|
PAPPASENG SEBAGAI
FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT BUGIS DI
SULAWESI SELATAN
Oleh:
Syamsudduha
Universitas Negeri Makassar
Abstrak
Salah satu peninggalan sejarah yang menyimpan berbagai aspek kebudayaan
suku bangsa yang memiliki aksara sendiri ialah naskah. Orang Bugis adalah salah
satu suku bangsa yang beruntung memiliki aksara sehingga aspek kebudayaan pada
masa lampau masih dapat tersimpan dalam naskah Lontarak. Salah satu bentuk
naskah Lontarak Bugis yang berhubungan dengan kearifan dikenal dengan
istilah Pappaseng ‘Pesan-pesan;
nasihat; wasiat’
Pappaseng sebagai salah satu
bentuk pernyataan yang mengandung nilai etis dan moral, baik sebagai sistem
sosial, maupun sebagai sistem budaya dalam
kelompok masyarakat Bugis. Dalam pappaseng terkandung ide yang besarbuah pikiran
yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, dan pertimbangan-pertimbangan yang
luhur tentang sifat-sifat yang baik dan buruk.
Pappaseng
berasal dari kata paseng yang dapat berarti pesan(an)
(Said,1977:151); berisi nasihat bahkan merupakan wasiat yang harus diketahui
dan dikenal.. Mattalitti (1986:6) mengemukakan bahwa pappaseng berisikan
petunjuk-petunjuk dan nasihat dari nenek moyang orang Bugis pada zaman dahulu
untuk anak cucunya agar menjalani hidup dengan baik.
Dengan demikian, pappaseng adalah
pesan orang tua-tua dahulu yang berisi petunjuk, nasihat, dan amanat yang harus
dilaksanakan agar dapat menjalani hidup dengan baik.
Dalam pappaseng
terdapat nilai-nilai luhur yang sarat dengan pesan-pesan moral,
dan sampai saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Bugis di Sulawesi
Selatan. Namun, kehidupan
masyarakat yang dinamis,
senantiasa mengalami perubahan
seiring dengan perkembangan jaman. Dengan demikian, nilai-nilai tersebut senantiasa mengalami pergeseran
pula.
A. PENDAHULUAN
Sejak dahulu, Sulawesi Selatan
dikenal memiliki keanekaragaman budaya yang bernilai tinggi. Keanekaragaman
budaya daerah Sulawesi Selatan, antara lain berupa peninggalan sejarah,
tardisi, adat-istiadat, permainan rakyat, kesenian rakyat, dan lain-lain.
Salah satu peninggalan sejarah yang
menyimpan berbagai aspek kebudayaan suku bangsa yang memiliki aksara sendiri
ialah naskah. Orang Bugis adalah salah satu suku bangsa yang beruntung memiliki
aksara sehingga aspek kebudayaan pada masa lampau masih dapat tersimpan dalam
naskah Lontarak. Salah satu bentuk naskah Lontarak Bugis yang berhubungan
dengan kearifan dikenal dengan istilah Pappaseng ‘Pesan-pesan; nasihat; wasiat’
Pappaseng sebagai salah satu
bentuk pernyataan yang mengandung nilai etis dan moral, baik sebagai sistem
sosial, maupun sebagai sistem budaya dalam
kelompok masyarakat Bugis. Dalam pappaseng terkandung ide yang besarbuah pikiran
yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, dan pertimbangan-pertimbangan yang
luhur tentang sifat-sifat yang baik dan buruk.
Di kalangan masyarakat Bugis, pappaseng
yang sangat dikenal antara lain: Pappaseng yang
berasal dari Tomaccaé ri Luwu,
Kajao Laliddong ri Boné, dan Arung Bila ri Soppéng. Ketiga tokoh tersebut dikenal
sebagai orang arif dan bijaksana, pada
umumnya ditemukan dalam Lontarak attoriolong di berbagai daerah Sulawesi
Selatan ( Mattalitti, dkk., 1986:4).
|
Pappaseng
sarat dengan makna dan pesan-pesan moral, karena di dalamnya terkandung
nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman hidup, sebagai pengatur tingkah
laku pergaulan dalam masyarakat. Karena itu, perlu adanya upaya pengkajian
secara serius guna mengungkap kembali nilai-nilai luhur yang terkandung di
dalamnya terutama nilai edukatif yang sangat diperlukan untuk pembinaan
generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
Berdasarkan pengamatan penulis, ada
beberapa penulis terdahulu yang telah berupaya untuk melestarikan pappaseng ini,
baik berupa penulisan kembali naskah pappaseng maupun berupa penelitian
dan berbagai bentuk tulisan lainnya, seperti yang telah dilakukan oleh
Mangemba(1956), Amir, dkk.(1982), Rahim(1985),. Haddade (1986), Mattalitti,
dkk.(1986), Punagi(1989), Ambo Enre(1992), dan Said D.M. (1997). Beberapa
tulisan itulah yang memberikan inspirasi kepada penulis untuk menyajikan
makalah ini untuk mengungkap nilai-nilai luhur
yang terdapat dalam pappaseng yang dianggap masih relevan dengan
kehidupan masyarakat Bugis hingga saat ini.
B. KONSEP
PAPPASENG
Pappaseng berasal dari kata paseng
yang dapat berarti pesan(an) (Said,1977:151); berisi nasihat bahkan
merupakan wasiat yang harus diketahui dan dikenal.
Mattalitti (1986:6) mengemukakan bahwa pappaseng
berisikan petunjuk-petunjuk dan nasihat dari nenek moyang orang Bugis pada
zaman dahulu untuk anak cucunya agar menjalani hidup dengan baik.
Dengan demikian, pappaseng adalah
pesan orang tua-tua dahulu yang berisi petunjuk, nasihat, dan amanat yang harus
dilaksanakan agar dapat menjalani hidup dengan baik.
Pappaseng sebagai sebagai falasafah hidup masyarakat Bugis di
Sulawesi Selatan merupakan suatu bentuk ungkapan yang mencerminkan nilai budaya
yang bermanfaat bagi kehidupan. Di dalam sebuah pappaseng terkandung suatu ide yang besr, buah pikiran yang luhur,
pengal;aman jiwa yang berharga, dan pertimbangan-pertimbangan yang luhur
tentang sifat-sifat yang baik dan buruk. Nilai-nilai luhur dalam sebuah
pappaseng dikemas dengan baik dalam sebuah konsep dengan makna yang bersifat
abstrak sehingga untuk memahami makna itu memerlukan pendekatan-pendekatan
tertentu, karena tidak menutup kemungkinan
pula bahwa makna di balik pappaseng itu bersifat situasional.
C. PAPPASENG SEBAGAI FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT BUGIS
Pappaseng seperti halnya
dengan setiap kearifan atau kebijakan, sedikit atau banyak selalu mengalami
pergeseran nilai sepanjang sejarah yang dilaluinya. Namun, di balik itu niscaya
akan tetap juga ada yang tidak berubah nilainya dan tidak bertentangan dengan
falsafah negara sebagai nilai nasional yang dianut bersama. Karena itu,
dianggap perlu untuk mengkaji dan menampilkan kembali naskah-naskah daerah
khususnya yang ada dalam bentuk pappaseng. Dengan demikian, maka
nilai-nilai budaya daerah khususnya budaya masyarakat Bugis dapat dipertahankan
terutama nilai-nilai budaya yang dianggap masih relevan dengan keadaan dan
pertumbuhan masyarakat sekarang ini maupun masyarakat pada generasi yang akan
datang.
Pappaseng merupakan suatu bentuk
pernyataan dengan bahasa yang mengandung nilai etis dan moral, baik sebagai
suatu sistem sosial maupun sebagai sistem budaya dari suatu kelompok masyarakat
Bugis.
Kata falsafah Bahasa Arab dari kata
falsafat yang berasal dari Bahasa Yunani philosupia yang berarti cinta
kepada pengetahuan (Hanafi,1991:3).
Filsafat dapat pula diartikan sebagai
suatu kebijaksanaan hidup, usaha kebatinan, angan-angan, sikap, metode, dan
teknik (Ali, dkk., 1997). Dengan demikian falsafah hidup dapat diartikan
sebagai suatu pengajaran atau pedoman yang sarat denagn berbagai macam
kebijaksanaan yang penuh kearifan dalam mengatur berbagai aspek kehidupan
masyarakat Bugis.
Beberapa contoh pappaseng
dan nilai-nilai utama yang terkandung di
dalamnya, dan dijadikan sebagai tatanan hidup masyarakat akan dikemukakan
sebagai berikut:
1.
Nilai-nilai yang berkaitan dengan kejujuran
Kejujuran merupakan landasan pokok dalam
menjalin hubungan dengan sesama manusia dan merupakan salah satu faktor yang
sangat mendasar di dalam kehidupan manusia.
Dalam pappaseng diungkapkan
sebagai berikut:
Ajak
nasalaio acca sibawa lempu, naiya riasenng- é acca dekgaga masussa
napogauk. Dek to ada masussa nabali ada madeceng malem-mak- é, mateppek-i ri
padanna tau. Naiya riyasenng- é lempu makessinngi gaukna, patujui
nawa-nawanna, madeceng ampena, nametau ri Dwata-é.
Catatan Tenritau Maddanreng
Majauleng, dari
kumpulan Andi Pabarangi, dikutip
oleh Haddade(1986:14)
Terjemahan:
Janganlah ditinggalkan oleh kecakapan dan kejujuran. Yang dinamakan
cakap, tidak ada yang sulit dilaksanakan, tidak ada juga pembicaraan yang sulit
disambut dengan kata-kata yang baik serta lemah lembut, percaya kepada sesama
manusia. Yang dinamakan jujur; perbuatannya baik, pikirannya benar, tingkah
lakunya baik, dan takut kepada Tuhan.
Dalam pappaseng tersebut
dijelaskan bahwa kecakapan dan kejujuran sebaiknya seiring dan saling
menunjang. Kecakapan tanpa kejujuran ibarat kapal tanpa nakoda, sedangkan kejujuran
tanpa kecakapan ibarat nakoda tanpa kapal.
Terdapat pula ada pappaseng yang
memberikan nasihat untuk senantiasa berlaku jujur, yang dikutip dari percakapan
antara Kajao Laliddong dengan Arumpone.
Kajao Laliddong berpesan:
Ajak muala waramparang narekko taniya waramparammu;
Ajak muala aju ripasanré narekko
tania iko pasanréi;
Ajak muala aju riwetta wali narekko
taniya iko mpettai.
Catatan La Mellong Kajao Laliddo
dari Lontarak Haji Andi Ninong, dikutip oleh Haddade(1986:15)
Terjemahan:
Jangan
mengambil barang-barang yang bukan milikmu;
Jangan mengambil kayu yang
disandarkan jika bukan engkau menyandarkannya;
Jangan
mengambil kayu yang ditetak ujung pangkalnya jika bukan engkau yang menetaknya.
Pappaseng tersebut,
mengungkapkan kebiasaan orang kampung menyan-darkan atau menetak kedua ujung
kayu yang diambilnya di hutan sebagai tanda sudah berpemilik.
Ada tiga konsep dasar untuk meraih
kejujuran yang terdapat dalam pap-paseng. Ketiga konsep dasar itu
adalah; siri (rasa malu); kewaspadaan (sikap hati-hati), dan rasa takut
yang disertai ketelitian. Ketiga konsep tersebut tergambar dalam pappaseng berikut
ini:
Naiya appongenna lempuk-é tellunrupai:
Seuwana,
iyapa nqapoadai kadopi molai;
Maduwanna,
iyapa napogauk-i kadopi lewuriwi ri munripi tau-e Matellunna, tennaenrekie
waramparang ri palolok, tennassakkarenngi ada -
ada maddiolona
.
Terjemahan:
Yang menjadi pengkal kejujuran, ada tiga hal;
Pertama,
dikatakannya bila sanggup, melaksanakan
Kedua,
dilaksanakannya bila sanggup menanggung resiko
Ketiga,
tidak menerima barang sogokan, dan tidak menyangkal kata-kata yang pernah
diucapkan.
Pesan yang disampaikan dalam Pappaseng
tersebut, seorang yang jujur tidak dengan mudah memutuskan sesuatu hal,
tetapi terlebih dahulu dicermati kemudian dilakukan. Demikian pula, orang yang
jujur, tidak menerima barang sogokan, dan tidak mengingkari kata yang pernah diucapkan.
Selanjutnya dalam Pappaenna To Maccaé
ri Luwu juga diungkapkan konsep kejujuran sebagai berikut:
Aruwai sabbinna lempu- é,
iyanaritu:
Napariwawoi ri wawo- é
Napariyawai ri yawa- é
Napariatauwi atawu- é
Naparilaenngi ri lalenng- é
Napari abeoi abeo- é
Naparisaliwenngi ri saliwenng- é
Naparimunriwi ri munri- é
Napariyoloi ri yolo- é
To Maccaé ri Luwu, dari Lontarak Haji Andi Ninong,
yang dikutip oleh Haddade (1986:16)
Terjemahan:
Ciri-ciri
kejujuran ada delapan hal:
Menempatkan di atas yang pantas di
atas
Menempatkan di bawah yang pantas di
bawah
Menempatkan di kanan yang pantasa
di kanan
Menempatkan
di kiri yang pantas di kiri
Menempatkan di dalam yang pantas di
dalam
Menempatkan di luar yang pantas di
luar
Menempatkan di belakang yang pantas
di belakang
Menempatkan di depan yang pantas di
depan
Pappaseng tersebut menyampaikan
pesan bahwa kejujuran itu berarti menilai sesuatu secara objektif, menempatkan
sesuatu menurut posisinya, dan menyelesaikan masalah dengan adil dan bijaksana.
2.
Nilai-nilai yang Berkaitan dengan Etos Kerja
Dalam kaitannya dengan etos kerja, sejak
dahulu orang Bugis dikenal sebagai pelaut ulung. Karena akrabnya dengan air dan
laut, maka sifat-sifat dinamis dari gelombang yang selalu bergerak dan tidak
mau tenang itulah yang mempengaruhi jiwa dan pikirannya (Said, 1997:4).
Haltersebut dilukiskan sebagai sifat dinamis, penuh semangat tanpa kenal putus
asa, dan pantang mundur yang dapat dilihat dalam pappaseng berikut ini:
‘Pura babbara sompekku
Pura gucciri gulingku
Ulebbirenngi tellenngé natowalié”
Dikutip oleh Amir, dkk.,
(1982:56)
Terjemahan:
Layarku sudah berkembang,
Kemudiku sudah terpasang,
Kupilih tenggelam daripada kembali”
Demikianlah sifat yang hebat, pantang mundur
bila ingin mencapai sesuatu.
Namun,
sifat hebat itu dikendalikan pula dalam pappaseng berikut ini:
Narekko moloiko roppo-roppo,
Rewekko mappikkirik
Terjemahan:
Jika anda berjalan dan menjumpai
semak belukar,
Kembalilah berpikir.
Twerdapat pula sebuah elompugi yang sudah
sangat populer di kalangan masyarakat Bugis, sebagai berikut:
Resopa temmanginngi
Namalomo naletei
Pammase dewata
Elong tersebut juga ditemukan dalam
syair elong yang agak berbeda, dalam tulisan Ambo Enre(1992:14) yang dikutip
oleh Said D.M.(1997), namun tidak mengubah makna syair tersebut.Kutipannya
dapat dilihat berikut ini:
Resopa natinulu
Masero naletei
Pammase Dewata
Maksudnya:
Hanya bekerja yang tekun
Sering menjai titian
rahmat Ilahi
3.
Nilai-nilai yang Berkaitan dengan
Kegotongroyongan
Ada pernyataan menarik dari orang Belanda
bahwa orang Bugis-Makassar tidak bolleh menjadi tentara karena tidak disiplin,
semuanya mau jadi komandan. Dan sifat ini terlihat ketika berlayar tidak mau
kalah dan harus selalu menjadi ponggawa (Amir,dkk.1982:54). Namun, di
balik watak yang keras itu, terdapat pula sikap positif bahwa masyarakat
Sulawesi Selatan, meskipun tradisional tetapi paling dinamis danmemiliki
solidaritas dan sifat kegotongroyongan. Hal ini terungkap dalam pappaseng berikut
ini:
Malik siparappeki
Rebba sipatokkokki
Siri menre, tessirik nok
(Amir, dkk.1982: 55)
Maksudnya:
Kalau kita hanyut bersama, hendaknya saling menyelamatkan,
Kalau kita tumbang bersama hendaknya saling mengangkat,
Kalau kita mujur berprestasi menanjak, pantang untuk diturunkan.
Dengan demikian,seandainya dalam
masyarakat Sulawesi Selatan ber-kembang masyarakat oposisi, yakni setiap orang
yang akan naik ditarik kakinya ke bawah, berarti suatu penyimpangan terhadap
isi pappaseng tersebut.
4 . Nilai-nilai
yang berkaitan dengan keteguhan hati
Dalam bahasa Bugis, keteguhan dapat
disebut getteng, yang dapat pula diartikan tegas, tangguh, dan teguh
pada keyakinan dan taat asas. Dalam kaitannya dengan keteguhan ini,
terdapat pappaseng Arung Bila, yang dikutip berikut ini:
”Tellu riyala toddok:
Getteng,
Lempu,
Ada tongeng
Terjemahan:
Ada tiga hal yang dapat dijadikan
patokan, yaitu:
Keteguhan,
Kejujuran
Ucapan benar
Selain itu, ditemukan
pula pappaseng yang senada:
‘Eppak-i wawangenna
paramata mattappa
Seuwwani,
lempu-é
Maduawanna,
ada tongenng- é
Matellunna,
siri- é sibawa getteng
Maeppakna,
akkalenng-é sibawa nyamekkininnawa
Dikutip oleh
Mahmud (1986: 23)
5.
Nilai-nilai yang berkaiutan dengan keberanian
Nilai-nilai yang berkaitan
dewngan keberanian digambarkan dalam pappaseng Arung Bila sebagai
berikut:
“Akguruiiwi
gaukna to warani-é, enrenng-é ampéna, apak iya gaukna to warani-é, seppuloi
wawangenna seuwana jana. Jajini asera decenna. Iyanaro nariyaseng maja seddi-é
nasabak matei. Naé topellorenng-é maté muto.
Naiya
decenna to warani é;
Seuwani,
tettakkini napolei ada maja
Maduawanna,
tennajampangiwi kareba-é
Matellunna,
temmatau-i ripalao ri yolo
Maeppana,
temmatau-i ri paonro ri munri
Malimanna,
temmatau-i mita bali
Maennenna,
ri asirik-i
Mapitunna,
riala-i passappo ri wanuwa-é
Maruwana,
Matinuluk-i pajaji passurong
Maserana,
rialai pakdekbak tomawatang
Dikutip
oleh Mattaliti (1986:24).
Dalam pappaseng tersebut
diungkapkan bagaimana sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang pemberani, dan itu
sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan. Keberanian harus dimiliki oleh
seorang pemimpin.
[
6.
Nialai-nilai
yang berkaitan dengan Kecendekiaan
Kecendekiaan dapat diuraikan asal
katanya, yakni dari kata cendekia yang berarti: tajam pikiran; lekas mengerti, cerdas, pandai. Dalam hal ini kecendekiaan dapat diartikan sebagai
kepandaian menggunakan kesempatan, kecepatan mengeryi situasui dan mencari
jalan keluar (Depdikbud, 1997). Nilai-nilai yang berkaitan dengan kecendekiaan
dapat digambarkan dalam pappaseng berikut ini:
IV. SEKILAS
TENTANG MASYARAKAT BUGIS DI SULAWESI SELATAN
Masyarakat di Sulawesi Selatan
didiami oleh suku bangsa yang terdiri dari etnis Bugis, Makassar, Mandar, dan
Toraja. Namun, sejak etnis Mandar terpisah setelah terbentuknya Propinsi
Sulawesi Barat.
Dengan demikian, di wilayah
Sulawesi Selatan tinggallah tiga etnis, masing-masing; Bugis, Makassar, dan
Toraja. Ketiga etnis ini, mempunyai ciri-ciri persamaan dalam srtuktur sosial.
Namun, sistim sosial dan budaya dari setiap etnis menampakkan perbedaan, bahkan
perbedaan prinsipil disebabkan oleh adanya perbedaan sejarah perkembangan,
perbedaan lingkungan hidup, dan perbedaan geografis.(Amir, 1982: 72). Namun,
perbedaan itu lebih merupakan hikmah dan kekayaan budaya yang akan memotivasi
kita untuk lebih giat lagi mengkaji tentang budaya masing-masing etnis
tersebut.
Makalah ini lebih berfokus pada
istilah pappaseng to riolo yang bersentuhan langsung dengan kehidupan
dan perilaku masyarakat Bugis.
Masyarakat Bugis, terdapat dua
golongan, yakni; pertama, masyarakat yang sampai saat ini masih tetap
memelihara dan memegang teguh ada-ada pappaseng to riolo, dan mereka itu
adalah orang-orang terhormat dan
terpandang di mata masyarakat. Sebaiknya, mereka yang tidak memelihara dan menjaga atau
bahkan melanggar ada-ada pappaseng to riolo akan memperoleh sanksi sosial, namanya tercemar, dan kedudukan
sosialnya menjadi rendah sehingga sukar untuk meraih kembali nama baiknya.
V.
PENUTUP
Dalam pappaseng terdapat nilai-nilai luhur yang
sarat dengan pesan-pesan moral, dan sampai saat ini masih dipegang teguh oleh
masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Namun, kehidupan masyarakat
yang dinamis, senantiasa
mengalami perubahan seiring dengan perkembangan jaman. Dengan
demikian, nilai-nilai tersebut
senantiasa mengalami pergeseran pula.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Lukman,
dkk., 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Amir, Andi Rasdiana, dkk. 1982. Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi.
Ujung Pandang: IAIN Alauddin.
Depdikbud, 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Haddade, Muh.Naim. 1986. Ungkapan, Pribahasa, dan Paseng: Sastra Bugis.
Jakarta : Depdikbud, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Hanafie, Ahmad,
1991. Pengantar Filasafah. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Mattalitti, M. Arif, dkk. 1986. Pappaseng To Riolotak. Ujung
Pandang: Balai Penelitian Bahasa.
Punagi, Andi Abu Bakar, 1989. Pappaseng (Wasiat Orang Dahulu). Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulsel.
Said DM, M.Ide, 1977. Kamus Bahasa Bugis-Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Said, D.M., 1997. Konsep Etos Kerja Menurut Sumber Bahasa, Sastra, dan
Budaya Bugis. Makassar. Ujung Pandang IKIP.
Tulisan yang sangat bermanfaat sebagai bahan masukan terutama bagi generasi muda dalam menjalani aktivitas kehidupan di era modernisasi danm globalisasi sekarang ini
BalasHapustujuan dari ada pappaseng?
BalasHapusPappaseng tentang nilai kecendekiaannya mana?
BalasHapus