Sabtu, 19 Oktober 2013

ÉLOMPUGI DAN KONTRIBUSINYA DALAM PEMBELAJARAN NILAI BUDAYA LOKAL DI SULAWESI SELATAN


ÉLOMPUGI DAN KONTRIBUSINYA DALAM PEMBELAJARAN NILAI BUDAYA LOKAL DI SULAWESI SELATAN

Syamsudduha
FBS Universitas Negeri Makassar

1.    PENDAHULUAN
      Elompugi sebagai suatu karya sastra  sudah lama dikenal dalam masyarakat Bugis. Hal ini dapat ditemukan dalam beberapa tulisan, antara lain buku yang ditulis oleh Salim(1989), Sikki(1978; 1991) dan yang paling komprehensif adalah koleksi élong yang dikumpulkan oleh pionir pengkaji Bugis dan Makassar oleh Matthes(1872a: 370-409; 1883).
      Sama halnya dengan pantun, élompugi ditemukan dalam bentuk satra lisan maupun tertulis. Dalam sejarah, dahulu élompugi kadang-kadang dpertunjukkan atau dinyanyikan dengan iringan instrumen seperti  biola dan suling , meskipun juga sering tanpa iringan apa-apa (Sikki, 78: xi). Dahulu, élong bahkan sering dijadikan sebagai salah satu jenis lomba sambil berpesta pora minum tuak disertai makanan yang melimpah.     
      Elompugi merupakan salah satu khasanah budaya lokal yang dapat dikaji dan dikembangkan menjadi salah satu unsur pembelajaran  nilai budaya di Sulawesi selatan.  Sehubungan dengan upaya pelestarian nilai budaya, maka diperlukan adanya strategi efektif dalam pengem-bangannya. Nama élong (secara harafiah berarti lagu) menunjukan bahwa karya sastra ini pada mulanya adalah sastra lisan.
      Sebelum akhirnya hilang dari kehidupan keseharian orang Bugis, élong masih digunakan dalam prosesi melamar di mana dua kelompok masing-masing dari pihak laki-laki dan perempuan saling melempar bait-bait élong hingga lahirnya kesepakatan pernikahan. Semakin lihai kelompok pelamar menggubah bait-bait élong, semakin besar peluang lamarannya diterima. Namun hal seperti ini, tidak lagi dapat dijumpai di daerah Bugis sekarang ini. Hampir selalu status dan harta menjadi faktor yang paling menentukan diterima atau tidaknya sebuah lamaran. Kenyataan ini menunjukkan  bahwa élompugi pernah menjadi karya sastra yang berperan penting dalam tatanan budaya dan pembelajaran nilai-nilai budaya masyarakat di Sulawesi Selatan, namun kini telah surut ditelan bumi dan tergilas oleh perkembangan peradaban manusia yang semakin modern. Dalam hal ini perlu adanya reaktualisasi peran élompugi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan guna pengaktualisasian bagaimana élompugi dapat memberikan kontribusi dalam pembelajaran nilai-nilai budaya lokal masyarakat di Sulawesi Selatan.

       
  1. Élompugi sebagai salah satu Karya Sastra Lokal

Berdasarkan kedudukan dan fungsinya, élompugi merupakan lambang  budaya daerah yang dirumuskan atas dasar  nilai  sosial daerah msyarakat Bugis.  Élompugi sebagai salah satu karya sastra daerah di antara sastra daerah lainnya di Indonesia berperan sebagai pengungkapan  diri (ekspresi) dan berfungsi untuk menyatakan keyakinan, sikap dan pandangan hidup, semangat juang, cita-cita dan harapan serta cinta kasih dan kebencian.
Di samping itu, élompugi sebagai sastra Bugis dan menjadi bagian dari kebudayaan Bugis tumbuh dan berkembang di tengah-tangah masyarakat Bugis dan diwariskan secara turun-temurun sebagai milik bersama. Ragam sastra yang demikian itu, tidak hanya brfungsi sebagai hiburan, pengisi waktu senggang serta  penyalur perasaan bagi penutur dan pendengarnya, melainkan juga sebagai pencerminan sikap, pandangan dan angan-angan kelompok, alat pendidikan anak serta pemeliharaan norma-norma masyarakat. Tidak dapat. Melihat peran dan fungsi tersebut, diperlukan upaya nyata yang dapat menunjang pencpaian tujuan pembejaran nilai-nilai budaya lokal maupun budaya nasional.
      Dilihatdari segi wilayah penciptaan elompugi sebagai karya sastra, tidak mengalami perkembangan yang berarti. Sekalipun demikian, fungsi dan peran élompugi dalam masyarakat tidak dapat diabaikan.
      Menurut  Fachruddin (1985: 3-4) karena élompugi merupakan puisi, maka ia merupakan milik masyarakat daerah bersangkutan yang diteruskan dari generasi ke generasi sesuai dengan penilaian dan kebutuhannya. Karena masyarakat berubah maka kebutuhannya pun terus berubah, termasuk kebutuhan akan karya-karya sastra baik yang telah ada maupun yang akan diciptakan.
      Khusus mengenai karya sastra-Élong yang telah ada, ia tidak hanya mungkin mengalami perubahan bentuk sejalan dengan penuturannya dari mulut ke mulut melainkan besar kemungkinan ia pun akan mengalami pergeseran frekuensi pemakaian dari waktu ke waktu sesuai dengan pergeseran nilai-nilai sosial budaya yang terjadi  dan akhirnya ia tercecer dan terlupakan.

  1. Nilai Budaya Lokal
Nilai budaya merupakan lapisan yang paling abstrak dan ruang lingkupnya sangat luas. Nilai budaya terdiri atas tingkat pertama kebudayaan ideal  atau adat (Koentjaraningrat, 1988). Selanjutnya, ia mengtakan bahwa suatu sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai  budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinbagian ggi bagi kelakuan manusia.
Sastra pada umumnya sarat dengan nilai-nilai. Karya sastra termasuk élompugi tidak hanya berbicara tentang masa lampau dan masa kini, tetapi juga mampu mendeteksi masa depan. Sebagai  bagian dari karya sastra, élompugi, lahir dan berkembang dari kehidupan yang bertata nilai, yang pada gilirannya diharapkan memberi kontribusi  bagi terbentuknya  tata nilai  yang baru. Hal ini dapat dimaklumi sebab élompugi memiliki keterkaitan yang kuat dengan kehidupan, sementara manusia sebagai pencipta karya sastra sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri (Suyitno, 1986). Nilai-nilai yang berkembang sampai saat ini merupakan hasil perenungan yang amat dalam oleh para orang bijak masa lalu dan hal itu dituangkan dalam bentuk bahasa yang indah.
Rahim (1985) mencatat enam nilai utama dalam kebudayaan Bugis. Keenam nilai utama yang dimaksud adalah kejujuran, kecerdasan, kepatutan, keteguhan, usaha, dan sirik, dan nilai-nilai tersebut juga dapat ditemukan dalam élompugi. Keenam komponen tersebut merupakan puncak-puncak  nilai  yang berlaku dan berkembang dalam masyarakat Bugis. 
Selain itu, Sikki, dkk. (1991) mencatat empat belas nilai budaya yang tersebar pada lima kebudayaan etnis yang ada di Sulawesi Selatan, yakni: (1) nilai religi, (2  nilai pendidikan, (3) nilai kegotong- royongan, (4) nilai kepemimpinan, (5) nilai persatuan, (6) nilai kejujuran, (7) nilai kecerdasan, (8) nilai keteguhan, (9) nilai kemanusiaan, (10) nilai kesetiaan, (11) nilai tanggung jawab, (12) nilai kepahlawanan, dan (13) nilai sirik. Nilai-nilai  budaya yang telah diungkapkan tersebut juga ditemukan dalam élompugi.  Dengan demikian, terihat bahwa sastra daerah termasuk di dalamnya élompugi di Sulawesi Selatan kaya dengan nilai-nilai budaya.
Selanjutnya, nilai-nilai budaya yang terdapat  dalam élompugi dapat dilihat dalam beberapa  contoh berikut ini.
          
a.    Nilai Religi (Nasihat)
Nilai religi yang menunjukan keyakinan dan ketakwaan  dapat terungkap dari lirik-lirik élompugi berikut ini:

Matutuo ri teppekmu
Ajak muwilimpiling
Ri kasiwiammu

Tuntuko makkasiwiang
Muappujui temmanginngik
Sadak mannennungeng


Mannennungekko poada sadak
Sadak mappattongeng
Ri laleng atimmu

Ati tellong mappattongeng
Tubu makkeda ada
Ibada tattuang

Terjemahan:

Hati-hatilah terhadap imanmu
Jangan bimbang
Pada ibadahmu

Taatlah pada ibadah
Memujalah terus-menerus
Syahadat selalu

Ucapkanlah syahadat selalu
Syahadat, membenarkan
di dalam hatimu

Hati nurani membenarkan
Tubuh mengucapkan syahadat
Ibadat keyakinan

b.    Nilai  Pendidikan
Nilai-nilai pendidikan dapat disimak dalam contoh élompugi di bawah ini:

Ininnawa sakbarakko
Lolongeng garék décéng
To sakbarak-édé

 ’Wahai hati bersabarlah
 Bakal mendapat keberuntungan
 Bagi orang yang bersabar’


Cokkong lébu buluk ammo
Aja mutakkalupa
Polé ri ammekki

’Jika engkau sampai di puncak
Jangan hendaknya engkau lupa
Engkau berasal dari bawah’

Atutuiwi  gaukmu
Atikeriwi kédomu
Kuwaé ilek matammu
Kuwaé teppa timummu
Kuwaé ampé jarimmu
Kuwaé kédo atimmu
Kédona nawa-nawammu

’Pelihara tingkah lakumu
Jagalah sifatmu
Seperti penglihatanmu
Seperti tutur katamu
Seperti perbuatan jarimu
Seperti gerak hatimu
Gerak jalan pikiranmu’

c.    Nilai  Keteguhan
Nilai keteguhan hati dalam menentukan pilihan, dapat disimak dari lirik élompugi berikut ini:


Anré mata toddopuli
Makkanré samparaja
Seppipi nalara

’Pilihanku hanya satu
Tidak akan goyah
Takkan terpisahkan’

        Pura babbara sompekku
        Pura gucciri gulingku
        Ulebbirenngi tellenngé na towalié”
       
                ‘Layarku sudah terkembang
                  Kemudiku sudah terpasang
                  Kupilih tenggelam daripada kembali’

d.    Nilai Kesetiaan
       Élompugi yang mengandung  nilai-nilai kesetiaan biasanya ditemukan dalam bentuk osong atau aruk. Kedua jenis élompugi tersebut merupakan élong penghasut semangat yang bersifat umum dan perorangan. Aruk biasanya  diucapkan oleh panglima di hadapan raja sebagai pernyataan dukungan dan kesetiaan kepada raja.
Contoh:
      Osong   
            Engka manenno timummung
            sining pattuppu batunna tanaé tellu limpoé
 Sininna pakbaraninna lipuk-é ri Sinjai
 Mupada takkappo tona anuré malebbikku
 Sappo siseng malebbikku
 Gilissako alauk, mitai caronakkonang
 Kappalak pitubbatué
 Kappala passiunona Balanda puté mataé
Rekkuwasia labéla tettinulukko méwai mappasiduppang palek lima
Temmaréso Balanda puté mataé
Pada sorokko labéla ri langkanammu
Mutudang siwinru-winru awiseng ri lebbiremmu
Muassuro timpak-i pattimpakmu mukuwa tellong
Nawatakku massangali makkunrai malluru samanna ilek
Buaja boto
Gagareng, makbité manuk tosandék.  

   Terjemahan:
   Engkau sekalian telah berkumpul
  Semua aparat tana tiga
   Wilayah semua pemberani negeri Sinjai
   Demikian juga engkau telah datang
   Para kemanakanku,
   Sepupuku
   Tengoklah ke timur, lihatlah terapung-apung
   Kapal yang berjumlah tujuh buah
   Kapal perang Belanda, si putih mata
   Mundurlah kalian pada pulang ke istanamu
   Engkau duduk bercengkerama dengan istri kesayanganmu
   Engkau suruh buka jendelamu
   Kemudian di situlah menengok
   Aku keluar memakai pakaian perang
   Engkau perhatikan perempuan
   Menyerang bak buaya menganga
   Bertarung bagaikan ayam orang saddik
   `                                                        Mahmud (1993: 47)
  


   Aruk
Hé pakanna
Idikna jowakna La Jalanték
Teppallaisenngénngi lino pammasereng
Kegapik maélok maté
Jowak engkatona, akjowareng engkatona
Temmaté tuwoé, tellétték ri manipik taniyaé
Kodona,

Ha Bélla
Sola-sola maté, temmassola-sola maté,
lebbisia maté massola-solaé
pitu garék wawinéna ri majé
maté massola-solaé
idikna wijanna warani pitué
bawi makbeosanna maniampajo
tédong tenri lasekna  anakbanuwaé
assangirenna malélaé
                                                                                               Mahmud (993: 50)
                        Terjemahan:
He para prajurit
Kitalah pasukan La Jalantek
Tidak membedakan dunia akhirat
Di mana lagi kita mau mati
Pengiring telah ada, yang diiringi pun telah ada
Tidak mati yang hidup, tidak akan menyeberang ke akhirat yang bukan suratannya,

He Bella
Tak terpikir mati,  yang berpikir pun mati
Biarlah mati tak berpikir
Tujuh nian istrinya di akhirat
Yang mati tanpa berpikir
Kitalah turunan pemberani yang tujuh,
Babi berbulu panjang dari Maniampajo
Kerbau tak dikebiri dari anakbanuwae
Tempat mengase  melela
Tempat tertumbuknya peluru    
                                              
  1. Élompugi dalam Pembelajaran Nilai Budaya Lokal
     
        Pewarisan nilai budaya melalui jalur pendidikan dianggap paling efektif dibandingkan dengan jalur lain yang mungkin dapat dilakukan oleh berbagai pihak. Pewarisan Budaya harus dirancang secara serius mengingat akhir-akhir ini berkembang suasana yang kurang menggembirakan (Hakim, 2007:6). Lebih lanjut dikatakan bahwa konsep sipakatau dan sipakalebbik sudah mulai luntur, yang muda tidak lagi menghargai yang tua, dan yang tua pun tidak menyayangi lagi yang muda. Penghargaan anak didik kepada guru sudah terkena erosi. Penyampaian pendapat tidak lagi disampaikan dengan santun dan beradab. Singkatnya, penjungkirbalikan nilai sudah sampai ke ambang yang sangat ”menghawatirkan.” Apa yang harus dilakukan? Tiada lain kecuali pembelajaran nilai budaya lokal melalui jalur pendidikan. Élompugi sebagai salah satu karya sastra dapat menjadi sumber inspirasi dalam pembelajaran nilai budaya lokal. Élompugi sebagai salah satu karya sastra selain sebagai produk budaya masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan juga sekaligus sebagai pelestari budaya. Dalam hal ini, élompugi memiliki peran penting dalam meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi.          


  1. Penutup
        Élompugi sebagai salah satu karya sastra merupakan produk budaya dan sekaligus pewaris budaya.   Élompugi dapat memberikan kontribusi dalam pembelajaran nilai-nilai budaya lokal di Sulawesi Selatan. Fungsinya tidak hanya sebagai media hiburan, tetapi lebih sebagai pengungkap nilai-nilai budaya. Adapun nilai-nilai yang dimaksud, antara lain; (1) nilai religi, (2)  nilai pendidikan, (3) nilai kegotong- royongan, (4) nilai kepemimpinan, (5) nilai persatuan, (6) nilai kejujuran, (7) nilai kecerdasan, (8) nilai keteguhan, (9) nilai kemanusiaan, (10) nilai kesetiaan, (11) nilai tanggung jawab, (12) nilai kepahlawanan, dan (13) nilai sirik.

DAFTAR PUSTAKA

Hakim, Zainuddin. 2007. Reaktualisasi Peran Sastra dalam Pewarisan Nilai-nilai  Budaya. Makassar: Panitia Penyelenggara Pusat Bahasa Depdiknas dan Pemrov Sulsel.
Kuncaraningrat, 1987. Bunga Rampai: Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia

Mahmud, 1993. Kedudukan dan Fungsi Élong Ugi. Ujung Pandang: Pesantren.
Rahim, A. Rahman. 1985. Nilai-nilai Utama Kebudayaan Bugis. Ujung Pandang: Lembaga Penerbitan UNHAS.           

Salim, Muhammad, 1989. Élong Ugi (Transliterasi dan Terjemahan), Ujung Pandang: Departemen P dan K, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan.

Sikki, Muhammad, dkk. 1978. Terjemahan Beberapa Naskah Lontarak Bugis. Ujung Pandang, Balai Penelitian Bahasa.

Sikki, Muhammad, dkk. 1991. Nilai-nilai Budaya dalam Susastra Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan  Bahasa.
Suyitno, 1986. Sastra Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta. PT. Hanindita.

Syamsudduha, 2007. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Bugis  di Sulawesi Selatan:   Beberapa Pokok Pikiran. Makassar: Panitia Penyelenggara Pusat Bahasa Depdiknas dan Pemrov. Sulawesi Selatan.


          
           Arifin, Syamsuddin, 2003. Kumpulan Sastra Bugis.









ÉLOMPUGI DAN KONTRIBUSINYA DALAM PEMBELAJARAN NILAI BUDAYA LOKAL DI SULAWESI SELATAN








Makalah

Disajikan pada Seminar Internasional
Pertemuan Linguistik Tahunan Pertama(PELITA I)
Tanggal 22 Mei 2008 di Gedung PKP Unhas Makassar 








Syamsudduha











PANITIA PENYELENGGARA
JURUSAN SASTRA DAERAH FIB UNIVERSITAS HASANUDDIN DAN
MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA
2008



Tidak ada komentar:

Posting Komentar