Sabtu, 19 Oktober 2013

PAPPASENG SEBAGAI FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT BUGIS DI SULAWESI SELATAN


 
PAPPASENG SEBAGAI  FALSAFAH  HIDUP MASYARAKAT  BUGIS DI  SULAWESI SELATAN

Oleh: 

Syamsudduha

 Universitas Negeri Makassar

Abstrak 

         Salah satu peninggalan sejarah yang menyimpan berbagai aspek kebudayaan suku bangsa yang memiliki aksara sendiri ialah naskah. Orang Bugis adalah salah satu suku bangsa yang beruntung memiliki aksara sehingga aspek kebudayaan pada masa lampau masih dapat tersimpan dalam naskah Lontarak. Salah satu bentuk naskah Lontarak Bugis yang berhubungan dengan kearifan dikenal dengan istilah Pappaseng  ‘Pesan-pesan; nasihat; wasiat’
        Pappaseng sebagai salah satu bentuk pernyataan yang mengandung nilai etis dan moral, baik sebagai sistem sosial, maupun sebagai sistem budaya dalam  kelompok masyarakat Bugis. Dalam pappaseng  terkandung ide yang besarbuah pikiran yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, dan pertimbangan-pertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat yang baik dan buruk. 
       Pappaseng berasal dari kata paseng yang dapat berarti pesan(an) (Said,1977:151); berisi nasihat bahkan merupakan wasiat yang harus diketahui dan dikenal.. Mattalitti (1986:6) mengemukakan bahwa pappaseng berisikan petunjuk-petunjuk dan nasihat dari nenek moyang orang Bugis pada zaman dahulu untuk anak cucunya agar menjalani hidup dengan baik.
       Dengan demikian, pappaseng adalah pesan orang tua-tua dahulu yang berisi petunjuk, nasihat, dan amanat yang harus dilaksanakan agar dapat menjalani hidup dengan baik.
Dalam pappaseng terdapat nilai-nilai luhur yang sarat dengan pesan-pesan moral, dan sampai saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Namun, kehidupan  masyarakat  yang  dinamis,   senantiasa  mengalami perubahan seiring dengan perkembangan jaman. Dengan demikian,  nilai-nilai tersebut senantiasa mengalami pergeseran pula.      
         
         

A. PENDAHULUAN
           
       Sejak dahulu, Sulawesi Selatan dikenal memiliki keanekaragaman budaya yang bernilai tinggi. Keanekaragaman budaya daerah Sulawesi Selatan, antara lain berupa peninggalan sejarah, tardisi, adat-istiadat, permainan rakyat, kesenian rakyat, dan lain-lain.
         Salah satu peninggalan sejarah yang menyimpan berbagai aspek kebudayaan suku bangsa yang memiliki aksara sendiri ialah naskah. Orang Bugis adalah salah satu suku bangsa yang beruntung memiliki aksara sehingga aspek kebudayaan pada masa lampau masih dapat tersimpan dalam naskah Lontarak. Salah satu bentuk naskah Lontarak Bugis yang berhubungan dengan kearifan dikenal dengan istilah Pappaseng  ‘Pesan-pesan; nasihat; wasiat’
        Pappaseng sebagai salah satu bentuk pernyataan yang mengandung nilai etis dan moral, baik sebagai sistem sosial, maupun sebagai sistem budaya dalam  kelompok masyarakat Bugis. Dalam pappaseng  terkandung ide yang besarbuah pikiran yang luhur, pengalaman jiwa yang berharga, dan pertimbangan-pertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat yang baik dan buruk. 
        Di kalangan masyarakat Bugis, pappaseng yang sangat dikenal antara lain: Pappaseng yang  berasal dari Tomaccaé  ri Luwu, Kajao Laliddong ri Boné, dan Arung Bila  ri Soppéng. Ketiga tokoh tersebut dikenal sebagai orang arif  dan bijaksana, pada umumnya ditemukan dalam Lontarak attoriolong di berbagai daerah Sulawesi Selatan ( Mattalitti, dkk., 1986:4).
1
 
         Pappaseng sarat dengan makna dan pesan-pesan moral, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pedoman hidup, sebagai pengatur tingkah laku pergaulan dalam masyarakat. Karena itu, perlu adanya upaya pengkajian secara serius guna mengungkap kembali nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya terutama nilai edukatif yang sangat diperlukan untuk pembinaan generasi sekarang dan generasi yang akan datang.
        Berdasarkan pengamatan penulis, ada beberapa penulis terdahulu yang telah berupaya untuk melestarikan pappaseng ini, baik berupa penulisan kembali naskah pappaseng maupun berupa penelitian dan berbagai bentuk tulisan lainnya, seperti yang telah dilakukan oleh Mangemba(1956), Amir, dkk.(1982), Rahim(1985),. Haddade (1986), Mattalitti, dkk.(1986), Punagi(1989), Ambo Enre(1992), dan Said D.M. (1997). Beberapa tulisan itulah yang memberikan inspirasi kepada penulis untuk menyajikan makalah ini untuk mengungkap nilai-nilai luhur  yang terdapat dalam pappaseng yang dianggap masih relevan dengan kehidupan masyarakat Bugis hingga saat ini  
   
     

B.     KONSEP PAPPASENG

      Pappaseng berasal dari kata paseng yang dapat berarti pesan(an) (Said,1977:151); berisi nasihat bahkan merupakan wasiat yang harus diketahui dan dikenal.
      Mattalitti (1986:6) mengemukakan bahwa pappaseng berisikan petunjuk-petunjuk dan nasihat dari nenek moyang orang Bugis pada zaman dahulu untuk anak cucunya agar menjalani hidup dengan baik.
       Dengan demikian, pappaseng adalah pesan orang tua-tua dahulu yang berisi petunjuk, nasihat, dan amanat yang harus dilaksanakan agar dapat menjalani hidup dengan baik.
        Pappaseng sebagai  sebagai falasafah hidup masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan merupakan suatu bentuk ungkapan yang mencerminkan nilai budaya yang bermanfaat bagi kehidupan. Di dalam sebuah pappaseng terkandung suatu ide yang besr, buah pikiran yang luhur, pengal;aman jiwa yang berharga, dan pertimbangan-pertimbangan yang luhur tentang sifat-sifat yang baik dan buruk. Nilai-nilai luhur dalam sebuah pappaseng dikemas dengan baik dalam sebuah konsep dengan makna yang bersifat abstrak sehingga untuk memahami makna itu memerlukan pendekatan-pendekatan tertentu, karena tidak menutup kemungkinan  pula bahwa makna di balik pappaseng itu bersifat situasional.   
      

C.       PAPPASENG SEBAGAI FALSAFAH HIDUP MASYARAKAT BUGIS

         Pappaseng seperti halnya dengan setiap kearifan atau kebijakan, sedikit atau banyak selalu mengalami pergeseran nilai sepanjang sejarah yang dilaluinya. Namun, di balik itu niscaya akan tetap juga ada yang tidak berubah nilainya dan tidak bertentangan dengan falsafah negara sebagai nilai nasional yang dianut bersama. Karena itu, dianggap perlu untuk mengkaji dan menampilkan kembali naskah-naskah daerah khususnya yang ada dalam bentuk pappaseng. Dengan demikian, maka nilai-nilai budaya daerah khususnya budaya masyarakat Bugis dapat dipertahankan terutama nilai-nilai budaya yang dianggap masih relevan dengan keadaan dan pertumbuhan masyarakat sekarang ini maupun masyarakat pada generasi yang akan datang.
         Pappaseng merupakan suatu bentuk pernyataan dengan bahasa yang mengandung nilai etis dan moral, baik sebagai suatu sistem sosial maupun sebagai sistem budaya dari suatu kelompok masyarakat Bugis. 
                                                 
          Kata falsafah Bahasa Arab dari kata falsafat yang berasal dari Bahasa Yunani philosupia yang berarti cinta kepada pengetahuan (Hanafi,1991:3).
          Filsafat dapat pula diartikan sebagai suatu kebijaksanaan hidup, usaha kebatinan, angan-angan, sikap, metode, dan teknik (Ali, dkk., 1997). Dengan demikian falsafah hidup dapat diartikan sebagai suatu pengajaran atau pedoman yang sarat denagn berbagai macam kebijaksanaan yang penuh kearifan dalam mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat Bugis.
         Beberapa contoh pappaseng dan  nilai-nilai utama yang terkandung di dalamnya, dan dijadikan sebagai tatanan hidup masyarakat akan dikemukakan sebagai berikut:

1.      Nilai-nilai yang berkaitan dengan kejujuran
       Kejujuran merupakan landasan pokok dalam menjalin hubungan dengan sesama manusia dan merupakan salah satu faktor yang sangat mendasar di dalam kehidupan manusia.
       Dalam pappaseng diungkapkan sebagai berikut:
             Ajak nasalaio acca sibawa lempu, naiya riasenng- é acca dekgaga masussa napogauk. Dek to ada masussa nabali ada madeceng malem-mak- é, mateppek-i ri padanna tau. Naiya riyasenng- é lempu makessinngi gaukna, patujui nawa-nawanna, madeceng ampena, nametau ri Dwata-é.

             Catatan Tenritau Maddanreng Majauleng, dari kumpulan Andi Pabarangi,      dikutip oleh Haddade(1986:14)


Terjemahan:
             Janganlah ditinggalkan oleh kecakapan dan kejujuran. Yang dinamakan cakap, tidak ada yang sulit dilaksanakan, tidak ada juga pembicaraan yang sulit disambut dengan kata-kata yang baik serta lemah lembut, percaya kepada sesama manusia. Yang dinamakan jujur; perbuatannya baik, pikirannya benar, tingkah lakunya baik, dan takut kepada Tuhan.

       Dalam pappaseng tersebut dijelaskan bahwa kecakapan dan kejujuran sebaiknya seiring dan saling menunjang. Kecakapan tanpa kejujuran ibarat kapal tanpa nakoda, sedangkan kejujuran tanpa kecakapan ibarat nakoda tanpa kapal. 
       Terdapat pula ada pappaseng yang memberikan nasihat untuk senantiasa berlaku jujur, yang dikutip dari percakapan antara Kajao Laliddong  dengan Arumpone.
         Kajao Laliddong berpesan:
             Ajak muala waramparang  narekko taniya waramparammu;
             Ajak muala aju ripasanré narekko tania iko pasanréi;
             Ajak muala aju riwetta wali narekko taniya iko mpettai.   
                Catatan La Mellong Kajao Laliddo dari Lontarak Haji Andi Ninong, dikutip oleh Haddade(1986:15)
               
Terjemahan:
                Jangan mengambil barang-barang yang bukan milikmu;
                Jangan mengambil kayu yang disandarkan jika bukan engkau menyandarkannya;
                Jangan mengambil kayu yang ditetak ujung pangkalnya jika bukan engkau yang menetaknya.               
       
         Pappaseng tersebut, mengungkapkan kebiasaan orang kampung menyan-darkan atau menetak kedua ujung kayu yang diambilnya di hutan sebagai tanda sudah berpemilik.    
         Ada tiga konsep dasar untuk meraih kejujuran yang terdapat dalam pap-paseng. Ketiga konsep dasar itu adalah; siri (rasa malu); kewaspadaan (sikap hati-hati), dan rasa takut yang disertai ketelitian. Ketiga konsep tersebut tergambar dalam pappaseng berikut ini:
        Naiya appongenna lempuk-é tellunrupai:
        Seuwana, iyapa nqapoadai kadopi molai;
      Maduwanna, iyapa napogauk-i kadopi lewuriwi ri munripi tau-e         Matellunna, tennaenrekie waramparang ri palolok, tennassakkarenngi ada -
         ada maddiolona
.
Terjemahan:
         Yang menjadi pengkal kejujuran, ada tiga hal;
         Pertama, dikatakannya bila sanggup, melaksanakan
         Kedua, dilaksanakannya bila sanggup menanggung resiko
         Ketiga, tidak menerima barang sogokan, dan tidak menyangkal kata-kata yang pernah diucapkan.
   
        Pesan yang disampaikan dalam Pappaseng tersebut, seorang yang jujur tidak dengan mudah memutuskan sesuatu hal, tetapi terlebih dahulu dicermati kemudian dilakukan. Demikian pula, orang yang jujur, tidak menerima barang sogokan, dan tidak mengingkari kata yang pernah diucapkan.
       Selanjutnya dalam Pappaenna To Maccaé ri Luwu juga diungkapkan konsep kejujuran sebagai berikut:
Aruwai sabbinna lempu- é, iyanaritu:
         Napariwawoi ri wawo- é
         Napariyawai ri yawa- é
         Napariatauwi atawu- é
         Naparilaenngi ri lalenng- é       
         Napari abeoi abeo- é
         Naparisaliwenngi ri saliwenng- é
         Naparimunriwi ri munri- é
         Napariyoloi ri yolo- é
To Maccaé ri Luwu, dari Lontarak Haji Andi Ninong, yang dikutip oleh Haddade  (1986:16)                                                     
Terjemahan:
Ciri-ciri kejujuran ada delapan hal:
             Menempatkan di atas yang pantas di atas
             Menempatkan di bawah yang pantas di bawah
             Menempatkan di kanan yang pantasa di kanan
             Menempatkan di kiri yang pantas di kiri
             Menempatkan di dalam yang pantas di dalam
             Menempatkan di luar yang pantas di luar
             Menempatkan di belakang yang pantas di belakang
             Menempatkan di depan yang pantas di depan
         Pappaseng tersebut menyampaikan pesan bahwa kejujuran itu berarti menilai sesuatu secara objektif, menempatkan sesuatu menurut posisinya, dan menyelesaikan masalah dengan adil dan bijaksana.

2.      Nilai-nilai yang  Berkaitan dengan Etos Kerja
       Dalam kaitannya dengan etos kerja, sejak dahulu orang Bugis dikenal sebagai pelaut ulung. Karena akrabnya dengan air dan laut, maka sifat-sifat dinamis dari gelombang yang selalu bergerak dan tidak mau tenang itulah yang mempengaruhi jiwa dan pikirannya (Said, 1997:4). Haltersebut dilukiskan sebagai sifat dinamis, penuh semangat tanpa kenal putus asa, dan pantang mundur yang dapat dilihat dalam pappaseng  berikut ini:
      ‘Pura babbara sompekku
      Pura gucciri gulingku
Ulebbirenngi tellenngé natowalié”
            Dikutip oleh Amir, dkk., (1982:56)
Terjemahan:
         Layarku sudah berkembang,
         Kemudiku sudah terpasang,
         Kupilih tenggelam daripada kembali”
          Demikianlah sifat yang hebat, pantang mundur bila ingin mencapai sesuatu.
Namun, sifat hebat itu dikendalikan pula dalam pappaseng berikut ini:
         Narekko moloiko roppo-roppo,
          Rewekko mappikkirik   
Terjemahan:
             Jika anda berjalan dan menjumpai semak belukar,
             Kembalilah berpikir.
      Twerdapat pula sebuah elompugi yang sudah sangat populer di kalangan masyarakat Bugis, sebagai berikut:
             Resopa temmanginngi
             Namalomo naletei
             Pammase dewata
             Elong tersebut juga ditemukan dalam syair elong yang agak berbeda, dalam tulisan Ambo Enre(1992:14) yang dikutip oleh Said D.M.(1997), namun tidak mengubah makna syair tersebut.Kutipannya dapat dilihat berikut ini:
             Resopa natinulu
             Masero naletei
             Pammase Dewata
Maksudnya: Hanya bekerja yang tekun
                      Sering menjai titian
                      rahmat Ilahi

3.       Nilai-nilai yang Berkaitan dengan Kegotongroyongan
      Ada pernyataan menarik dari orang Belanda bahwa orang Bugis-Makassar tidak bolleh menjadi tentara karena tidak disiplin, semuanya mau jadi komandan. Dan sifat ini terlihat ketika berlayar tidak mau kalah dan harus selalu menjadi ponggawa (Amir,dkk.1982:54). Namun, di balik watak yang keras itu, terdapat pula sikap positif bahwa masyarakat Sulawesi Selatan, meskipun tradisional tetapi paling dinamis danmemiliki solidaritas dan sifat kegotongroyongan. Hal ini terungkap dalam pappaseng berikut ini:
                        Malik siparappeki
                        Rebba sipatokkokki
                        Siri menre, tessirik nok
                        (Amir, dkk.1982: 55)
 Maksudnya:
Kalau kita hanyut bersama, hendaknya saling menyelamatkan,
Kalau kita tumbang bersama hendaknya saling mengangkat,
Kalau kita mujur berprestasi menanjak, pantang untuk diturunkan.
        Dengan demikian,seandainya dalam masyarakat Sulawesi Selatan ber-kembang masyarakat oposisi, yakni setiap orang yang akan naik ditarik kakinya ke bawah, berarti suatu penyimpangan terhadap isi pappaseng tersebut.

4 . Nilai-nilai yang berkaitan dengan keteguhan hati
      Dalam bahasa Bugis, keteguhan dapat disebut getteng, yang dapat pula diartikan tegas, tangguh, dan teguh pada keyakinan dan taat asas. Dalam kaitannya dengan keteguhan ini, terdapat pappaseng Arung Bila, yang dikutip berikut ini:
            ”Tellu riyala toddok:
            Getteng,
            Lempu,
            Ada tongeng
Terjemahan:
            Ada tiga hal yang dapat dijadikan patokan, yaitu:
            Keteguhan,
                  Kejujuran
      Ucapan benar
      Selain itu, ditemukan pula pappaseng  yang senada:
     ‘Eppak-i wawangenna paramata mattappa
                  Seuwwani, lempu-é
                  Maduawanna, ada tongenng- é
                  Matellunna, siri- é sibawa getteng
                  Maeppakna, akkalenng-é sibawa nyamekkininnawa
            Dikutip oleh Mahmud (1986: 23)

5.       Nilai-nilai yang berkaiutan dengan keberanian
       Nilai-nilai yang berkaitan dewngan keberanian digambarkan dalam pappaseng Arung Bila sebagai berikut:
             “Akguruiiwi gaukna to warani-é, enrenng-é ampéna, apak iya gaukna to warani-é, seppuloi wawangenna seuwana jana. Jajini asera decenna. Iyanaro nariyaseng maja seddi-é nasabak matei. Naé topellorenng-é maté muto.
             Naiya decenna to warani é;
             Seuwani, tettakkini napolei ada maja
             Maduawanna, tennajampangiwi kareba-é
             Matellunna, temmatau-i ripalao ri yolo
             Maeppana, temmatau-i ri paonro ri munri
             Malimanna, temmatau-i mita bali
             Maennenna, ri asirik-i
             Mapitunna, riala-i passappo ri wanuwa-é
             Maruwana, Matinuluk-i pajaji passurong
             Maserana, rialai pakdekbak tomawatang
             Dikutip oleh Mattaliti (1986:24).      
        
           Dalam pappaseng tersebut diungkapkan bagaimana sifat-sifat yang dimiliki oleh seorang pemberani, dan itu sebagai pedoman dalam menjalankan pemerintahan. Keberanian harus dimiliki oleh seorang pemimpin.
[
6.        Nialai-nilai yang berkaitan dengan Kecendekiaan
          Kecendekiaan dapat diuraikan asal katanya, yakni dari kata cendekia yang berarti: tajam pikiran; lekas mengerti, cerdas, pandai. Dalam hal ini kecendekiaan dapat diartikan sebagai kepandaian menggunakan kesempatan, kecepatan mengeryi situasui dan mencari jalan keluar (Depdikbud, 1997). Nilai-nilai yang berkaitan dengan kecendekiaan dapat digambarkan dalam pappaseng berikut ini:



IV.    SEKILAS TENTANG MASYARAKAT BUGIS DI SULAWESI SELATAN
                                                  
             Masyarakat di Sulawesi Selatan didiami oleh suku bangsa yang terdiri dari etnis Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Namun, sejak etnis Mandar terpisah setelah terbentuknya Propinsi Sulawesi Barat.

             Dengan demikian, di wilayah Sulawesi Selatan tinggallah tiga etnis, masing-masing; Bugis, Makassar, dan Toraja. Ketiga etnis ini, mempunyai ciri-ciri persamaan dalam srtuktur sosial. Namun, sistim sosial dan budaya dari setiap etnis menampakkan perbedaan, bahkan perbedaan prinsipil disebabkan oleh adanya perbedaan sejarah perkembangan, perbedaan lingkungan hidup, dan perbedaan geografis.(Amir, 1982: 72). Namun, perbedaan itu lebih merupakan hikmah dan kekayaan budaya yang akan memotivasi kita untuk lebih giat lagi mengkaji tentang budaya masing-masing etnis tersebut.
             Makalah ini lebih berfokus pada istilah pappaseng to riolo yang bersentuhan langsung dengan kehidupan dan perilaku masyarakat Bugis.
             Masyarakat Bugis, terdapat dua golongan, yakni; pertama, masyarakat yang sampai saat ini masih tetap memelihara dan memegang teguh ada-ada pappaseng to riolo, dan mereka itu adalah orang-orang terhormat dan  terpandang di mata masyarakat. Sebaiknya,  mereka yang tidak memelihara dan menjaga atau bahkan melanggar ada-ada pappaseng to riolo akan memperoleh sanksi  sosial, namanya tercemar, dan kedudukan sosialnya menjadi rendah sehingga sukar untuk meraih kembali nama baiknya.

V.     PENUTUP
Dalam pappaseng terdapat nilai-nilai luhur yang sarat dengan pesan-pesan moral, dan sampai saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Namun, kehidupan  masyarakat  yang  dinamis,   senantiasa  mengalami perubahan seiring dengan perkembangan jaman. Dengan demikian,  nilai-nilai tersebut senantiasa mengalami pergeseran pula.      






 DAFTAR PUSTAKA

Ali, Lukman, dkk., 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Amir, Andi Rasdiana, dkk. 1982. Bugis-Makassar dalam Peta Islamisasi. Ujung Pandang: IAIN Alauddin.

Depdikbud, 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Haddade, Muh.Naim. 1986. Ungkapan, Pribahasa, dan Paseng: Sastra Bugis. Jakarta : Depdikbud, Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Hanafie, Ahmad, 1991. Pengantar Filasafah. Jakarta: PT Bulan Bintang.
Mattalitti, M. Arif, dkk. 1986. Pappaseng To Riolotak. Ujung Pandang: Balai Penelitian Bahasa.

Punagi, Andi Abu Bakar, 1989. Pappaseng (Wasiat Orang Dahulu). Ujung  Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulsel.

Said DM, M.Ide, 1977. Kamus Bahasa Bugis-Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Said, D.M., 1997. Konsep Etos Kerja Menurut Sumber Bahasa, Sastra, dan Budaya Bugis. Makassar. Ujung Pandang IKIP.

                         
 
          
                                      
















 

3 komentar:

  1. Tulisan yang sangat bermanfaat sebagai bahan masukan terutama bagi generasi muda dalam menjalani aktivitas kehidupan di era modernisasi danm globalisasi sekarang ini

    BalasHapus
  2. Pappaseng tentang nilai kecendekiaannya mana?

    BalasHapus