Klik Link Dibawah Ini Untung Mendownload Sintaksis Bahasa Bugis.ppt :
Minggu, 20 Oktober 2013
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA BUGIS
PEMBINAAN
DAN PENGEMBANGAN BAHASA BUGIS
1. Politik Bahasa Nasional : Kebijakan nasional yang berisi segala
ketentuan yang dipakai sebagai dasar pengelolaan masalah-masalah kebahasaan dan
kesastraan, termasuk di dalamnya masalah penggunaan bahasa daerah dan masalah
yang berkaitan dengan sastra daerah .
2. Kedudukan dan fungsi bahasa Bugis:
Berkedudukan sebagai bahasa daerah yang berfungsi sebagai: (1) lambing
kebanggaan daerah, (2) lambing identitas daerah, (3) alat perhubungan di dalam
keluarga dan masyarakat daerah, (4) sarana pendukung budaya daerah dan bahasa
Indonesia, dan (5) pendukung sastra daerah dan sastra Indonesia.
3. Pembinaan bahasa Bugis: Upaya untuk
meningkatkan mutu pemakaian bahasa. Usaha-usaha pembinaan itu mencakup upaya
peningkatan sikap, pengetahuan, dan keterampilan berbahasa yang dilakukan
antara lain melalui pengajaran dan pemasyarakatan.
a.
Pengajaran: Untuk meningkatkan mutu
penguasaan dan pemakaian bahasa daerah yang dipelihara oleh masyarakat
penuturnya, melalui:
1)
Pengembangan kurikulum
2)
Pengembangan bahan ajar dan metodologi
pengajaran bahasa
3)
Pengembangan tenaga kependidikan
4)
Pengembangan sarana pendidikan
5)
Penyediaan program pendidikan bahasa
daerah pada jenjang pendidikan tinggi
6)
Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa
pengantar di kelas permulaan pada jenjang pendidikan dasar.
b.
Pemasyarakatan:
Pemasyarakatan bahasa daerah ditujukan pada upaya peningkatan sikap positif
terhadap bahasa daerah dan penciptaan situasi yang kondusif dalam penggunaan
bahasa daerah dengan mengacu pada nilai-nilai budaya masyarakat setempat.
Pemasyarakatan BD dilakukan melalui
kegiatan:
1) Penerbitan-penerbitan
berbahasa daerah
2) Mengikutsertakan
tokoh masayarakat dan budayawan dalam pemasyarakatan penggunaan bahasa daerah
dalam situasi tertentu
3) Peningkatan
peran masyarakat kelompok seniman tradisional dalam memberikan informasi
tentang pemakaian bahasa daerah.
4. Pengembangan
bahasa Bugis: Upaya peningkatan mutu bahasa daerah agar dapat dipakai untuk
berbagai keperluan dalam kehidupan masyarakat modern. Upaya pengembangan itu,
mencakup:
a. Penelitian
b. Pembakuan
c. Pemeliharaan
1) Penelitian
yang dilakukan oleh peneliti asing: Matthes(1875),
R.A.Kern(1940),
Noorduyn(1955), U. Shirk(!(75), Timothy Friberg and Barbara Friberg(1985) dan
Grimes and Grimes (1987).
Penelitian lain: Kamus Bugis-Indonesia oleh
said DM,, dkk.(1976), Morfologi dan sintaksis Bahasa Bugis oleh said D. M.,
dkk. (1978), Sastra Lisan Bugis oleh Fachruddin A. E., dkk.(1981), Bahasa Bugis
Soppeng: Valensi Morfologi dasar kata Kerja oleh kasewng (1982), Sistem
Pemajemukan Bahasa Bugis oleh Hawang hanafie (1988), Fonologi Bahasa Bugis
Bulukumba oleh Kulla Lagousi (1988), Struktur Klausa Bahasa Bugis oleh Jalil
Faisal(1990),
Klitika Bahasa Bugis oleh A. Mahmuddin (1991), Frase Verba Bahasa
Bugis Soppeng oleh Lukman (1991), Kelas Kata dalam Bahasa Bugis oleh Hawang
Hanafie (1992), dan Sistem Derivasi dan Infleksi Bahasa Bugis Dialek Sawitto
oleh Syamsudduha(1999).
2) Pembakuan,
dilakukan melalui:
a) Penyusunan
kamus bahasa daerah
b) Penyusunan
Tatabahasa Bahasa Bugis. \
3) Pemeliharaan,
dilakukan dengan;
a) Mengutamakan
bahasa-bahasa daerah yang masih digunakan oleh masuarakat penuturnya
b) Pendokumentasian
bahasa-bahasa daerah yang terancam punah perlu diprioritaskan.
Sabtu, 19 Oktober 2013
PENULISAN BUKU TEKS DAN TANTANGAN YANG DIHADAPI
PENULISAN BUKU TEKS DAN
TANTANGAN YANG
DIHADAPI
Syamsudduha
Universitas Negeri Makassar
1. Pendahuluan
Berbagai persoalan menyangkut buku
teks mendapat sorotan dari berbagai kalangan, khusus dari kalangan penerbit,
dalam acara Publishers`s Forum di
Jakarta yang dilaksanakan pada bulan Juni 2007, para penerbit mencoba memetakan
berbagai permasalahan pokok yang yang dinilai mendesak untuk ditata kembali.
Persoalan
yang dianggap penting di antaranya terkait dengan peningkatan kualitas,
mahalnya harga buku pelajaran, distribusi, dan tata niaga buku teks.
Forum tersebut merupakan kerjasama
antara Yayasan Adikarya Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), Pusat Perbukuan
Depdiknas, dan Indonesia-Australia Basic Education Program.
Informasi tentang rendahnya
kualitas buku teks yang beredar di sekolah-sekolah sekarang ini seperti yang
dilontarkan oleh Kepala Subdirektorat Pengendalian Mutu Buku Pusat Perbukuan
Depdiknas bahwa baru sekitar lima puluh persen buku yang mengikuti penilaian
dianggap memenuhi syarat. Dari 1350 jilid buku yang dinilai, hanya 707 jilid
yang dinyatakan lolos dan boleh dicetak massal, itu pun masih ada review
terhadap buku yang dinilai (Kompas, 27/6/2007).
Persoalan yang terkait dengan
kualitas buku teks tersebut tidak terlepas dari sosok penulis dan aktualitas
tema yang ditulis, sehingga biasanya ada penglaksifikasian; (1) tema populer
dan penulis populer, (2) tema populer dan penulis tak populer, (3) tema tak
populer dan penulis populer (4) tema tak populer dan penulis tak populer. Namun,
adanya pengklasifikasian tersebut tidak semestinya menjadi ganjalan bagi seorang yang akan memulai
menulis.
2. Masalah yang Dihadapi
Pertanyaan orang tua siswa sering
muncul terutama pada awal tahun ajaran baru. Mengapa buku seorang kakak satu
atau dua tahun kemudian tidak dapat diwariskan kepada adiknya. Padahal, jenis sekolah kedua anak
bersaudara itu sama. Bahkan, kadang-kadang berasal dari sekolah yang sama pula.
Dengan demikian, timbul pertanyaan;
(1) Mengapa terjadi kerancuan dalam penggunaan
buku teks di sekolah- sekolah?
(2) Apa yang harus dilakukan oleh penulis buku teks?
3. Kerancuan yang Terjadi
Beberapa
temuan hasil penelitian yang dilakukan terhadap buku teks. Dalam makalah ini dikemukakan
satu contoh kasus yang ditemukan dalam buku pelajaran bahasa Indonesia termasuk
jenis buku siswa atau buku pelajaran untuk siswa; (1) dalam buku pelajaran
(buku siswa) terdapat bagian-bagian yang
termasuk bagian jenis buku kerja. Akibatnya, buku siswa itu, hanya dapat
digunakan sekali, (2) bahan dan
tugas-tugas yang ada dalam buku pelajaran yang dijadikan kasus belum mengarah
kepada pengembangan aspek keterampilan berbahasa, dan (3) belum memenuhi
tuntutan kurikulum (Sumardi, 2000: 196).
Terjadinya kerancuan tersebut, kemungkinan penyebabnya adalah bahwa penulis,
dan apa mungkin juga penerbit belum mengetahui betul substansi dan perbedaan
antara buku teks (buku siswa) dengan buku kerja, ataukah mungkin karena alasan
yang lain. Dengan demikian, perlu adanya pemahaman tentang bagaimana karakteristik
buku pelajaran yang merupakan payung dari buku teks, dan perlu adanya komitmen yang kuat dari pihak
penulis dan penerbit untuk memperhatikan
faktor kebutuhan anak sebagai pengguna buku teks.
Sorotan tajam terhadap kualitas buku teks
dari kalangan penerbit, juga memperlihatkan adanya kerancuan yang
terjadi. Pada satu sisi penerbit telah mengetahui kualitas naskah yang masuk,
namun terkadang tidak semua naskah yang masuk itu, sempat dicermati dengan baik
dan kemudian diproses untuk dicetak.
Pernyataan yang lebih menarik lagi adalah adanya pendapat dari beberapa
penerbit bahwa kontrol kualitas buku teks melalui penilaian oleh Pusat
Perbukuan tidak terlalu efektif. Selain berbiaya besar, juga meng-gunakan waktu
yang cukup lama (sekitar lima bulan untuk penilaian), dan itu pun belum
menjamin kualitas buku yang diinginkan (Kompas, 27/6/2007)
Sekarang, pertanyaan yang mungkin timbul adalah mengapa kerancuan itu
terjadi? Dalam hal ini tentu arah pertanyaan itu lagi-lagi tertuju kepada siapa
penulis dan siapa penerbit buku itu? Ini adalah tantangan bagi penulis maupun
penerbit. Penerbit harus berani dan lebih objektif untuk melakukan penilaian terhadap naskah-naskah buku yang diterima dan penulis pun harus mempunyai
komitmen yang kuat untuk meningkatkan kualitas tulisannya.
4. Perlunya
Pemahaman terhadap Karakteristik Buku Teks dan Buku Kerja
Cunningsworth mengemukakan bahwa
rancangan buku pelajaran terdiri atas buku siswa, buku guru, dan buku kerja.
Buku siswa adalah buku pelajaran yang terpenting dalam proses belajar mengajar yang
terutma digunakan oleh siswa. Buku guru digunakan oleh guru sebagai pedoman dalam
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar terutama yang berkaitan dengan metodologi
pengajaran, sedangkan buku kerja digunakan oleh siswa untuk mengerjakan tugas-tugas atau latihan.
Dalam konteks buku pelajaran, buku siswa termasuk buku teks utama yang dilengkapi
dengan buku kerja. Buku kerja siswa ini pengertiannya berbeda dengan pengertian
awam yang pola isinya merupakan duplikasi buku teks utama.
Buku
teks memiliki kedudukan terpenting dalam konteks buku pelajaran. Begitu
pentingnya kedudukan itu, sehingga disebut buku pelajaran yang sebenarnya
sebutan untuk payungnya. Kedudukan buku
teks itu menjadi sangat penting karena
buku memiliki fungsi yang strategis. Beberapa fungsi buku teks dalam kegiatan
belajar mengajar, antara lain::
a. sumber
bahan pelajaran,
b. sumber
kegiatan siswa,
c. Sumber
gagasan dan dorongan kegitan belajar mengajar
d. Perwujudan
silabus yang di dalamnya terdapat tujuan pembela-jaran yang telah digariskan,
e. Sumber
belajar dan tugas mandiri,
f.
Bantuan badi guru(baru) untuk mengembangkan kepercayaan
diri
Karena adanya fungsi tersebut, maka Cunningsworth mengatakan bahwa tidak
ada sesuatu yang pengaruhnya lebih besar
terhadap isi dan pelaksanaan proses belajar mengajar dapat menggantikan
posisi buku teks dan bahan ajar lainnya yang digunakan (Sumardi, 2000: 1). Dengan
demikian, dalam pengembangan buku teks
penulis harus benar-benar memperhatikan
hakikat dan karakteristik buku teks dan perbedaannya dengan buku kerja..
1) Konteks Buku Teks dan Unsur-unsur Utamanya
Unsur-unsur utama
yang perlu mendapat perhatian dari penulis adalah::
a) Rancangan dan Organisasi
Buku pelajaran
dapat dirancang tunggal, atau dirancang dalam satuan yang lebih besar bersama
buku guru, buku kerja siswa, rekaman kaset dan sebagainya. Kedua pola itu akan mempengaruhi isi
pelajaran. Misalnya, jika buku itu dirancang tunggal tanpa buku guru, buku
siswa harus memenuhi fungsinya sebagai penunjang guru dalam melaksanakan
kegiatan belajar mengajar.
b) Topik dan Bahan
Topik dan bahan harus disusun secara kontekstual. Untuk
memperoleh bahan yang kontekstual sebaiknya dipilih bahan-bahan yang otentik
dari kehidupan nyata.
c) Metodologi Pengajaran
Dalam kaitannya dengan buku pelajaran, metodologi
berkaitan dengan pilihan dan
pengelompokan tugas-tugas kegiatan belajar.
2) Karakteristik Buku Kerja
Buku kerja yang
dikenal dalam masyarakat luas dengan nama LKS, memiliki karakteristik yang berbeda
dengan buku teks (Prayitno, 2007).
Buku
kerja layaknya buku teks juga harus mengacu pada pendekatan pembelajaran yang
dianut setiap pemberlakuan kurikulum. Pendekatan
yang dianut dapat terformat dalam bentuk format buku sebagai berikut:
a) Kalimat Payung
Pada
bagian ini, penulis harus berupaya untuk membangun sedikit demi sedikit
pengetahuan tentang materi yang akan diberikan.
b) Materi
Materi yang
disajiikan pada bagian ini merupakan ringkasan dari sumber-sumber yang sesuai
dengan pokok bahasan/materi pokok.
c) Latihan
tahap I
Soal-soal yang
diberikan pada tahap ini hanya sebagai penguat daya pikir siswa dari materi
yang diajarkan atau untuk menilai pemahaman siswa terhadap materi sehingga
latihan atau soal-soal yang diberikan dapat berupa essay dan pilihan ganda.
d) Latihan
tahap II
Latihan pada tahap kedua ini, berupa
latihan yang tidak terdapat pada ringkasan materi, melainkan siswa diharuskan
mencari dari sumber-sumber yang lain. Proses latihan ini merupakn tahapan untuk
membangun pengetahuan siswa ke hal-hal yang lebih kompleks.
5.
Glossary
Pada
bagian ini, penulis dapat menyajikan
bahan pembelajaran siswa untuk
menambah pengetahuan siswa; bisa berupa kata-kata kunci.
6. Gambar/Model
Pada bagian ini,
penulis menyajikan gambar-gambar yang diberikan hanya sebagai contoh kepada
siswa agar kemudian dapat mencari sendiri di lingkungannya.
7. Proyek/Praktikum/Life Skill
Pada
bagian ini, penulis menyajikan latihan yang dapat melalui beberapa tahapan
sesuai dengan tahapan-tahapn dalam proses menemukan sendiri (inquiry) sehingga
bentuk kerja kelompok (learning community) dapat dipergunakan dalam proses
latihan ini, atau mengerjakan sesuatu yang didahului dengan contoh(modeling).
8. Rencana Pembelajaran
Diharapkan
dalam buku kerja ini, dimasukkan Rencana Pembelajaran untuk guru agar dapat
mempersiapkan bahan-bahan pembelajaran yang diperlukan untuk memberikan
tugas-tugas kepada siswa.
5. Relevansinya Dengan Kebutuhan Peserta Dididk
Hampir semua sampul depan buku pelajaran yang
beredar sekarang ini diberi label ”Sesuai
dengan kurikulum 2006”. Pada buku yang lain diberi label ”Berdasarkan KTSP
2006”, dan pada buku lain lagi diberi label ”Berdasarkan Kurikulum Baru 2006”.
Dari segi informasi, label tersebut
sebenarnya kurang fungsional sebab dalam masyarakat perbukuan, ada semacam
konvensi bahwa buku yang berlaku adalah buku pelajaran yang mengacu kepada
kurikulum yang berlaku, sehingga kalau sekarang ini berlaku kurikulum 2006,
tidak ada lagi toko buku yang menjual buku pelajaran baru berdasarkan kurikulum
sebelumnya.
Adanya
label tersebut menyiratkan bahwa buku pejajaran lebih menekankan pada acuan
kurikulum dan kurang memberi perhatian pada acuan keilmuan yang relevan,
misalnya; setiap buku teks harus memperhatikan ilmu pendidikan dan psikologi
anak.
Penulisan buku pelajaran mesti
diletakkan dalam konteks pendidikan yang utuh, dan hal ini harus sejalan dengan
tujuan pendidikan nasional.
Menurut Undang-undang Nomor 20
Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, dikemukakan tujuan pendidikan
nasional adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa keada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokrat dan
bertanggung jawab. Penyusunan buku teks pun karus mengacu pada tujuan tersebut.
Arah pendidikan yang sudah jelas
itu, perlu didukung oleh teori-teori pembelajaran, dan penyusunan buku teks
harus menyentuh teori-teori pembelajaran anak. agar proses pendidikan dapat
berlangsung secara optimal.
Dalam kaitannya dengan teori
pembelajaran anak, ada beberapa teori yang sangat relevan dengan pemenuhan
kebutuhan anak dalam pembelajaran. Misalnya, Rousseu, ahli pendidikan
Perancis (1772-1778), berpendapat bahwa pendidikan anak-anak harus bersifat alamiah.
Anak harus diberi kebebasan untuk berkembang membuat iramanya sendiri dengan
memperkecil campur tangan dari luar. Dengan demikian pemberian tugas-tugas pada
buku teks diharapkan memperkecil campur tangan guru.
Demikian juga, Pestalozzi, ahli
pendidikan Swiss (1746-1827) juga berendapat bahwa belajar secara alamiah lebih unggul. Namun, juga menambah peluang belajar
secara formal karena anak sulit sekali diharapkan belajar dengan inisiatifnya
sendiri.
Seorang ahli pendidikan Jerman
(1782-1852) juga mempunyai kesamaan pendapat dengan Rousseu dan Pestalozzi yang
memberi tekanan pada perkembangan anak
secara alamiah. Namun, Froebel mempunyai gagasan lain yang sangat terkenal,
yaitu pentingnya bermain dalam belajar. Karena itu, diharapkan buku teks
dirancang sedemikian rupa untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk belajar
sambil bermain. Sejalan dengan itu, John Dewey (1859-1952) ahli filsafat dan
pendidikan Amerika Serikat yang sangat terkenal dengan ungkapannya learning by doing atau learning trought
activity. Dia percaya bahwa pembelajan terpadu mampu memberikan hasil yang
optimal, dan interaksi sosial mampu mendorong tumbuhnya minat dan semangat
belajar untuk memperoleh ilmu dan keterampilan. Ini menyiratkan bahwa buku-buku
teks harus memberikan peluang kepada anak untuk
berinteraksi baik sesama teman belajar maupun kepada gurunya.
Beberapa teori tersebut, memberikan
rambu-rambu kepada penulis buku pelajaran agar memberikan perhatian kepada
kebutuhan peserta didik, dengan
memperhatikan karakteristiknya.
3. Penutup
Penulisan buku
teks harus digalakkan, dan dilatih terus menerus karena kegiatan menulis buku
merupakan upaya perekaman ilmu pengetahuan dan tanpa adanya sarana tulis ini,
akan sulit sekali penyebaran ilmu pengetahuan bisa dilakukan secara
berkesinambungan.
Berbagai sorotan tajam yang dilontarkan dari berbagai pihak tentang
rendahnya kualitas buku teks yang beredar, bukanlah suatu persoalan yang harus
menjadi beban pemikiran bagi para penulis, melainkan suatu tantangan untuk
menulis dan menulis lagi sampai lahirnya karya-karya yang lebih berkualitas.
Seorang penulis harus mengawali
dengan nawaitu yang baik, keikhlasan untuk melakukan sesuatu demi
pengembangan ilmu, tidak semata-mata memperhitungkan berapa besar royalti yang
diterima setelah selesai menulis. Hal ini penting, tetutama bagi seorang penulis pemula agar
segala tantangan yang dihadapi dalam menulis tidak akan mematikan semangat dan
kreativitas menulisnya.
Menyadari
pentingnya penulisan buku pelajaran, penulis harus memahami hakikat dan
karakteristik buku pelajaran, dan dapat melihat dengan cermat relevansi
materi yang disajikan dengan kebutuhan peserta didik. Hal ini penting untuk
mewujudkan penulisan buku-buku pelajaran yang berkualitas pada masa yang akan
datang.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Standar Isi Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan. Direktorat Pembinaan SMA Ditjen Mandik-dasmen Departemen
Pendidikan Nasional.
Buku Teks Dapat Sorotan, Kalangan Penerbit
akan Petakan Berbagai Masalah Perbukuan. Harian Kompas, Jakarta: Rabu,
27 Juni 2007.
Lasa Hs., Penulisan Buku Teks
Perguruan Tinggi. Makalah Workshop Strategi dan Teknik Penulisan Buku Teks
Perguruan Tinggi tanggal 19 Juli 2006 di LPP UNS Surakarta
Teknik Penulisan Buku Teks.
Prayitno. Karakteristik Buku Latihan Siswa dengan Pendekatan Konteks-tual. Materi
Pelatihan Penulisan Buku dan LKS di Solo, 10 Agustus 2007.
Prayitno. Teknik Penulisan Buku Teks. Materi Pelatihan Penulisan Buku dan
LKS di Solo, 10 Agustus 2007.
Sumardi, 2000. Panduan Penelitian, Pemilihan, Penggunaan, dan Penyusunan
Buku Pelajaran Bahasa Indonesia SD sebagai Sarana Pengembangan Kepribadian,
Penalaran, Kreativitas dan Keterampilan Brkomunikas Anak. Jakarta: Grameia.
Widyamartaya. 1996. Kreatif
Mengarang. Yogyakarta: Kanisius.
|
PENULISAN BUKU TEKS DAN
TANTANGAN
YANG DIHADAPI
Makalah
Disajikan pada Seminar Nasional Penyusunan Bahan Ajar dan Buku Teks
Syamsudduha
PANITIA PENYELENGGARA
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
DAN DAERAH
UNIVERSITAS
NEGERI MAKASSAR
8 September 2007
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA BUGIS DI SULAWESI SELATAN:
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA BUGIS DI SULAWESI
SELATAN:
Beberapa
Pokok Pikiran
Oleh: Syamsudduha
Universitas Negeri Makassar
I. Pendahuluan
Bahasa Bugis sampai saat ini masih
tetap merupakan alat komunikasi sehari-hari yang penting di Sulawesi Selatan.
Bagi masyarakat Bugis, bahasa Bugis merupakan sarana pendukung kebudayaan,
lambang kebanggaan daerah, dan lambang identitas daerah. Wilayah pemakaian
bahasa Bugis meliputi seluruh Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, bahasa
Bugis juga dipakai sebagai bahasa komunikasi di antara para perantau Bugis di
beberapa daerah, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Irian
Jaya, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Jambi, dan sepanjang pantai di Provinsi Riau, dan Sumatra bahkan di luar
wilayah Indonesia, misalnya di Johor, dan Tawao Malaysia (Abas, 1975).
Menurut filasafat Sulapak Eppak-É, manusia terjadi dari api, angin, air, dan tanah.
Keempat unsur tersebut menggambarkan sifat-sifat mansia. Api meng-gambarkan sifat yang penuh semangat tanpa kenal putus asa,
dan pantang mundur. Angin,
menggambarkan sifat yang senantiasa mengenakkan, namun jika mengamuk dapat memusnahkan
segalanya. Air, menggambarkan sifat
yang selalu membungkuk-bungkuk (merendah) tetapi kadang-kadang palsu, dan tanah menggambarkan sifat yang selalu
sabar, jujur, menerima, dan menyesuaikan diri.
Lontarak Sulapak Eppak-É menggambarkan bahwa jika keempat sifat itu
bercampur, maka harus diusahakan agar yang menonjol adalah sifat tanahnya.
Namun demikian, dalam masyarakat Bugis sangat dominan sifat apinya. Sifat api memang baik karena penuh semangat tanpa kenal putus asa (pantang
mundur). Hal ini biasa dilukiskan sebagai semangat pelaut Bugis dengan tekad pantang mundur dalam syair Bugis:
” Pura babbara sompekku
Pura gucciri gulingku
Ulebbirenngi tellenngé na towalié”
Artinya:
“Layarku sudah terkembang
Kemudiku sudah
terpasang
Kupilih
tenggelam daripada kembali”
Namun, lontarak juga mengendalikan semangat hebat tersebut, dalam
ungkapan:
”Narekko moloiko roppo-roppo
Réwekko mappikkirik”
Artinya:
” Jika anda berjalan dan menjumpai
semak belukar,
Kembalilah
berpikir.”
Besarnya
nilai-nilai budaya yang diemban oleh bahasa Bugis tersebut sebagaimana yang
tersirat dalam huruf-huruf lontarak, maka sangat disayangkan jika gejala kemunduran
bahasa daerah berlangsung terus-menerus. Oleh karena itu, perlu adanya upaya
nyata dalam pembinaan dan pengembangan
bahasa Bugis di Sulawesi Selatan.
II. Bahasa Bugis dan Dialek-dialeknya
Secara geografis, daerah Bugis terletak
di daerah semenanjung barat daya Sulawesi yang dalam pengertian menyeluruh
meliputi daerah kabupaten Luwu, Wajo, Soppeng, Bone, Sinjai, Bulukumba (Kecuali
Kajang dan Bira), sebagian Maros dan Pangkep, Barru, Parepare, Pinrang, dan Pangkajenne
Sidenreng. Selain itu, sejak beberapa abad yang lalu, orang Bugis telah banyak bermukin di berbagai daerah
yang tersebar di kepulauan nusantara. Daerah pemukiman orang Bugis di luar
Sulawesi, antara lain; pesisir timur Kalimantan yang berpusat di Samarinda,
pesisir barat Kalimantan yaitu di sekitar Sungai Kakap, Sambas, dan Pontianak,
di kepulauan Batam, Ende Flores, dan pulau-pulau di sebelah timur Pulau Lombok.
Sejak permulaan abad kedua puluh orang Bugis telah banyak pula yang bermukim di
pesisir timur Sumatra, yakni di Indragiri, Riau, dan Jambi (Sikki, dkk. 1991).
Dengan demikian, tidak mengeherankan jika variasi dialek terdapat dalam bahasa
Bugis.
Studi tentang dialek bahasa Bugis telah
dilakukan oleh Palenkahu yang menghasilkan Peta Sulawesi Selatan (1974),
Timothy dan Barbara Friberg yang menghasilkan Geografi Dialek Bahasa Bugis.
Berdasarkan peta bahasa Sulawesi Selatan,
dialek bahasa Bugis meliputi; dialek Luwu, Waji, Palakka, Ennak, Soppeng,
Sidenreng, Parepare, Sawitto, Tellumpanuwa-É (Campalagian), dan Ugi Ri awa.
Sedangkan Geografi Dialek Bahasa Bugis (1985), menggambarkan dialek-dialek
bahasa Bugis meliputi; dialek Luwu, Wajo, Bone, Sinjai, Soppeng, Sidrap,
Sawitto, Pasangkayu, Barru, Pangkep, dan Camba.
Selain itu, dialek bahasa Bugis juga
digambarkan oleh Charles E. Grimes and Grimes and Barbara D. Grimes (1987) yang
ditulis dalam buku `Language Of South Sulawesi.´
III.
Beberapa Pokok Pikiran
A.
Pemakaian
Bahasa Bugis di Sulawesi Selatan
Suvai tentang pola pemakaian bahasa Bugis
di Sulawesi Selatan telah
dilakukan oleh Kamaruddin (1992). Hasil survai menunjukkan bahwa 98 persen di
antara responden yang mengatakan bahwa anak di desanya mempelajari bahasa
daerah sebagai bahasa pertama dan hanya 2 persen yang menyatakan bahasa
Indonesia yang pertama dipelajari oleh anak-anak.
Hasil survai menunjukkan pula bahwa 60,5%
di antara responden yang menyatakan bahwa anak muda masih menggunakan bahasa
daerahnya dengan baik, hanya 9% di antara responden menyatakan bahwa anak muda
menggunakan bahasa daerahnya dengan kurang baik. Hal ini menunjukkan bahwa
bahasa daerah di kalangan penduduk di Sulawesi Selatan masih sangat kuat. Hal
ini pun didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Taha (1996) yang
menunjukkan bahasa daerah di kalangan penduduk di Sulawesi Selatan masih sangat
kuat.
B. Upaya Pembinaan Bahasa Bugis
Pembinaan bahasa adalah suatu upaya
untuk meningkatkan mutu pema-kaian bahasa. Upaya-upaya pembinaan dapat
dilakukan melalui upaya peningkatan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
berbahasa yang dapat dilakukan antara lain, melalui pengajaran dan
pemasyarakatan (Alwi, 2003: 9)
Pembinaan bahasa daerah Bugis
di Sulawesi Selatan dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain:
1) Pengajaran Bahasa Bugis sebagai Muatan
Lokal
Pengajaran bahasa Bugis di Sulawesi Selatan telah
dilakukan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai pada
tingkat Sekolah Menengah. Bahkan, di Perguruan Tinggi khususnya pada Jurusan
Bahasa telah diajarkan sebagai mata
kuliah wajib dalam paket-paket pilihan. Dalam bidang pengajaran, telah dilakukan
penyusunan rancangan kurikulum muatan lokal untuk Sekolah Dasar dan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama, dan pengadaan bahan ajar.
2)
Pemasyarakatan
Bahasa Bugis
Dalam upaya pembinaan bahasa Bugis di
Sulawesi Selatan, telah dilakukan beberapa langkah strategis, antara lain; (1) penerbitan
berbahasa daerah Bugis, (2) pembacaan
berita dalam bahasa Bugis, baik melalui TVRI maupun RRI, (3) siaran radio
swasta dengan menggunakan pengantar bahasa Bugis, dan (4) penulisan nama-nama
jalan dengan menggunakan huruf antarak. Namun, yang diharapkan bukan hanya
sebatas hal demikian, tetapi kalau perlu setiap lembaga atau instansi,
nama-nama hotel, restoran, dan tempat-tempat strategis lainnya, sebaiknya
mengganti nama-nama asing dengan nama-nama daerah yang dianggap cocok dan
sesuai dengan jati diri masyarakat Sulawesi Selatan sehingga ciri kedaerahan
dan jati diri masyarakat Sulawesi Selatan dapat dipertahankan.
C.
Pengembangan
Bahasa Bugis
Pengembangan
bahasa Bugis adalah suatu upaya peningkatan mutu bahasa daerah agar dapat
digunakan dalam berbagai keperluan dalam
kehidupan masyarakat modern. Upaya pengembangan itu, mencakup, penelitian,
pembakuan, dan pemeliharaan.
Dalam
kaitannya dengan kegiatan penelitian, dapat dikatakan bahwa hampir seluruh aspek bahasa Bugis telah
diteliti. Penelitian dalam berbagai aspek yang telah dilakukan, antara lain;
Matthes (1875), R.A. Kern (1940), Noorduyn (1955), U. Shirk (1975), Timothy
Friberg and Barbara Friberg (1985), dan Grimes and Grimes (1987) Penelitian Sastra
Lisan Bugis( oleh Fachruddin, A.E., dkk. (1981), Bahasa Bugis Soppeng: Valensi Morfologi dasar Kata Kerja oleh
Kaseng (1982), Sistem Pemajemukan Bahasa
Bugis oleh Hawang Hanafie(1988), Fonologi Bahasa Bugis Bulukumba oleh Kulla
Lagousi (1988), Struktur Klausa Bahasa
Bugis oleh Jalil Faisal (1990), Klitika
Bahasa Bugis oleh A. Mahmuddin (1991), Frase
Verba Bahasa Bugis Soppeng oleh Lukman (1991) Kelas Kata Bahasa Bugis oleh Hawang Hanafie (1992), dan Sistem Derivasi dan Infleksi Bahasa Bugis
Dialek Sawitto, oleh Syamsudduha
(1999).
Data tersebut memperlihatkan bahwa penelitian
terhadap bahasa Bugis telah lama
dilakukan, dan beberapa tahun terakhir, penelitian bahasa Bugis mengalami
kemajuan pesat.
Di
samping kegiatan penelitian, berbagai upaya telah dilkukan untuk pengembangan
bahasa Bugis, antara lain;
a. Pengembangan aksara dan ejaan
Sistem aksara lontarak terdiri atas 23 tanda bunyi yang biasa disebut ina surek artinya `induk huruf ΄. Di samping itu, terdapat pula tanda-tanda yang dapat menimbulkan variasi
bunyi yang disebut anak surek.
Ke-23 tanda
bunyi `ina surek΄ tersebut adalah:
k g
G K
ka ga nga ngka
p b m
P
pa
ba ma mpa
t d n R
ta da na
nra
c j N
C
ca ja nya
nca
y
r l w
ya
ra la wa
s a h
sa
a ha
Kelima
anak surek ditempatkan pada berbagai posisi berikut:
a. tanda
( e----
) tempatnya di depan ina
surek menghasilkan bunyi /É/
b. tanda
(---- o) tempatnya di belakang ina
surek menghasilkan bunyi /o/
c. tanda (
----E )
tempatnya di atas ina surek menghasilkan
bunyi /ə/
d. tanda (
--•-- ) tempatnya di atas ina surek, mengahasilkan bunyi /i/ dan
e.
tanda ( --.--)di bawah ina
surek, menghasilkan bunyi /u/
Sistem ejaan telah
berkali-kali diupayakan penyempurnaannya. Atas prakarsa Lembaga Bahasa
Nasional Cabang III Ujung Pandang, pada
tahun 1975 telah diselenggarakan Seminar Pembakuan Ejaan Bahasa Bugis-Makassar
dengan huruf latin di Ujung Pandang. Hasilnya, berupa Pedoman Ejaan
Bahasa-bahasa Daerah di Sulawesi Selatan
(1989). Selanjutnya, pada tahun 1990 diadakan Lokakarya Pemantapan Ejaan Latin
Bahasa-bahasa Daerah di Sulawesi Selatan yang dibiayai oleh Balai Penelitian
Bahasa di Ujung Pandang. Adapun
implikasi dari seminar tersebut adalah timbulnya kesadaran pemerintah daerah
untuk melestarikan sistem aksara yang
direalisasikan dengan meningkatkan pengajaran bahasa Bugis di sekolah-sekolah
termasuk pengajaran aksara lontaraknya.
b. Pengembangan Kosakata
Pengembangan di bidang kosakata telah direalisasikan dengan penyusunan
Kamus Bugis-Indonesia oleh M. Ide Said, D.M., dkk. (1976), dan dalam
perkem-bangannya, telah disusun pula kamus Indonesia-Makassar-Bugis (2007) oleh
Daeng, Kembong dan Syamsudduha.
C. Pengembangan
Struktur
Pengembangan struktur fonologi
telah direalisasikan dengan pendeskripsian aspek fonologi bahasa Bugis yang
telah dilakukan oleh beberapa peneliti bahasa, antara lain oleh Samsuri (1965),
Husen Abas (1975), dan penelitian tentang pola bunyi bahasa Bugis oleh Kulla
Lagousi (1992).
Bidang morfosintaksis merupakan bidang
struktur bahasa Bugis yang paling banyak mendapat perhatian dari para sarjana
dan peneliti bahasa daerah di Sulawesi Selatan. Seperti yang telah dilakukan
oleh beberapa peneliti bahasa, antara lain; Samsuri (1965), Husen Abbas (1975),
dan penelitian tentang pola bunyi bahasa Bugis oleh Kulla Lagousi (1992).
Kaseng (1976), telah meneliti;
Valensi
Morfologi Dasar Kata Kerja Bahasa Bugis Soppeng, Sistem Perulangan
Bahasa Bugis (1983), dan Kata Tugas dalam Bahasa Bugis (1987). Abdul Jalil
Faisal telah meneliti tentang struktur klausa bahasa Bugis (1990) Selain itu,
penelitian tentang kelas kata dalam bahasa Bugis dilakukan oleh Sitti Hawang
Hanafie (1992). Dengan adanya beberapa hasil penelitian tersebut, terlihat
bahwa minat para sarjana dan peneliti bahasa untuk mengkaji bahasa-bahasa
daerah di Sulawesi Selatan semakin
tinggi. Namun, apabila dicermati penelitian bahasa Bugis yang telah dilakukan,
terutama dalam cabang-cabang linguistik, misalnya, psikolinguistik, tipologi
bahasa, dan filologi boleh dikatakan masih terbatas.
Demikian pula, penelitian bahasa Bugis dari
segi diakronik dapat dikatakan belum memadai (Said, D.M., 1998:2).
d. Pengembangan di bidang fungsi-fungsi
kemasyarakatan
Pengembangan
di bidang fungsi-fungsi kemasyarakatan yang menjadi sarana pemasyarakatan
hasil-hasil pengembangan bahasa daerah yang masih tetap penting sampai saat ini
adalah bidang pendidikan dan bidang agama. Sebagaimana telah dikemukakan oleh
Taha (1996) bahwa pemakaian bahasa Bugis dalam ranah pendidikan, terutama
pendidikan dasar sampai saat ini masih menjadi bahasa pengantar di sekolah Dasar
di samping bahasa Indonesia. Bahkan, saat ini bahasa daerah telah menjadi mata
pelajaran muatn lokal pada jenjang pendidikan dasar, Sekloah Lanjutan Tingkat
Pertama SLTP), dan pada Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin terdapat Jurusan
Bahasa Daerah, dan pada FPBS IKIP Ujung Pandang (Sekarang UNM) juga pernah
dibuka Program Studi Bahasa Daerah Bugis dan Program Studi Bahasa Makassar, dan
sekarang ini pada FBS Universitas Negeri Makassar, jurusan Bahasa Daerah masih
tetap eksis, namun disatukan dengan jurusan Bahasa Indonesia yang menjadi
jurusan Bahasa Indonesia dan Daerah.
Pemakaian bahasa daerah Bugis sebagai bahasa pengantar di bidang
keagamaan, khususnya agama Islam masih tetap tinggi. Madrasah dan pesantren di daerah masih menggunakan
bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di samping bahasa Indonesia, bahasa
Inggeris dan bahasa Arab. Khotbah dan dakwah keagamaan masih sering disampaikan
dengan bahasa Bugis di samping bahasa Indonesia. Bahan pustaka agama berupa
terjemahan Kitab Suci Al-Qur`an atau hadis juga kebanyakan ditulis dalam bahasa
daerah Bugis.
IV. PENUTUP
Pembinaan dan pengembangan bahasa Bugis di
Sulawesi Selatan sangat mendesak, melihat pemakaian bahasa Bugis dewasa ini,
dalam ranah tertentu masih memperlihatkan intensitas yang cukup tinggi. Meskipun
secara umum dapat dikatakan mengalami kemunduran. Untuk mengantisipsi hal ini,
berbagai upaya pembinaan dilakukan dalam
berbagai bentuk kegiatan, antara lain; (1) pengajaran Bahasa Bugis sebagai
Muatan Lokal, (2) pemasya- rakatan
Bahasa Bugis. Adapun langkah-langkah
strategis yang dilakukan, antara lain; (1) penerbitan berbahasa daerah
Bugis, (2) pembacaan berita dalam bahasa
Bugis, baik melalui TVRI maupun RRI, (3) siaran radio swasta dengan menggunakan
pengantar bahasa Bugis, dan (4) penulisan nama-nama jalan dengan menggunakan
huruf lontarak. Namun, yang diharapkan bukan hanya sebatas hal demikian, tetapi
kalau perlu setiap lembaga atau instansi, nama-nama hotel, restoran, dan
tempat-tempat strategis lainnya, sebaiknya mengganti nama-nama asing dengan
nama-nama daerah yang dianggap cocok dan sesuai dengan jati diri masyarakat
Sulawesi Selatan sehingga ciri kedaerahan dan jati diri masyarakat Sulawesi
Selatan dapat dipertahankan.
Dalam upaya
pengembangan bahasa Bugis, telah dilakukan berbagai aspek, termasuk aspek fonologi, morfologi, dan
Sintaksis.
Berdasarkan kenyataan terebut, pada
kesempatan ini penulis menya-rankan perlunya penyebarluasan hasil-hasil
penelitian dan hasil-hasil seminar melalui berbagai media sehingga bahasa
daerah pun bisa mengikuti arus globalisasi. Sedangkan untuk memelihara
kelestarian bahasa Bugis, perlu adanya komitmen bersama antara pemerintah dan
para pakar bahasa serta seluruh masyarakat daerah Sulawesi Selatan.
KEPUSTAKAAN
Alwi, Hasan dan Dendy Sugono. 2003.
Polotik Bahasa. Rumusan Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Amir, A. Rasdiyanah (Ed.). 1982. Bugis
Makassar dalam Peta Islamisasi. Ujung
Pandang : IAIN Alauddin.
Friberg, Timothy and
Barbara Friberg. 1985. Geografi Dialek
Bahasa Bugis. Ujung Pandang.
Grimes, Charles E. And Barbara D. Grimes. 1987. Languages Of South Sulawesi . Cambera
Pacific Linguistic Series D-No.78.
Kamaruddin, 1992. Kajian tentang Hubungan antara Kedwibahasaan dan
Sikap Bahasa dengan Kesadaran Adaptasi Inovasi pada Masyarakat Desa di Sulawesi
Selatan (Disertasi). Ujung Pandang :
Universitas Hasanuddin.
Palenkahu, R.A., dkk. 1974. Peta
Bahasa Sulawesi Selatan. Ujung Pandang . Lembaga Bahasa Nasional Cabang
III.
Said D.M., M. Ide. 1998. Peningkatan Mutu Penelitian Bahasa Bugis. Ujung Pandang : Balai
Penelitian Bahasa.
Sikki, dkk. 1991. Tata bahasa
Bugis. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Taha Zainuddin, 1996. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Sastra
Bugis-Makassar(Makalah). Ujung Pandang : FPBS
IKIP Ujung Pandang .
Langganan:
Postingan (Atom)