PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN BAHASA BUGIS DI SULAWESI
SELATAN:
Beberapa
Pokok Pikiran
Oleh: Syamsudduha
Universitas Negeri Makassar
I. Pendahuluan
Bahasa Bugis sampai saat ini masih
tetap merupakan alat komunikasi sehari-hari yang penting di Sulawesi Selatan.
Bagi masyarakat Bugis, bahasa Bugis merupakan sarana pendukung kebudayaan,
lambang kebanggaan daerah, dan lambang identitas daerah. Wilayah pemakaian
bahasa Bugis meliputi seluruh Provinsi Sulawesi Selatan. Selain itu, bahasa
Bugis juga dipakai sebagai bahasa komunikasi di antara para perantau Bugis di
beberapa daerah, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Irian
Jaya, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Jambi, dan sepanjang pantai di Provinsi Riau, dan Sumatra bahkan di luar
wilayah Indonesia, misalnya di Johor, dan Tawao Malaysia (Abas, 1975).
Menurut filasafat Sulapak Eppak-É, manusia terjadi dari api, angin, air, dan tanah.
Keempat unsur tersebut menggambarkan sifat-sifat mansia. Api meng-gambarkan sifat yang penuh semangat tanpa kenal putus asa,
dan pantang mundur. Angin,
menggambarkan sifat yang senantiasa mengenakkan, namun jika mengamuk dapat memusnahkan
segalanya. Air, menggambarkan sifat
yang selalu membungkuk-bungkuk (merendah) tetapi kadang-kadang palsu, dan tanah menggambarkan sifat yang selalu
sabar, jujur, menerima, dan menyesuaikan diri.
Lontarak Sulapak Eppak-É menggambarkan bahwa jika keempat sifat itu
bercampur, maka harus diusahakan agar yang menonjol adalah sifat tanahnya.
Namun demikian, dalam masyarakat Bugis sangat dominan sifat apinya. Sifat api memang baik karena penuh semangat tanpa kenal putus asa (pantang
mundur). Hal ini biasa dilukiskan sebagai semangat pelaut Bugis dengan tekad pantang mundur dalam syair Bugis:
” Pura babbara sompekku
Pura gucciri gulingku
Ulebbirenngi tellenngé na towalié”
Artinya:
“Layarku sudah terkembang
Kemudiku sudah
terpasang
Kupilih
tenggelam daripada kembali”
Namun, lontarak juga mengendalikan semangat hebat tersebut, dalam
ungkapan:
”Narekko moloiko roppo-roppo
Réwekko mappikkirik”
Artinya:
” Jika anda berjalan dan menjumpai
semak belukar,
Kembalilah
berpikir.”
Besarnya
nilai-nilai budaya yang diemban oleh bahasa Bugis tersebut sebagaimana yang
tersirat dalam huruf-huruf lontarak, maka sangat disayangkan jika gejala kemunduran
bahasa daerah berlangsung terus-menerus. Oleh karena itu, perlu adanya upaya
nyata dalam pembinaan dan pengembangan
bahasa Bugis di Sulawesi Selatan.
II. Bahasa Bugis dan Dialek-dialeknya
Secara geografis, daerah Bugis terletak
di daerah semenanjung barat daya Sulawesi yang dalam pengertian menyeluruh
meliputi daerah kabupaten Luwu, Wajo, Soppeng, Bone, Sinjai, Bulukumba (Kecuali
Kajang dan Bira), sebagian Maros dan Pangkep, Barru, Parepare, Pinrang, dan Pangkajenne
Sidenreng. Selain itu, sejak beberapa abad yang lalu, orang Bugis telah banyak bermukin di berbagai daerah
yang tersebar di kepulauan nusantara. Daerah pemukiman orang Bugis di luar
Sulawesi, antara lain; pesisir timur Kalimantan yang berpusat di Samarinda,
pesisir barat Kalimantan yaitu di sekitar Sungai Kakap, Sambas, dan Pontianak,
di kepulauan Batam, Ende Flores, dan pulau-pulau di sebelah timur Pulau Lombok.
Sejak permulaan abad kedua puluh orang Bugis telah banyak pula yang bermukim di
pesisir timur Sumatra, yakni di Indragiri, Riau, dan Jambi (Sikki, dkk. 1991).
Dengan demikian, tidak mengeherankan jika variasi dialek terdapat dalam bahasa
Bugis.
Studi tentang dialek bahasa Bugis telah
dilakukan oleh Palenkahu yang menghasilkan Peta Sulawesi Selatan (1974),
Timothy dan Barbara Friberg yang menghasilkan Geografi Dialek Bahasa Bugis.
Berdasarkan peta bahasa Sulawesi Selatan,
dialek bahasa Bugis meliputi; dialek Luwu, Waji, Palakka, Ennak, Soppeng,
Sidenreng, Parepare, Sawitto, Tellumpanuwa-É (Campalagian), dan Ugi Ri awa.
Sedangkan Geografi Dialek Bahasa Bugis (1985), menggambarkan dialek-dialek
bahasa Bugis meliputi; dialek Luwu, Wajo, Bone, Sinjai, Soppeng, Sidrap,
Sawitto, Pasangkayu, Barru, Pangkep, dan Camba.
Selain itu, dialek bahasa Bugis juga
digambarkan oleh Charles E. Grimes and Grimes and Barbara D. Grimes (1987) yang
ditulis dalam buku `Language Of South Sulawesi.´
III.
Beberapa Pokok Pikiran
A.
Pemakaian
Bahasa Bugis di Sulawesi Selatan
Suvai tentang pola pemakaian bahasa Bugis
di Sulawesi Selatan telah
dilakukan oleh Kamaruddin (1992). Hasil survai menunjukkan bahwa 98 persen di
antara responden yang mengatakan bahwa anak di desanya mempelajari bahasa
daerah sebagai bahasa pertama dan hanya 2 persen yang menyatakan bahasa
Indonesia yang pertama dipelajari oleh anak-anak.
Hasil survai menunjukkan pula bahwa 60,5%
di antara responden yang menyatakan bahwa anak muda masih menggunakan bahasa
daerahnya dengan baik, hanya 9% di antara responden menyatakan bahwa anak muda
menggunakan bahasa daerahnya dengan kurang baik. Hal ini menunjukkan bahwa
bahasa daerah di kalangan penduduk di Sulawesi Selatan masih sangat kuat. Hal
ini pun didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Taha (1996) yang
menunjukkan bahasa daerah di kalangan penduduk di Sulawesi Selatan masih sangat
kuat.
B. Upaya Pembinaan Bahasa Bugis
Pembinaan bahasa adalah suatu upaya
untuk meningkatkan mutu pema-kaian bahasa. Upaya-upaya pembinaan dapat
dilakukan melalui upaya peningkatan sikap, pengetahuan, dan keterampilan
berbahasa yang dapat dilakukan antara lain, melalui pengajaran dan
pemasyarakatan (Alwi, 2003: 9)
Pembinaan bahasa daerah Bugis
di Sulawesi Selatan dilakukan dalam berbagai bentuk kegiatan, antara lain:
1) Pengajaran Bahasa Bugis sebagai Muatan
Lokal
Pengajaran bahasa Bugis di Sulawesi Selatan telah
dilakukan di sekolah-sekolah mulai dari tingkat Sekolah Dasar sampai pada
tingkat Sekolah Menengah. Bahkan, di Perguruan Tinggi khususnya pada Jurusan
Bahasa telah diajarkan sebagai mata
kuliah wajib dalam paket-paket pilihan. Dalam bidang pengajaran, telah dilakukan
penyusunan rancangan kurikulum muatan lokal untuk Sekolah Dasar dan Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama, dan pengadaan bahan ajar.
2)
Pemasyarakatan
Bahasa Bugis
Dalam upaya pembinaan bahasa Bugis di
Sulawesi Selatan, telah dilakukan beberapa langkah strategis, antara lain; (1) penerbitan
berbahasa daerah Bugis, (2) pembacaan
berita dalam bahasa Bugis, baik melalui TVRI maupun RRI, (3) siaran radio
swasta dengan menggunakan pengantar bahasa Bugis, dan (4) penulisan nama-nama
jalan dengan menggunakan huruf antarak. Namun, yang diharapkan bukan hanya
sebatas hal demikian, tetapi kalau perlu setiap lembaga atau instansi,
nama-nama hotel, restoran, dan tempat-tempat strategis lainnya, sebaiknya
mengganti nama-nama asing dengan nama-nama daerah yang dianggap cocok dan
sesuai dengan jati diri masyarakat Sulawesi Selatan sehingga ciri kedaerahan
dan jati diri masyarakat Sulawesi Selatan dapat dipertahankan.
C.
Pengembangan
Bahasa Bugis
Pengembangan
bahasa Bugis adalah suatu upaya peningkatan mutu bahasa daerah agar dapat
digunakan dalam berbagai keperluan dalam
kehidupan masyarakat modern. Upaya pengembangan itu, mencakup, penelitian,
pembakuan, dan pemeliharaan.
Dalam
kaitannya dengan kegiatan penelitian, dapat dikatakan bahwa hampir seluruh aspek bahasa Bugis telah
diteliti. Penelitian dalam berbagai aspek yang telah dilakukan, antara lain;
Matthes (1875), R.A. Kern (1940), Noorduyn (1955), U. Shirk (1975), Timothy
Friberg and Barbara Friberg (1985), dan Grimes and Grimes (1987) Penelitian Sastra
Lisan Bugis( oleh Fachruddin, A.E., dkk. (1981), Bahasa Bugis Soppeng: Valensi Morfologi dasar Kata Kerja oleh
Kaseng (1982), Sistem Pemajemukan Bahasa
Bugis oleh Hawang Hanafie(1988), Fonologi Bahasa Bugis Bulukumba oleh Kulla
Lagousi (1988), Struktur Klausa Bahasa
Bugis oleh Jalil Faisal (1990), Klitika
Bahasa Bugis oleh A. Mahmuddin (1991), Frase
Verba Bahasa Bugis Soppeng oleh Lukman (1991) Kelas Kata Bahasa Bugis oleh Hawang Hanafie (1992), dan Sistem Derivasi dan Infleksi Bahasa Bugis
Dialek Sawitto, oleh Syamsudduha
(1999).
Data tersebut memperlihatkan bahwa penelitian
terhadap bahasa Bugis telah lama
dilakukan, dan beberapa tahun terakhir, penelitian bahasa Bugis mengalami
kemajuan pesat.
Di
samping kegiatan penelitian, berbagai upaya telah dilkukan untuk pengembangan
bahasa Bugis, antara lain;
a. Pengembangan aksara dan ejaan
Sistem aksara lontarak terdiri atas 23 tanda bunyi yang biasa disebut ina surek artinya `induk huruf ΄. Di samping itu, terdapat pula tanda-tanda yang dapat menimbulkan variasi
bunyi yang disebut anak surek.
Ke-23 tanda
bunyi `ina surek΄ tersebut adalah:
k g
G K
ka ga nga ngka
p b m
P
pa
ba ma mpa
t d n R
ta da na
nra
c j N
C
ca ja nya
nca
y
r l w
ya
ra la wa
s a h
sa
a ha
Kelima
anak surek ditempatkan pada berbagai posisi berikut:
a. tanda
( e----
) tempatnya di depan ina
surek menghasilkan bunyi /É/
b. tanda
(---- o) tempatnya di belakang ina
surek menghasilkan bunyi /o/
c. tanda (
----E )
tempatnya di atas ina surek menghasilkan
bunyi /ə/
d. tanda (
--•-- ) tempatnya di atas ina surek, mengahasilkan bunyi /i/ dan
e.
tanda ( --.--)di bawah ina
surek, menghasilkan bunyi /u/
Sistem ejaan telah
berkali-kali diupayakan penyempurnaannya. Atas prakarsa Lembaga Bahasa
Nasional Cabang III Ujung Pandang, pada
tahun 1975 telah diselenggarakan Seminar Pembakuan Ejaan Bahasa Bugis-Makassar
dengan huruf latin di Ujung Pandang. Hasilnya, berupa Pedoman Ejaan
Bahasa-bahasa Daerah di Sulawesi Selatan
(1989). Selanjutnya, pada tahun 1990 diadakan Lokakarya Pemantapan Ejaan Latin
Bahasa-bahasa Daerah di Sulawesi Selatan yang dibiayai oleh Balai Penelitian
Bahasa di Ujung Pandang. Adapun
implikasi dari seminar tersebut adalah timbulnya kesadaran pemerintah daerah
untuk melestarikan sistem aksara yang
direalisasikan dengan meningkatkan pengajaran bahasa Bugis di sekolah-sekolah
termasuk pengajaran aksara lontaraknya.
b. Pengembangan Kosakata
Pengembangan di bidang kosakata telah direalisasikan dengan penyusunan
Kamus Bugis-Indonesia oleh M. Ide Said, D.M., dkk. (1976), dan dalam
perkem-bangannya, telah disusun pula kamus Indonesia-Makassar-Bugis (2007) oleh
Daeng, Kembong dan Syamsudduha.
C. Pengembangan
Struktur
Pengembangan struktur fonologi
telah direalisasikan dengan pendeskripsian aspek fonologi bahasa Bugis yang
telah dilakukan oleh beberapa peneliti bahasa, antara lain oleh Samsuri (1965),
Husen Abas (1975), dan penelitian tentang pola bunyi bahasa Bugis oleh Kulla
Lagousi (1992).
Bidang morfosintaksis merupakan bidang
struktur bahasa Bugis yang paling banyak mendapat perhatian dari para sarjana
dan peneliti bahasa daerah di Sulawesi Selatan. Seperti yang telah dilakukan
oleh beberapa peneliti bahasa, antara lain; Samsuri (1965), Husen Abbas (1975),
dan penelitian tentang pola bunyi bahasa Bugis oleh Kulla Lagousi (1992).
Kaseng (1976), telah meneliti;
Valensi
Morfologi Dasar Kata Kerja Bahasa Bugis Soppeng, Sistem Perulangan
Bahasa Bugis (1983), dan Kata Tugas dalam Bahasa Bugis (1987). Abdul Jalil
Faisal telah meneliti tentang struktur klausa bahasa Bugis (1990) Selain itu,
penelitian tentang kelas kata dalam bahasa Bugis dilakukan oleh Sitti Hawang
Hanafie (1992). Dengan adanya beberapa hasil penelitian tersebut, terlihat
bahwa minat para sarjana dan peneliti bahasa untuk mengkaji bahasa-bahasa
daerah di Sulawesi Selatan semakin
tinggi. Namun, apabila dicermati penelitian bahasa Bugis yang telah dilakukan,
terutama dalam cabang-cabang linguistik, misalnya, psikolinguistik, tipologi
bahasa, dan filologi boleh dikatakan masih terbatas.
Demikian pula, penelitian bahasa Bugis dari
segi diakronik dapat dikatakan belum memadai (Said, D.M., 1998:2).
d. Pengembangan di bidang fungsi-fungsi
kemasyarakatan
Pengembangan
di bidang fungsi-fungsi kemasyarakatan yang menjadi sarana pemasyarakatan
hasil-hasil pengembangan bahasa daerah yang masih tetap penting sampai saat ini
adalah bidang pendidikan dan bidang agama. Sebagaimana telah dikemukakan oleh
Taha (1996) bahwa pemakaian bahasa Bugis dalam ranah pendidikan, terutama
pendidikan dasar sampai saat ini masih menjadi bahasa pengantar di sekolah Dasar
di samping bahasa Indonesia. Bahkan, saat ini bahasa daerah telah menjadi mata
pelajaran muatn lokal pada jenjang pendidikan dasar, Sekloah Lanjutan Tingkat
Pertama SLTP), dan pada Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin terdapat Jurusan
Bahasa Daerah, dan pada FPBS IKIP Ujung Pandang (Sekarang UNM) juga pernah
dibuka Program Studi Bahasa Daerah Bugis dan Program Studi Bahasa Makassar, dan
sekarang ini pada FBS Universitas Negeri Makassar, jurusan Bahasa Daerah masih
tetap eksis, namun disatukan dengan jurusan Bahasa Indonesia yang menjadi
jurusan Bahasa Indonesia dan Daerah.
Pemakaian bahasa daerah Bugis sebagai bahasa pengantar di bidang
keagamaan, khususnya agama Islam masih tetap tinggi. Madrasah dan pesantren di daerah masih menggunakan
bahasa daerah sebagai bahasa pengantar di samping bahasa Indonesia, bahasa
Inggeris dan bahasa Arab. Khotbah dan dakwah keagamaan masih sering disampaikan
dengan bahasa Bugis di samping bahasa Indonesia. Bahan pustaka agama berupa
terjemahan Kitab Suci Al-Qur`an atau hadis juga kebanyakan ditulis dalam bahasa
daerah Bugis.
IV. PENUTUP
Pembinaan dan pengembangan bahasa Bugis di
Sulawesi Selatan sangat mendesak, melihat pemakaian bahasa Bugis dewasa ini,
dalam ranah tertentu masih memperlihatkan intensitas yang cukup tinggi. Meskipun
secara umum dapat dikatakan mengalami kemunduran. Untuk mengantisipsi hal ini,
berbagai upaya pembinaan dilakukan dalam
berbagai bentuk kegiatan, antara lain; (1) pengajaran Bahasa Bugis sebagai
Muatan Lokal, (2) pemasya- rakatan
Bahasa Bugis. Adapun langkah-langkah
strategis yang dilakukan, antara lain; (1) penerbitan berbahasa daerah
Bugis, (2) pembacaan berita dalam bahasa
Bugis, baik melalui TVRI maupun RRI, (3) siaran radio swasta dengan menggunakan
pengantar bahasa Bugis, dan (4) penulisan nama-nama jalan dengan menggunakan
huruf lontarak. Namun, yang diharapkan bukan hanya sebatas hal demikian, tetapi
kalau perlu setiap lembaga atau instansi, nama-nama hotel, restoran, dan
tempat-tempat strategis lainnya, sebaiknya mengganti nama-nama asing dengan
nama-nama daerah yang dianggap cocok dan sesuai dengan jati diri masyarakat
Sulawesi Selatan sehingga ciri kedaerahan dan jati diri masyarakat Sulawesi
Selatan dapat dipertahankan.
Dalam upaya
pengembangan bahasa Bugis, telah dilakukan berbagai aspek, termasuk aspek fonologi, morfologi, dan
Sintaksis.
Berdasarkan kenyataan terebut, pada
kesempatan ini penulis menya-rankan perlunya penyebarluasan hasil-hasil
penelitian dan hasil-hasil seminar melalui berbagai media sehingga bahasa
daerah pun bisa mengikuti arus globalisasi. Sedangkan untuk memelihara
kelestarian bahasa Bugis, perlu adanya komitmen bersama antara pemerintah dan
para pakar bahasa serta seluruh masyarakat daerah Sulawesi Selatan.
KEPUSTAKAAN
Alwi, Hasan dan Dendy Sugono. 2003.
Polotik Bahasa. Rumusan Seminar Politik Bahasa. Jakarta: Pusat
Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional.
Amir, A. Rasdiyanah (Ed.). 1982. Bugis
Makassar dalam Peta Islamisasi. Ujung
Pandang : IAIN Alauddin.
Friberg, Timothy and
Barbara Friberg. 1985. Geografi Dialek
Bahasa Bugis. Ujung Pandang.
Grimes, Charles E. And Barbara D. Grimes. 1987. Languages Of South Sulawesi . Cambera
Pacific Linguistic Series D-No.78.
Kamaruddin, 1992. Kajian tentang Hubungan antara Kedwibahasaan dan
Sikap Bahasa dengan Kesadaran Adaptasi Inovasi pada Masyarakat Desa di Sulawesi
Selatan (Disertasi). Ujung Pandang :
Universitas Hasanuddin.
Palenkahu, R.A., dkk. 1974. Peta
Bahasa Sulawesi Selatan. Ujung Pandang . Lembaga Bahasa Nasional Cabang
III.
Said D.M., M. Ide. 1998. Peningkatan Mutu Penelitian Bahasa Bugis. Ujung Pandang : Balai
Penelitian Bahasa.
Sikki, dkk. 1991. Tata bahasa
Bugis. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Taha Zainuddin, 1996. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Sastra
Bugis-Makassar(Makalah). Ujung Pandang : FPBS
IKIP Ujung Pandang .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar