ÉLOMPUGI DAN
KONTRIBUSINYA DALAM PEMBELAJARAN NILAI BUDAYA LOKAL DI SULAWESI
SELATAN
Syamsudduha
FBS Universitas Negeri Makassar
1. PENDAHULUAN
Elompugi sebagai suatu karya sastra sudah lama dikenal dalam masyarakat Bugis.
Hal ini dapat ditemukan dalam beberapa tulisan, antara lain buku yang ditulis
oleh Salim(1989), Sikki(1978; 1991) dan yang paling komprehensif adalah koleksi
élong yang dikumpulkan oleh pionir
pengkaji Bugis dan Makassar oleh Matthes(1872a: 370-409; 1883).
Sama halnya dengan pantun, élompugi
ditemukan dalam bentuk satra lisan maupun tertulis. Dalam sejarah, dahulu
élompugi kadang-kadang dpertunjukkan atau dinyanyikan dengan iringan instrumen
seperti biola dan suling , meskipun juga
sering tanpa iringan apa-apa (Sikki, 78: xi). Dahulu, élong bahkan sering
dijadikan sebagai salah satu jenis lomba sambil berpesta pora minum tuak
disertai makanan yang melimpah.
Elompugi merupakan salah satu khasanah
budaya lokal yang dapat dikaji dan dikembangkan menjadi salah satu unsur
pembelajaran nilai budaya di Sulawesi selatan. Sehubungan
dengan upaya pelestarian nilai budaya, maka diperlukan adanya strategi efektif
dalam pengem-bangannya. Nama élong (secara harafiah berarti lagu) menunjukan bahwa karya sastra ini
pada mulanya adalah sastra lisan.
Sebelum
akhirnya hilang dari kehidupan keseharian orang Bugis, élong masih digunakan
dalam prosesi melamar di mana dua kelompok masing-masing dari pihak laki-laki
dan perempuan saling melempar bait-bait élong hingga lahirnya kesepakatan
pernikahan. Semakin lihai kelompok pelamar menggubah bait-bait élong, semakin
besar peluang lamarannya diterima. Namun hal seperti ini, tidak lagi dapat
dijumpai di daerah Bugis sekarang ini. Hampir selalu status dan harta menjadi
faktor yang paling menentukan diterima atau tidaknya sebuah lamaran. Kenyataan
ini menunjukkan bahwa élompugi pernah
menjadi karya sastra yang berperan penting dalam tatanan budaya dan
pembelajaran nilai-nilai budaya masyarakat di Sulawesi Selatan, namun kini
telah surut ditelan bumi dan tergilas oleh perkembangan peradaban manusia yang
semakin modern. Dalam hal ini perlu adanya reaktualisasi peran élompugi dalam
berbagai aspek kehidupan masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan guna
pengaktualisasian bagaimana élompugi dapat memberikan kontribusi dalam
pembelajaran nilai-nilai budaya lokal masyarakat di Sulawesi Selatan.
- Élompugi
sebagai salah satu Karya Sastra Lokal
Berdasarkan kedudukan dan fungsinya,
élompugi merupakan lambang budaya daerah
yang dirumuskan atas dasar nilai sosial daerah msyarakat Bugis. Élompugi sebagai salah satu karya sastra
daerah di antara sastra daerah lainnya di Indonesia berperan sebagai
pengungkapan diri (ekspresi) dan
berfungsi untuk menyatakan keyakinan, sikap dan pandangan hidup, semangat
juang, cita-cita dan harapan serta cinta kasih dan kebencian.
Di samping itu, élompugi sebagai sastra Bugis dan menjadi
bagian dari kebudayaan Bugis tumbuh dan berkembang di tengah-tangah masyarakat
Bugis dan diwariskan secara turun-temurun sebagai milik bersama. Ragam sastra
yang demikian itu, tidak hanya brfungsi sebagai hiburan, pengisi waktu senggang
serta penyalur perasaan bagi penutur dan
pendengarnya, melainkan juga sebagai pencerminan sikap, pandangan dan
angan-angan kelompok, alat pendidikan anak serta pemeliharaan norma-norma
masyarakat. Tidak dapat. Melihat peran dan fungsi tersebut, diperlukan upaya
nyata yang dapat menunjang pencpaian tujuan pembejaran nilai-nilai budaya lokal
maupun budaya nasional.
Dilihatdari
segi wilayah penciptaan elompugi sebagai karya sastra, tidak mengalami
perkembangan yang berarti. Sekalipun demikian, fungsi dan peran élompugi dalam
masyarakat tidak dapat diabaikan.
Menurut Fachruddin (1985: 3-4) karena élompugi
merupakan puisi, maka ia merupakan milik masyarakat daerah bersangkutan yang
diteruskan dari generasi ke generasi sesuai dengan penilaian dan kebutuhannya.
Karena masyarakat berubah maka kebutuhannya pun terus berubah, termasuk
kebutuhan akan karya-karya sastra baik yang telah ada maupun yang akan
diciptakan.
Khusus
mengenai karya sastra-Élong yang telah ada, ia tidak hanya mungkin mengalami
perubahan bentuk sejalan dengan penuturannya dari mulut ke mulut melainkan
besar kemungkinan ia pun akan mengalami pergeseran frekuensi pemakaian dari
waktu ke waktu sesuai dengan pergeseran nilai-nilai sosial budaya yang
terjadi dan akhirnya ia tercecer dan
terlupakan.
- Nilai Budaya Lokal
Nilai budaya merupakan lapisan yang paling abstrak dan
ruang lingkupnya sangat luas. Nilai budaya terdiri atas tingkat pertama
kebudayaan ideal atau adat
(Koentjaraningrat, 1988). Selanjutnya, ia mengtakan bahwa suatu sistem nilai
budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian
besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai
dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman
tertinbagian ggi bagi kelakuan manusia.
Sastra pada umumnya sarat dengan nilai-nilai. Karya
sastra termasuk élompugi tidak hanya berbicara tentang masa lampau dan masa
kini, tetapi juga mampu mendeteksi masa depan. Sebagai bagian dari karya sastra, élompugi, lahir dan
berkembang dari kehidupan yang bertata nilai, yang pada gilirannya diharapkan
memberi kontribusi bagi terbentuknya tata nilai yang baru. Hal ini dapat dimaklumi sebab
élompugi memiliki keterkaitan yang kuat dengan kehidupan, sementara manusia
sebagai pencipta karya sastra sebagai bagian dari kehidupan itu sendiri
(Suyitno, 1986). Nilai-nilai yang berkembang sampai saat ini merupakan hasil
perenungan yang amat dalam oleh para orang bijak masa lalu dan hal itu
dituangkan dalam bentuk bahasa yang indah.
Rahim (1985) mencatat enam nilai utama dalam kebudayaan
Bugis. Keenam nilai utama yang dimaksud adalah kejujuran, kecerdasan,
kepatutan, keteguhan, usaha, dan sirik,
dan nilai-nilai tersebut juga dapat ditemukan dalam élompugi. Keenam komponen
tersebut merupakan puncak-puncak
nilai yang berlaku dan berkembang
dalam masyarakat Bugis.
Selain itu, Sikki, dkk. (1991) mencatat empat belas nilai
budaya yang tersebar pada lima kebudayaan etnis yang ada di Sulawesi Selatan, yakni:
(1) nilai religi, (2 nilai pendidikan,
(3) nilai kegotong- royongan, (4) nilai kepemimpinan, (5) nilai persatuan, (6)
nilai kejujuran, (7) nilai kecerdasan, (8) nilai keteguhan, (9) nilai
kemanusiaan, (10) nilai kesetiaan, (11) nilai tanggung jawab, (12) nilai
kepahlawanan, dan (13) nilai sirik. Nilai-nilai
budaya yang telah diungkapkan tersebut juga ditemukan dalam
élompugi. Dengan demikian, terihat bahwa
sastra daerah termasuk di dalamnya élompugi di Sulawesi Selatan kaya dengan
nilai-nilai budaya.
Selanjutnya, nilai-nilai budaya yang terdapat dalam élompugi dapat dilihat dalam
beberapa contoh berikut ini.
a.
Nilai Religi (Nasihat)
Nilai religi yang menunjukan keyakinan dan ketakwaan dapat terungkap dari lirik-lirik élompugi
berikut ini:
Matutuo ri teppekmu
Ajak muwilimpiling
Ri kasiwiammu
Tuntuko makkasiwiang
Muappujui temmanginngik
Sadak mannennungeng
Mannennungekko poada sadak
Sadak mappattongeng
Ri laleng atimmu
Ati tellong mappattongeng
Tubu makkeda ada
Ibada tattuang
Terjemahan:
Hati-hatilah terhadap imanmu
Jangan bimbang
Pada ibadahmu
Taatlah pada ibadah
Memujalah terus-menerus
Syahadat selalu
Ucapkanlah syahadat selalu
Syahadat, membenarkan
di dalam hatimu
Hati nurani membenarkan
Tubuh mengucapkan syahadat
Ibadat keyakinan
b.
Nilai Pendidikan
Nilai-nilai pendidikan dapat disimak dalam contoh
élompugi di bawah ini:
Ininnawa sakbarakko
Lolongeng garék décéng
To sakbarak-édé
’Wahai hati bersabarlah
Bakal mendapat keberuntungan
Bagi orang yang bersabar’
Cokkong lébu buluk ammo
Aja mutakkalupa
Polé ri ammekki
’Jika engkau sampai di puncak
Jangan hendaknya engkau lupa
Engkau berasal dari bawah’
Atutuiwi gaukmu
Atikeriwi kédomu
Kuwaé ilek matammu
Kuwaé teppa timummu
Kuwaé ampé jarimmu
Kuwaé kédo atimmu
Kédona nawa-nawammu
’Pelihara tingkah lakumu
Jagalah sifatmu
Seperti penglihatanmu
Seperti tutur katamu
Seperti perbuatan jarimu
Seperti gerak hatimu
Gerak jalan pikiranmu’
c.
Nilai Keteguhan
Nilai keteguhan hati dalam menentukan pilihan, dapat
disimak dari lirik élompugi berikut ini:
Anré mata toddopuli
Makkanré samparaja
Seppipi nalara
’Pilihanku hanya satu
Tidak akan goyah
Takkan terpisahkan’
Pura babbara sompekku
Pura gucciri gulingku
Ulebbirenngi tellenngé na towalié”
‘Layarku
sudah terkembang
Kemudiku
sudah terpasang
Kupilih
tenggelam daripada kembali’
d.
Nilai Kesetiaan
Élompugi
yang mengandung nilai-nilai kesetiaan
biasanya ditemukan dalam bentuk osong atau
aruk. Kedua jenis élompugi tersebut
merupakan élong penghasut semangat yang bersifat umum dan perorangan. Aruk biasanya diucapkan oleh panglima di hadapan raja sebagai
pernyataan dukungan dan kesetiaan kepada raja.
Contoh:
Osong
Engka manenno timummung
sining
pattuppu batunna tanaé tellu limpoé
Sininna pakbaraninna lipuk-é ri Sinjai
Mupada takkappo tona anuré malebbikku
Sappo siseng malebbikku
Gilissako alauk, mitai caronakkonang
Kappalak pitubbatué
Kappala passiunona Balanda puté mataé
Rekkuwasia labéla tettinulukko méwai mappasiduppang palek
lima
Temmaréso Balanda puté mataé
Pada sorokko labéla ri langkanammu
Mutudang siwinru-winru awiseng ri lebbiremmu
Muassuro timpak-i pattimpakmu mukuwa tellong
Nawatakku massangali makkunrai malluru samanna ilek
Buaja boto
Gagareng, makbité manuk tosandék.
Terjemahan:
Engkau sekalian telah berkumpul
Semua
aparat tana tiga
Wilayah semua pemberani negeri Sinjai
Demikian juga engkau telah datang
Para kemanakanku,
Sepupuku
Tengoklah ke timur, lihatlah terapung-apung
Kapal
yang berjumlah tujuh buah
Kapal
perang Belanda, si putih mata
Mundurlah kalian pada pulang ke istanamu
Engkau duduk bercengkerama dengan istri
kesayanganmu
Engkau suruh buka jendelamu
Kemudian di situlah menengok
Aku keluar memakai pakaian perang
Engkau perhatikan perempuan
Menyerang bak buaya menganga
Bertarung bagaikan ayam orang saddik
` Mahmud
(1993: 47)
Aruk
Hé pakanna
Idikna jowakna La
Jalanték
Teppallaisenngénngi
lino pammasereng
Kegapik maélok
maté
Jowak engkatona,
akjowareng engkatona
Temmaté tuwoé,
tellétték ri manipik taniyaé
Kodona,
Ha Bélla
Sola-sola maté,
temmassola-sola maté,
lebbisia maté
massola-solaé
pitu garék
wawinéna ri majé
maté
massola-solaé
idikna wijanna
warani pitué
bawi makbeosanna
maniampajo
tédong tenri
lasekna anakbanuwaé
assangirenna
malélaé
Mahmud
(993: 50)
Terjemahan:
He para prajurit
Kitalah pasukan
La Jalantek
Tidak membedakan
dunia akhirat
Di mana lagi kita
mau mati
Pengiring telah ada, yang
diiringi pun telah ada
Tidak mati yang hidup, tidak akan menyeberang ke akhirat
yang bukan suratannya,
He Bella
Tak terpikir mati,
yang berpikir pun mati
Biarlah mati tak berpikir
Tujuh nian istrinya di akhirat
Yang mati tanpa berpikir
Kitalah turunan pemberani yang tujuh,
Babi berbulu panjang dari Maniampajo
Kerbau tak dikebiri dari anakbanuwae
Tempat mengase
melela
Tempat tertumbuknya peluru
- Élompugi
dalam Pembelajaran Nilai Budaya Lokal
Pewarisan nilai budaya
melalui jalur pendidikan dianggap paling efektif dibandingkan dengan jalur lain
yang mungkin dapat dilakukan oleh berbagai pihak. Pewarisan Budaya harus
dirancang secara serius mengingat akhir-akhir ini berkembang suasana yang
kurang menggembirakan (Hakim, 2007:6). Lebih lanjut dikatakan bahwa konsep
sipakatau dan sipakalebbik sudah mulai luntur, yang muda tidak lagi menghargai
yang tua, dan yang tua pun tidak menyayangi lagi yang muda. Penghargaan anak
didik kepada guru sudah terkena erosi. Penyampaian pendapat tidak lagi
disampaikan dengan santun dan beradab. Singkatnya, penjungkirbalikan nilai
sudah sampai ke ambang yang sangat ”menghawatirkan.” Apa yang harus dilakukan?
Tiada lain kecuali pembelajaran nilai budaya lokal melalui jalur pendidikan.
Élompugi sebagai salah satu karya sastra dapat menjadi sumber inspirasi dalam
pembelajaran nilai budaya lokal. Élompugi sebagai salah satu karya sastra
selain sebagai produk budaya masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan juga
sekaligus sebagai pelestari budaya. Dalam hal ini, élompugi memiliki peran
penting dalam meneruskan nilai-nilai budaya dari generasi ke generasi.
- Penutup
Élompugi sebagai salah satu
karya sastra merupakan produk budaya dan sekaligus pewaris budaya. Élompugi
dapat memberikan kontribusi dalam pembelajaran nilai-nilai budaya lokal di
Sulawesi Selatan. Fungsinya tidak hanya sebagai media hiburan, tetapi lebih
sebagai pengungkap nilai-nilai budaya. Adapun nilai-nilai yang dimaksud, antara
lain; (1) nilai religi, (2) nilai
pendidikan, (3) nilai kegotong- royongan, (4) nilai kepemimpinan, (5) nilai
persatuan, (6) nilai kejujuran, (7) nilai kecerdasan, (8) nilai keteguhan, (9)
nilai kemanusiaan, (10) nilai kesetiaan, (11) nilai tanggung jawab, (12) nilai
kepahlawanan, dan (13) nilai sirik.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Zainuddin. 2007. Reaktualisasi Peran Sastra dalam
Pewarisan Nilai-nilai Budaya. Makassar:
Panitia Penyelenggara Pusat Bahasa Depdiknas dan Pemrov Sulsel.
Kuncaraningrat, 1987. Bunga Rampai: Kebudayaan,
Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Mahmud, 1993. Kedudukan dan Fungsi Élong Ugi. Ujung
Pandang: Pesantren.
Rahim, A. Rahman. 1985. Nilai-nilai Utama Kebudayaan
Bugis. Ujung Pandang: Lembaga Penerbitan UNHAS.
Salim, Muhammad, 1989. Élong Ugi (Transliterasi dan Terjemahan), Ujung
Pandang: Departemen P dan K, Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan
Sulawesi Selatan.
Sikki, Muhammad, dkk. 1978. Terjemahan Beberapa Naskah Lontarak Bugis.
Ujung Pandang, Balai Penelitian Bahasa.
Sikki, Muhammad, dkk. 1991. Nilai-nilai Budaya dalam Susastra Daerah Sulawesi
Selatan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Suyitno, 1986. Sastra Tata Nilai dan Eksegesis. Yogyakarta. PT. Hanindita.
Syamsudduha, 2007. Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Bugis di Sulawesi Selatan: Beberapa Pokok Pikiran. Makassar: Panitia
Penyelenggara Pusat Bahasa Depdiknas dan Pemrov. Sulawesi Selatan.
Arifin,
Syamsuddin, 2003. Kumpulan Sastra Bugis.
ÉLOMPUGI DAN KONTRIBUSINYA DALAM PEMBELAJARAN NILAI
BUDAYA LOKAL DI SULAWESI SELATAN
Makalah
Disajikan pada Seminar Internasional
Pertemuan Linguistik Tahunan Pertama(PELITA I)
Tanggal 22 Mei 2008 di Gedung PKP Unhas Makassar
Syamsudduha
PANITIA PENYELENGGARA
JURUSAN SASTRA DAERAH FIB UNIVERSITAS HASANUDDIN DAN
MASYARAKAT LINGUISTIK INDONESIA
2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar