-unsurnya
tidak dapat dipisahkan
|
Parera (1994)
|
. pasangan antarunsur
terikat.; tidak mempunyai kemungkinan
untuk berpasangan dengan bentuk kata lain
|
Verhaar (1996)
|
1. bersifat derivasional
2. atribut tidak
predikatif
|
Untuk menjelaskan lebih lanjut
tentang kata majemuk, penulis akan mengutip apa yang telah dirangkum oleh
Parera(1994:82), sebagai berikut
(1) Prinsip yang harus dipegang di dalam
mengidentifikasikan apakah suatu konstruksi majemuk atau tidak ialah bahwa konstruksi
itu memperlihatkan derajat keeratan yang tinggi sehingga merupakan kesatuan
yang tak terpisahkan.
(2) Sebagai kesatuan yang tak terpisahkan
konstruksi majemuk berperilaku sebagai kata, artinya masing-masing konstituen
dari konstruksi itu hilang otonominya, dan hilangnya otonomi itu berarti
bahwa masing-masing konstituen tidak
dapat dimodifikasi secara terpisah maupun di antaranya tidak dapat disispi
dengan morfem lain tanpa perubahan atas
nama aslinya.Selanjutnya dikatakan bahwa jika hendak dibicarakan mengenai
bentuk majemuk, maka pembicaraan itu hendaklah pada tingkat dasar dan pada
tingkat perluasan
(3) Keeratan konstruksi majemuk itu ditentukan
oleh ciri sekurang-kurangnya satu konstituen yang memperlihatkan assosiasi
(afinitas) yang konstan dengan konstituen lainnya dalam konstruksi itu.
(4) Sebagai pangkal tolak penelitian lebih
lanjut terhadap ciri-ciri konstruksi majemuk, terutama menurut derajat
kepukalannya dapatlah dibuat daftar semua konstruksi menurut kontinun
kepukalan. Dalam hal ini, Parera berpendirian bahwa frase-frase yang hingga
kini oleh tata bahasa tradisional ditetapkan sebagai kata majemuk tidak lain
daripada pembentukan frase berdasarkan analogi.
(5) Oleh karena batas-batas konstiuen tidak
jelas, maka terdapatlah konstruksi-konstruksi peralihan (intermediary form)
antara yang jelas bersifat majemuk dan yang jelas bersifat frase.Parera
berkesimpulan bahwa frase dalam BI dapat berpolisemi secara leksikal
berdasarkan konteks situasi dan konvensi. Pendirian ini didasrkan pada
ketiadaan batas yang jelas dalam kontinun yang bersifat majemuk dan yang
bersifat frase.
6. Pemajemukan dalam Bahasa Bugis
Penelitian tentang pemajemukan dalam BB, telah dilakukan oleh peneliti
terdahulu, antara lain; Said, dkk.(1979), Sannang (1979/1980), Sirk (1983),
Kaseng, dkk.(1983), Sikki, dkk.(1985)dan Hanafie(2007). Namun, tentu saja
kajian yang mutakhir dapat melengkapi dan menyempurnakan teori-teori
sebelumnya. Seperti yang dikemukakan oleh Langecker (1973: 24; Hanafie, 2007:2)
bahwa dalam tingkat perkembangan
linguistik sekarang ini, para linguis tidak menghadapi teori-teori bahasa yang
mutlak benar dan atau mutlah salah, tetapi teori-teori itu merupakan rangkaian
yang saling berhubungan, dan mungkin saja satu teori lebih memenuhi syarat
daripada yang lain. Sebaliknya, teori yang ketinggalan sekalipun, tetap berguna
karena teori yang mutakhir tidak ada tanpa teori pendahulunya.
Makalah
ini mendeskripsikan bagaimana konstruksi
kata majemuk dalam BB dengan memperhatikan ciri-ciri kata majemuk yang
dikemukakan oleh para linguis terdahulu. Tentu saja dengan harapan agar
deskripsi ini dapat memperkuat, meninjau kembali, atau menyanggah teori-teori
yang ada sebelumnya.
Konsep
kata majemuk pada berbagai tulisan terdahulu selalu menyatakan bahwa kata
majemuk adalah gabungan dua buah kata atau lebih yang dapat melahirkan satu
pengertian baru. Pengertian kata pada konsep tersebut kadang-kadang
kabur, tidak jelas karena kadang-kadang ditemukan dalam bentuk morfem pokok
bebas atau terikat, leksem atau berupa kata dalam pengertian umum (Hanafie, 2007). Dalam makalah ini, penulis
akan menggunakan istilah akar untuk bentuk-bentuk prakategorial dalam
pengertian bahwa setiap komponen kata majemuk dalam BB dapat berupa akar
bebas atau calon kata, dasar sederhana atau kompleks. Selanjutnya,
diuraikan deskripsi kata-kata majemuk dalam BB dapat dilihat pada uraian
berikut ini:
Secara umum, pencirian kata majemuk pada
berbagai tulisan sebelumnya, dapat dirangkum
dalam tulisan berikut ini:
a. Kata majemuk adalah gabungan dua buah kata
(unit-unit monomorfemik atau polimorfemik) atau lebih yang dapat menimbulkan
satu pengertian baru.
Dalam BB terdapat kata kikkirik
gellang ’pelit’. Bentuk ini terdiri
atas bentuk kikkirik yang berarti ’kikir’ dan gellang yang
berarti sejenis tembaga,dan setelah penggabungan kedua kata tersebut
menimbulkan suatu pengertian baru ’pelit’. Contoh lain, dapat dilihat pada
kata-kata taro ada ’perjanjian,’ polo mata ’ilmu yang dapat
menimbulkan rasa benci terhadap orang yang dicintai,’ jambang tedong
’besar pengeluaran,’ luppek tuppang ’lamban perkembangannya.’
Beberapa
contoh tersebut, memperlihatkan penggabungan dua buah kata yang memiliki makna
tersendiri, yakni kata taro’simpan’ sedangkan kata ada’ kata’;
kata polo’patah’, kata mata’mata’; kata jambang ’buang
hajat,’ tedong ’kerbau,’ luppek’lompat’; tuppang ’katak,’
namun setelah pengga-bungan masing-masing
pasangan kata tersebut, menimbulkan pengertian baru
. Dengan demikian, ciri tersebut dapat
diterapkan ke dalam BB.
b. Biasanya terdiri dari kata dasar dan frekuensi penggunaannya tinggi
Dalam BB, selain bentukan
kata majemuk yang terdiri dari kata dasar, juga ditemukan dalam bentuk
kompleks, misalnya: tudang sipulung ’musyawarah’ matammeng kedo ’lamban;
anggun,’ malintak jonga ’lincah,’ macinnong marikitik-kitik
’jernih sekali,’ malampek pakbekkeng ’lamban,’ esso
marapo ’hari naas.,’ terri marennik ’sangat sedih’
Pada
umumnya, KM dalam BB terdiri atas dua komponen morfologik, namun ditemukan pula
beberapa contoh penggabungan kata yang terdiri dari tiga komponen morfologik,
misalnya: matuna teppa timu ’gaya
bicara selalu kurang sopan,’ cappuk sapu ri palek ’habis; ludes,’maraja
essé babuwa ’cepat terharu,’ mappuji balo lipak ’cepat bosan,’ macinnong
marikitik-kitik ’sangat jernih,’ maraja
nawa-nawa ’banyak pertimbangan,’ makbéluwak sampo géno ’berambut
sampai bahu.’
Bentuk-bentuk semacam ini mempunyai
frekuensi penggunaan yang tinggi dalam bahasa BB. Beberapa contoh tersebut
memperlihatkan bahwa konstruksi kata majemuk dalam BB, tidak hanya terdiri atas
gabungan antarkata dasar, tetapi juga ditemukan gabungan antarkata dasar dengan
kata berimbuhan, bahkan terdapat penggabungan anatarkata dasar dengan
bentuk-bentuk berulang.
Dari contoh konstruksi KM BB yang
dikemukakan di atas, terlihat bahwa pencirian KM pada (b) tidak sepenuhnya
sesuai dengan konstruksi kata majemuk BB.
c. Karena
merupakan satu makna, maka jika diberikan keterangan, itu berlaku untuk semua
unsur.
Melihat konstruksi
morfologis BB, khususnya kata-kata majemuk nampaknya sejalan dengan pencirian
tersebut, misalnya:
1) mapanre
ada ’banyak bicara’
2) matanre
sirik ‘sangat pemalu’
3) matareng
ati ’cerdas; cepat tanggap’
Jika kata-kata tersebut diberikan
keterangan dalam kalimat yang lebih luas, maka seharusnya konstruksi itu
menjadi:
1) mapanre ada lakdek ’terlalu banyak bicara,’
2) matanre sirik lakdek ’sangat pemalu.’
3) matanek urik lakdek ’sangat lamban
bergerak’
Pada contoh (1) tersebut, kata lakdek menerangkan kata mapanre
ada bukan menerangkan kata mapanre dan kata ada. Kata lakdek pada KM (2) tidak
menerangkan kata matanre atau kata sirik tetapi menerangkan kata mapanre
ada. Demikian pula pada contoh KM (3) kata lakdek tidak
meneragkan kata matanek atau kata urik tetapi menerangakan keduanya. Hal ini sejalan
dengan pecirian KM yang dikemukakan oleh Muslich (1990)..
- Salah
satu atau semua unsurnya berupa pokok kata dan unsur-unsurnya tidak
mungkin dipisahkan, atau tidak mungkin diubah strukturnya.
Ciri tersebut dikemukakan oleh Ramlan. Yang
dimaksudkan dengan pokok kata dan
kata dalam hal ini, adalah sama
dengan istilah akar dan dasar oleh penulis.
Dalam BB
ditemukan beberapa macam kata majemuk dilihat dari segi konstruksi
morfologisnya: Berdasarkan kuantitas unsur pemadu langsung KM dalam BB selalu
terdiri atas dua bahagian, yaitu unsur pemadu langsung I dan unsur pemadu
langsung II, meskipun nampaknya ada beberapa kata majemuk dalam BB yang terdiri
atas lebih dari dua unsur morfologik.
1)
Konstruksi yang terdiiri dari unsur pemadu bentuk dasar:
dasar
+ dasar, misalnya; sao raja ’istana,’ polo mata ’ilmu
yang menye- babkan timbulnya rasa benci terhadap orang yang
dicintai
dasar + akar, misalnya; padang lowang ’nama desa di kabupaten
Sidrap
anak lolo ’bayi,” aju bolong ‘kayu besi’
akar + dasar, misalnya; tuna biritta ’buruk kabar,’ sempo
dallék ’banyak rezeki,’ taro dewata ’takdir,’tareng ati ’cerdas’
akar + akar,
misalnya; rio rennu ’riang
gembira,’ bolong cenning ’hitam manis,’ terruk teppek ’sangat yakin,’
akar
+ unik, misalnya; pute sassa ’putih bersih,’pettang
kapek ’gelap gulita,’cellak raka ’merah padam.’
2) Konstruksi yang terdiri atas elemen pemadu bentuk kompleks
Konstruksi kata majemuk dalam kategori ini, ditemukan
dengan pola:
Akar
+ kompleks
Kata majemuk dengan pola tersebut menghasilkan
beberapa subpola sebagai berikut:
a)
akar
+ kata berimbuhan, misalnya; tareng pakkita ’cermat,’ cellak
makbara ’merah
b) akar +
kata berulang, misalnya; lampek
nawa-nawa ’banyak berpikir’
sakkek tagi-tagi ’lengkap.’
c) akar + kata majemuk,misalnya; peddik tenrigangka ’menderita sekali’
gauk matuna biritta’perbuatan buruk’
Berdasarkan
hasil analisis tersebut, terlihat bahwa BB mempunyai berbagai variasi dalam
konstruksi morfologisnya, termasuk konstruksi kata majemuk, tidak hanya
terbatas pada penggabungan pokok kata dengan kata atau antara pokok kata dengan
pokok kata tetapi terdapat berbagai pola penggabungan kata yang bervariasi.
Karena itu, ciri tersebut tidak sepenuhnya sesuai dengan konstruksi kata
majemuk dalam BB.Adapun pencirian yang mengatakan bahwa unsur-unsurnya tidak
mungkin dipisahkan, atau tidak mungkin diubah strukturnya, sejalan dengan
konstruksi kata dalam BB, misalnya; taro
ada; padang lowang, tuna biritta, rio rennu, pute sassa tidak mungkin
dibalik strukturnya menjadi ada taro. lowang padang, biritta tuna, rennu
rio, dan sassa puté.
- Pasangan
antarunsur terikat., dan tidak mempunyai kemungkinan untuk
berpasangan dengan bentuk kata lain
Bentukan-bentukan seperti kata taro
dewata ’takdir; nasib’ Kata taro ’dapat berdistribusi dengan kata
lain, misalnya taro ada ’perjanjian’ taro gauk ’perlakuan; perbuatan.’
Demikian pula kata lampek pakbekkeng, kata lampek dapat
berdistribusi dengan kata lain, misalnya; lampek lima. Kata-kata yang
telah dikemukakan tersebut di atas telah
disepakati sebagai kata majemuk dalam BB, namun pasangan antarunsur tersebut
jika dilihat dari pencirian kata majemuk yang dikemukakan oleh para ahli tidak sepenuhnya sesuai dengan
struktur BB.
- Bersifat
derivasional dan atribut tidak predikatif
Jika
dilihat dari segi proses morfologisnya, kata-kata dalam BB, seperti arung matasak ’raja berdarah biru,’ sompung
lolo ’famili’ dapat ditelusuri unsur-unsur pemadu antarkeduanya. Kata arung
dikategorikan ke dalam kelas kata
Nomina, sedangkan kata matasak dikategorikan ke dalam kelas kata
Adjektiva. Namun, setelah penggabungan kedua kata itu, keduanya digolongkan ke dalam kelas kata
Nomina, sehingga nampak bahwa penggabungan kedua kata tersebut bersifat
derivasional karena telah mengubah kelas kata Adjektiva lolo menjadi
nomina.. Selanjutnya, kata sompung lolo terdiri atas unsur pemadu
langsung sompung yang termasuk dalam kategori Verba dan unsur lolo termasuk
kategori Nomina.. Setelah penggabungan kedua unsur tersebut, maka terbentuk
kata sompung lolo ’famili.’. Gabungan antara keduanya termasuk kategori
kata Nomina.’ Karena
itu, ciri tersebut sejalan dengan konstruksi KM dalam BB. Sedangkan ciri yang lain bahwa atribut tidak
predikatif, nampaknya tidak sesuai
dengan karakteristik BB karena melihat salah satu dari contoh yang ditampilkan
tadi memperlihatkan konstruksi kata yang predikatif yakni kata arung
matasak. Karena itu, ciri-ciri ini tidak
dapat diterapkan secara konsisten dalam BB.
7. Penutup
Pencirian kata majemuk yang
telah dikemukakan oleh para ahli bahasa terdahulu; antara lain; Keraf (1984),
Ramlan(1985), Muslich (1990), Samsuri (1994), Parera (1994), dan Verhaar (1996),
dan lainnya memberikan gambaran bahwa untuk menentukan kata majemuk atau tidak
dalam suatu bahasa, diperlukan analisis secara struktural maupun semantik.
Deskripsi kata majemuk dalam BB,
dapat saja berpatokan pada ciri-ciri KM yang dikemukakan oleh para ahli
linguitik terdahulu, namun tidak semuanya dapat diterapkan secara konsisten.
Demikianlah beberapa hasil analisis
singkat tentang pencirian kata majemuk yang dilakukan oleh para linguis
terdahulu, yang telah dicoba untuk diterapkan ke dalam konstruksi pemajemukan
BB. Ternyata, diperoleh suatu kesimpulan bahwa tidak semua ciri-ciri kata majemuk
yang dikemukakan oleh para ahli terdahulu,
dapat dijadikan acuan untuk pendeskripsian kata majemuk BB.
Referensi
Chairan,
T. Dan Usmar, A. (ed.) 1984. ”Pedoman Ejaan Bahasa-bahasa Daerah di Sulawesi
Selatan yang Disempurnakan. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa.
Hanafie, Sitti Hawang.
2007. Sistem Pemajemukan Bahasa Bugis. Makassar: Badan Penerbit UNM.
http: // Wapedia, Mobil/
id./Bahasa Bugis. Diakses 27 April 2009.
Kaseng, S. 1982. Bahasa
Bugis Soppeng, Valensi Morfologi Dasar Kata Kerja . Disertasi, Universitas Indonesia , 1976. Seri
ILDEP. Jakarta: Djambatan.
Keraf, Gorys, 1984. Tata Bahasa Indonesia.
Ende, Flores: Nusa Indah.
Kridalaksana,
Harimurti, 1993. Kamus Linguistik. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Langacker, Ronald W., 1973. Language And Its
Structure, Some Fundamental Linguistic Concepts. New York: Harcourt Brace
Jovanovich, inc.
Muslich, Masnur. 1990. Garis-garis Besar Tata Bahasa
Baku Indonesia. Malang: Yayasan Asah,
Asih, Asuh.
Muslich, Masnur, Universitas Negeri Malang (Diakses
tanngal , 27 April 2009)
Parera, Jos Daniel, 1994. Morfologi Bahasa Edisi
Kedua. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama
Ramlan, M., 1985. Morfologi, Suatu Tinjauan
Deskriptif . Yogyakarta: CV Karyono
Samsuri, 1994. Analisis Bahasa. Jakrta:
Erlangga.
Sannang,
R. dkk., 1979/1980. Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Bugis. Ujung Pandang:
Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Sulawesi Selatan, Depdikbud.
Verhaar,
J. W. M., 1996 Asas-asass Linguistik
Umum. Yogyakarta: Gajah Mada Univsersity
Wiyanto, Asul. 1987. Tata Bahasa Pedagogis.
Bandung: Angkasa.
Said D.M.,
H. M. Ide, dkk. 1979. Morfologi dan
Sintaksis Bahasa Bugis. Jakarta: Depdikbud.
Sikki,
dkk., 1991. Tata Bahasa Baku Bahasa Bugis.Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
BIO DATA PENULIS
N a m a : Dra. Syamsudduha, M. Hum.
Tempat/Tagl Lahir : Garessi,
Kabupaten Pinrang, 18 Mei 1965
Pendidikan : 1. Lulusan
Fakultas Bahasa dan Seni IKIP Ujung Pandang
(1989), Program Strata Satu (S1), Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
2. Lulusan
Pascasarjana Universitas Hasanuddin (1999), Program Studi Linguistik
Pekejaan Tetap/ : Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah FBS Universitas Negeri Makassar
Tambahan : Anggota Tim Asesor Sertfikasi Guru Rayon 24 Universitas
Negeri Makassar.
Pengalaman Seminar
: Sering
mengikuti seminar, lokal, nasional, maupun internasional, baik sebagai peserta
maupun sebagai pemakalah.
Pengalaman Menulis : 1. Anggota
Tim Penyusun Draf Standar Isi Kurikulum Bahasa Daerah-Muatan Lokal di Sulawesi Selatan.
2.
Anggota Tim Penulis Buku Teks,
Perencanaan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia Berbasis KTSP, Teori dan
Penerapannya (Pemenang dalam Penulisan Hibah Buku Teks Tahun 2008).
3. Menulis Buku Pelajaran Bahasa
Daerah Bugis untuk Sekolah Dasar, Jilid
1-6 (Sementara Proses Cetak)
4. Menulis Buku Pelajaran Bahasa Daerah Bugis
untuk SMP, Jilid 1-3 (Sementara Proses Cetak).
:
assalamualaikum. pak saya ingi bertanya. apakah bapak punya file dalam bentuk pdf . tentang morfologi bahasa bugis?
BalasHapus